Selasa, 23 Juni 2015

KAIDAH RIWAYAT 'AN 'ANAH



KAIDAH RIWAYAT ‘AN’ANAH
MT KLH: QAWAID AL-TAHDIS   DOSEN PENGASUH: Dr. HAIRUL HUDAYA, M. Ag
 OLEH : RAUDAH, S. Ag
BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
           Hadits Nabi Muhammad SAW. merupakan sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia dan sumber hukum yang pertama. Di lihat dari periwayatannya hadits berbeda dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an  semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir, sedangkan Hadits sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung ahad.
            Kaidah penelitian hadits sejatinya telah ada sejak lahirnya hadits itu sendiri sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abu Hurairah, dan ‘Aisyah Radiyallahu ‘Anhum dengan melakukan kebenaran berita langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Pada kurun berikutnya dimulai pada abad 3 Hijriyah, para ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain mempertegas kaidah tersebut dalam kerangka yang sistematik
              Di antara ulama Hadits yang berhasil menyusun rumusan kaidah kesahihan Hadits adalah Abu Amr Ustman Ibn Abd Rahman Ibn Shalah Al-Syahrazuri yang biasa disebut dengan sebutan Ibn Al-Shalah (577 H). Menurutnya Hadits shahih adalah Hadits yang bersambung sanadnya kepada Nabi Muhammad SAW., diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (ilat).
              Mu’asharah dan liqa’ dalam periwayatan Hadits oleh para ulama hadits dijadikan syarat untuk mengetahui kualitas sanad suatu hadits, khususnya dalam hadits Mu’an’an. Oleh ahli hadits kedua persyaratan ini digunakan untuk menentukan bersambung-tidaknya sanad hadits tersebut kepada Rasulullah SAW. sehingga dapat dikatakan sebagai hadits yang shahih. Dalam makalah ini penulis hanya akan memfokuskan dalam pembahasan Kaidah Riwayat ‘An’Anah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Kaidah Riwayat ‘An’anah ?
2.      Bagaimana hukum Sanad yang memakai kata ‘An ?
3.      Bagaimana contoh hadis Mu’an’an ?
4.      Bagaimana Hadis dan Kesarjanaan Muslim Modern ?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian Kaidah Riwayat ‘An’anah.
2.      Mengetahui hukum Sanad yang memakai kata ‘An.
3.      Mengetahui contoh hadis Mu’an’an.
4.      Mengetahui Hadis dan Kesarjanaan Muslim Modern.











BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Kaidah Riwayat ‘An’anah.
             Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata “Kaidah” diartikan dengan : “Patokan, dasar, aturan yang sudah pasti, rumusan yang menjadi hukum, asas yang menjadi hukum”.[1]  Dalam bahasa Arab kata قا عد ة / qa’idah (kaidah) diartikan “asas/fondasi “ jika ia dikaitkan dengan bangunan , dan ia bermakna “tiang” jika dikaitkan dengan “kemah”.[2]
          Dalam pengertian istilah, kaidah adalah ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan-ketentuan menyangkut rincian.[3] Jadi  “Kaidah” merupakan patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam bertindak atau mengambil keputusan.
           Riwayat : (1) cerita yang turun menurun; (2) sejarah ; (3) sumber yang dapat dipercaya dan dapat dijadikan pegangan, tentu jika riwayatnya terbukti sahih.[4]
           ‘An’anah adalah menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafaz ‘an (dari) yang mengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi illat suatu sanad hadits apabila digunakan oleh seorang rawi yang mudallis.
Jadi Kaidah Riwayat ‘An’anah merupakan aturan atau ukuran yang dijadikan pegangan dalam menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafazh ‘an  yangmengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya.
             Sebenarnya kalau membicarakan tentang ‘An’anah tentunya tidak bisa dipisahkan dari kalimat  Mu’an’an. Adapun difenisi Mu’an’an sebagai berikut :
(1). Menurut bahasa    (etimologi) :    mu’an’an adalah isim maf’ul dari kata dasar “ ‘an’ana “ 
       dengan arti : “berkata dengan menggunakan kata “ ‘an, ‘an “ عَنٌ – وَ عَنٌ )  )
(2). Menurut   istilah   (terminologi) :  mu’an’an adalah ucapan perawi : Si Fulan berkata dari 
       Si Fulan.[5]
Jadi hadits Mu’an’an adalah hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafahz ‘an, tanpa menyebut kalimat/kata-kata untuk menceriterakan atau mengkhabarkan atau saya mendengarkan.
          Rawi yang menggunakan lafazh “ ‘an “ dalam sanadnya, disebut Mu’an-‘in. Sedangkan pekerjaan memakai lafazh “ ‘an “ itu, dalam bahasa Arab disebut ‘An’anah.[6]
B.     Hukum Sanad Yang Memakai Kata ‘An
          Apabila seorang rawi akan meriwayatkan suatu hadits dan menyebutkan dari mana sumber hadits itu, biasanya ia mengatakan beberapa kalimat seperti :
1.      سَمِعْتُ            = saya telah mendengar
2.      حَدَّ ثَنِى / ثَنِّى    = dia telah menceriterakan kepadaku
3.      اَ خْبَرَ نَا          = dia mengkhabarkan kepada kami
4.      قَا لَ لَنَا           = dia berkata kepada kami
5.      Dan lain-lainnya. (Namun dalam hadits mu’an’an si rawi tidak memakai kalimat-kalimat tersebut di atas, hanya menggunakan kata ‘an =dari.
           Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum sanad yang hanya memakai kata ‘an, sebagai berikut :
1.      Jumhur Ulama hadits berpendapat bahwa hadits Mu’an’an dapat dianggap mutashil dengan syarat hadits itu selamat dari tadlis, dan adanya keyakinan bahwa perawi yang mengatakan ‘an = dari itu ada kemungkinan bertemu muka, sebagaimana disyaratkan oleh Imam Bukhari dan Ibnul Madini. Sedang Imam Muslim hanya mensyaratkan bahwa perawi yang mengatakan : ‘an tersebut hidupnya semasa dengan orang yang memberikan hadits (adaul hadits), jadi tidak perlu adanya keyakinan bahwa mereka bertemu muka.
2.      Ibnu Shalah berpendapat bahwa bertemu muka tersebut merupakan keharusan agar hadits Mu’an’an itu menjadi baik, karena kebanyakan orang mengirsalkan (membuang rawi dalam sanad) itu adalah orang-orang yang samasa hidupnya dengan orang yang memberitakan itu dan tidak pernah bertemu muka.[7]
               Apakah sebabnya kata ‘an = dari ini dipersoalkan ? Karena kata-kata ‘an =dari itu mengandung kemungkinan-kemungkinan yang banyak.Umpamanya : A berkata dari B. demikian. Hal yang demikian ini, mungkin A menerima berita itu sendiri dari B atau mungkin A itu sebetulnya tidak menerima berita itu dari B secara langsung tetapi menerimanya dengan perantaraan orang lain (umpamanya dengan perantaraan : C). Karena adanya motif-motof tertentu, si C tidak disebutkan (karena umpamanya dlaif atau tidak kuat hafalannya oleh si A tersebut. Kemungkinan yang kedua ini biasa dilakukan oleh Mudallis. Karena kegelapan inilah hadits Mu’an’an dihukumi dhaif.
C.    Contoh Hadits Mu’an’an
اَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنِ اْلاَعْمَشِ عَنْ اَبى وَائِلٍ عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ ص م يَتَخَوَّلُ    اْلمَوْعِظَةُ فِي اْلاَيَّامِ كَرَاهَةَ السّأَمَةِ عَلَيْنَا (رواه البخري)                                                                                                                                                                                                                                                                                                     Telah memberitakan kepada kami Sufyan dari Al ‘Amsy, dari Abu Wa-il, dari Ibnu Mas’ud , ia berkata : Adalah Nabi Saw., selalu memilih waktu yang baik untuk memberikan pelejaran kepada kami karena beliau takut kami menjadi bosan terhadap pelajaran-pelajaran itu” (H.R. Bukhari).[8]

             Dari sanad tersebut tampak bahwa Sufyan , Al ‘Amsy dan Abu Wail memakai kata-kata ‘an. Tetapi karena semua perawi tersebut orang yang dapat dipercaya dan Imam Bukhari sendiri mensyaratkan bahwa rawi yang satu dengan yang lain harus bertemu muka (Liqa’), maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits shahih
(اَبُوْ دَاوُد) حَدَّ ثَنَا عبد الله بن محمد النفيلىٌّ ثنّا محمّد بن سلمة ثنَّا محمّد بن اسحاق عن مكحولٍ عن محمود بن الزَّبيعِ عن عبادة ابن الصَّامت قال : كُنَّا خَلْفَ رَسُوْلُ اللهِ ص م فِى صَلَاةِ الفَجْرِ فَقَرَأ رَسُوْلُ اللهِ فَسَقُلَتْ عَلَيْهِ القِرَاَةُ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ لعَلَّكُمْ تَقْرَؤُنَ خَلْفَ اِمَا مِكُمْ قُلْنَا نَعَمْ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : لاَ تَفْعَلُوْا اِلَّابِفَا تِحَةِ اْلكِتَابِ فَاِنَّهُ لَا صَلاَ ةَ لَمْ يَقْرَأْبِهَا. (علم الحديث)                                                                                                                                
                 “(Abu Dawud berkata) : Telah menceriterakan kepada kami, Abdullah bin Muhammad An Nufaily, telah menceriterakan kepada kami, Muhammad bin Salamah,dari Muahammad bin Ishaq, dari Mak-hul, dari Mahmud bin Rabi’, dari Ubadah bin Shamit, ia berkata : Kami pernah shalat fajar di belakang Rasulullah Saw, Rasulullah membaca, tetapi bacaan itu itu menjadi berat atasnya. Tatkala selesai, ia bertanya: Barangkali kamu membaca di belakang imam kamu ? Kami menjawab : Benar ya Rasulullah ! Nabi Saw. bersabda pula : janganlah kamu kerjakan (yang demikian itu), melainkan pembacaan fatihatul kitab, karena sesungguhnya tidak shah bagi orang yang tidak membacanya” (Lihat Ilmu Hadits 1: 112).[9]
           Dalam sanad tersebut di atas, terdapat Muhammad bin Ishaq dari Mak-hul, dari Muhammad bin Rabi’. Sedangkan Muhammad bin Ishaq dan Mak-hul adalah termasuk mudallis. Lagi pula tidak ada keterangan lain yang menegaskan bahwa Muhammad mendengar sendiri Mak-hul dan Mak-hul mendengar dari Mahmud. Oleh karena itulah hadits Mu’an’an  di atas dianggap dlaif dan tidak boleh dipakai.   
D.     Hadis dan Kesarjanaan Muslim Modern
1.      Metode Nashiruddin Al-Albani dalam menentukan Autentisitas Hadis
a.      Hadis yang Dinyatakan Lemah oleh Nashiruddin Al-Albani
              Disini penulis sekilas mengemukakan metode Nashiruddin Al-Albani dalam menentukan Autentisitas Hadis.   Secara umum, dalam melakukan autentifikasi hadis, Al-Albani sangat setia kepada metodologi sarjana Muslim tradisional. Namun demikian, metode yang digunakannya dalam menentukan autentisitas hadis terlalu umum. Untuk mengilustrasikan metode tersebut Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A akan menganalisis  hadis tentang “sapi”, salah satu hadis yang dilemahkan Albani. Hadis tersebut telah direkam dalam Shahih Muslim, salah satu kitab koleksi hadis yang paling bergengsi, Bunyi hadis tersebut adalah : Laa tadzbahuu illaa musinnatan illaa an ya’sura ’alaikum, fa tadzbahuu jadza’atan min adh-dha’n (Jangan mnyembelih kurban kecuali seekor sapi yang cukup umur, kecuali kalau sulit bagimu, maka sembelihlah seekor domba).[10]
                Al-Albani, misalnya, “melemahkan” hadis hanya karena Abu Zubair dianggap telah melakukan tadlis dalam priwayatannya. Padahal, penilaian Abu Zubair tidak didasarkan pada penelitian komprehensif terhadap biografi Abu Zuabair, tidak juga pada studi analisis terhadap riwayat Abu Zubair; melainkan hanya berdasar pada penilaian para kritikus hadis seperti Abu Hatim, Adz-Dzahabi. Padahal para kritikus hadis tidak secara bulat menilai negative Abu Zubair. Memang, beberapa di antara mereka menganggapnya tsiqah. Dengan kata lain, kita tidak dapat menilai keterpercayaan Abu Zubair hanya berdasarkan pendapat para kritikus hadis. Albani mengabaikan fakta itu.
              Penilaian lemah dari Albani terhadap  hadis tersebut, yang didasarkan hanya pada penilaian negative atas keterpercayaan Abu Zubair, memiliki konsekuensi serius pada hadis-hadis lain, yang mungkin tidak disadarinya. Dalam kasus Abu Zubair, metode Albani mengharuskan kita untuk mempertanyakan historisitas sedikitnya 125 hadis yang diriwayatkan oleh Abu Zubair  dalam  Shahih Muslim (jumlah tersebut berdasar pada jalur Abu Zubair – Jabir dalam teks dalam Shahih Muslim). Jumlah tersebut bertambah apabila dimasukkan riwayat Abu Zubair yang terdapat dalam kitab-kitab hadis lain. Lagipula, pernyataan Albani atas lemahnya hadis ini, yang didasarkan pada kenyataan bahwa Abu Zubair menggunakan term “’an”, tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa Muslim dan para penghimpun hadis yang lain tidak menganggap terminology yang digunakan oleh para tabiin sebagai kriteria yang menentukan untuk menetapkan apakah seorang perawi terpercaya atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa Muslim, misalnya, merekam riwayat generasi tersebut bukan hanya yang menggunakan term sami’a, tetapi juga yang menggunakan term “’an”.
              Metode Albani dalam menentukan autentisitas dan kepalsuan sebuah hadis tertentu, terutama berdasarkan analisis pada Isnad, dengan menggunakan informasi yang terdapat dalam kamus-kamus biografi. Albani berpendapat bahwa hadis ini lemah (dha’if) disebabkan oleh fakta bahwa salah seorang perawinya  adalah Abu Zubair . Menurutnya , riwayat Abu Az- Zubair dari Jabir tidak bersambung (ghair muttashil) dengan alasan bahwa (1) para kritikus menyifati Abu Az-Zubair sebagai mudallis; (2) dia tidak mengatakan secara eksplisit apakah mendengar langsung dari Jabir, namun menggunakan lafal “’an” (atas otoritas dari). Al-Albani menambahkan telah disepakati dalam ilmu hadis, bahwa hadis yang diriwayatkan oleh perawi mudallis tidak bisa dijadikan hujah, apabila tidak menyatakan secara eksplisit secara penerimaan hadisnya.[11] Al-Albani menyimpulkan bahwa kebenaran setiap hadis yang diriwayatkan oleh Abu Zubair dari Jabir atau dari orang lain, yang menggunakan lafal “’an” dan sejenisnya, harus ditunda. Dengan kata lain, ketergantungan pada hadis tersebut harus diakhiri hingga cara penerimaannya – dimana Abu Zubair mendengar hadis tersebut secara langsung – menjadi jelas atau ditemukannya sebuah hadis lain yang menguatkannya. Akan tetapi,  menurut Al-Albani, riwayat Abu Zubair dari Jabir tidak diragukan apabila diriwayatkan oleh Al-Laits bin bin Sa’d  ( Al-Laits bin Sa’d dari Abu Az-Zubair dari Jabir), karena Al-Laits mengklaim telah menerima dari Abu Az-Zubair . Dari 360 hadis yang diriwayatkan oleh Abu Az-Zubair dari Jabir dalam Kutub As-Sittah, hanya 27 yang diriwayatkan oleh Al-Laits bin Sa’d.
             Hadis sebagaimana tersebut di atas menyatakan bahwa tidak diizinkan menyembelih untuk kurban seekor domba yang berumur satu tahun, kecuali dalam keaadaan seekor sapi yang cukup umur terlalu mahal atau sulit didapatkan di pasar. Demikian juga hadis dari Uqbah bin Amir : dhahhainaa ma’a rasuul Allaah shallaa shallaa Allah ‘alaihi wa sallam bi jadza’in min adh-dha’ni (Kami bersama Nabi menyembelih kurban seekor domba yang berumur satu tahun).[12] Menurut Albani, hadis terakhir adalah shahih, karena perawi yang yang terlibat dalam jaringan isnad-nya yang tsiqah. Namun demikian, Albani tidak menjadikannya sebagai hadis  penguat bagi hadis Abu Az-Zubair untuk mengangkat kualitasnya menjadi shahih, melainkan terus mengklaim bahwa hadis Abu Az-Zubair sebagai hadis yang lemah.
            Mengenai hadis ‘Uqbah bin’Amir, Albani berpendapat bahwa hadis tersebut tampak membolehkan domba yang berumur satu tahun sebagai sembelihan untuk kurban. Akan tetapi, kebolehan itu diberikan hanya untuk ‘Uqbah. Kebolehan ini berdasarkan atas sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari : Nabi membagi kurbannya diantara para sahabat dan ‘Uqbah menerima seekor domba (jadza’atun), Saya (‘Uqbah) berkata :’Wahai Rasul, saya menerima seekor domba (hadza’a), Nabi berkata: “berkurbanlah dengannya!”[13]
             Al-Albani berpandangan bahwa hadis shahih tersebut tersebut dari Uqbah mengonfirmasikan kelemahan hadis Abu Az-Zubair. Metode Al-Albani jelas. Ia menganalisa sanad hadis. Isnad yang tidak tsiqah, berarti tidak tsiqah hadisnya. Akibatnya , Al-Albani merasa tidak penting menafsikan sebuah hadis yang memiliki isnad tidak tsiqah, karena penafsiran  adalah bagian dari autentifikasi. Namun demikian, ia hanya menafsirkan isnad tsiqah, apabila matanya tidak sesuai dengan matan dari  isnad lain yang tsiqah.
b.      Implikasi Metodologi Nashiruddin Al-Albani
             Berdasarkan metode autentifikasi hadis Muslim tradisional, Al-Albani berpendapat bahwa apabila seorang mudallis berkata : “Saya mendengar” (sami’tu), maka riwayatnya dianggap bersambung. Tetapi apabila ia berkata ‘an (dari), riwayatnya harus ditolak atau paling tidak penilaiannya ditunda sampai muncul penjelasan bahwa ia benar-benar mendenganya langsung dari informannya. Pertanyaannya adalah, berapa sering Abu Az-Zubair menggunakan kata “’an”, dan berapa kali ia menggunakan kata “sami’tu” dan kata-kata lainnya yang menunjukkan hubungan langsung dengan Jabir ? Dari 194 hadis dengan jalur Abu Az-Zubair – Jabir yang terekam dalam Shahih Muslim, Abu Az-Zubair menggunakan lafal “sami’a”, dan lafal serupa yang menunjukkan periwayatan langsung sebanyak 69 kali, dan istilah “’an” sebanyak 125 kali.
            Dari125 hadis yang menggunakan kata “’an” yang terekam dalam Shahh Muslim, juga terdapat dalam Kutub As-Sittah lainnya, seperti At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’I dan Ibnu Majah. Apa signifikansi fakta bahwa Muslim menerima sepertiga riwayat menggunakan kata “sami’a”,  tetapi juga menerima sekaligus dua pertiga riwayat menggunakan kata “’an”? Apabila terminology isnad (“sami’a”, “’an”, dan sebagainya) bukan menjadi penentu bagi Muslim (dalam kasus Abu Az-Zubair), lantas atas dasar apa dia mendasarkan penilaian shahih terhadap riwayat Abu Az-Zubair – Jabir ? Dengan kata lain, apakah para penghimpun hadis benar-benar berdasarkan  pada bukti-bukti isnad ?
            Motzki membahas secara rinci signifikansi terminology periwayatan pada masa awal Islam. Dengan menganalisis riwayat Ibnu Juraij  (W. 150/767 H.) dari ‘Atha’ (W. 114/732 H.), motzki berkesimpulan bahwa terminology isnad (“sami’a” dan yang serupa, atau “’an” dan sejenisnya) tidak digunakan secara konsisten pada masa mereka. Tampaknya kesimpulan Motzki tentang riwayat tersebut juga berlaku pada kasus jalur Abu Az-Zubair – Jabir. Ini berarti Abu Az-Zubair pun mungkin menggunakan terminology isnad secara tidak konsisten.
        Menurut Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A, konsistensi terminlogis yang ditemukan dalam kita-kitab hadis resmi  menunjukkan bahwa secara factual Imam Muslim telah menerima beberapa hadis dengan “’an”, dan beberapa lainnya menggunakan lafal sami’a. Dengan kata lain, Muslim dan penghimpun hadis lainnya yang tidak menciptakan atau merubah kata-kata yang digunakannya. Karenanya, tidak diragukan bahwa Imam Muslim menganggap Abu Az-Zubair terpercaya (tsiqah). Kalau demikian, maka Muslim menerima riwayat Abu Az-Zubair sebagai riwayat terpercaya, tanpa memperhatikan apakah ia mengklaim telah menerima dari informannya secara langsung atau tidak. Atas dasar apa Muslim menilai Abu Az-Zubair sebagai perawi terpercaya ? Hal ini tetap tidak jelas. Fakta bahwa Muslim menerima riwayat Abu Az-Zubair yang menggunakan “’an” menunjukkan bahwa – bagi Muslim – terminology yang digunakan oleh generasi pertama (Sahabat dan tabiin) tidak memainkan peran yang penting dalam menentukan ke-tsiqah-an seorang perawi. Kesimpulan ini menggugat metode Al-Albani, karena ia menggunakan istilah-istilah itu sebagai kriteria untuk menentukan dan menilai keabsahan riwayat.
            Sementara itu, Al-Albani tidak memasukkan riwayat Al-Laits bin Sa’d dari Abu Az-Zubair – Jabir sebagai hadis lemah, karena klaim Al-Laits telah meriwayatkan dari Abu Az-Zubair dari Jabir. Kesimpulan Al-Albani menyangkut jalur periwayatan ini hanya didasarkan pada Ibnu Hazm, yang berkesimpulan sama. Sebab, Al-Albani tidak menganalisis secara mendalam dan komprehensif jalur periwayatan Al-Laits – Abu Az-Zubair – Jabir.[14]
           Dari 360 hadis yang diriwayatkan Abu Az-Zubair dari Jabir yang terekam dalam berbagai koleksi hadis resmi, 27 hadis diriwayatkan Al-Laits bin Sa’d dari Abu Az-Zubair. Hanya satu dari 27 hadis ini Abu Az-Zuabair yang secara eksplisit menyatakan bahwa ia menerima langsung dari Jabir. Fakta ini menimbulkan masalah besar yang harus dijawab oleh Al-Albani. Kalau Al-Laits “mendengar” langsung hadis dari Jabir, sebagaimana diklaim Al-Albani yang mengutip Ibnu Hazm, mengapa Abu Az-Zubair mengguakan kata “’an” di hampir semua riwayat Al-Laits yang direkam para penghimpun hadis ? mengapa status Abu Az-Zubair sebagai seorang mudallis – yang periwayatannya harus ditolak atau ditunda kehujahannya hingga terbukti bahwa dia mendengar langsung dari informannya – berubah menjadi tidak mudallis ketika riwayat selanjutnya adalah Al-Laits, meskipun istilah isnad tidak menunjukkan bahwa Abu Az-Zubair mendengar hadis langsung dari informannya ? Apakah hal ini berarti bahwa kata-kata seperti “sami’a”, “’an” dan lain-lain tidak harus dipahami sebagai kata yangmenggambarkan model periwayatan, sebagaimana diklaim  para kritikus hadis ? Mangapa Al-Albani menerima tanpa syarat klaim Al-Laits bahwa ia hanya menerima hadis-hadis dari Abu Az-Zubair yang didengar langsung  oleh Abu Zubair dari Jabir ? Menurut Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A.,   pertanyaan-pertanyaan   ini    menunjukkan bahwa
 Al-Albani juga gagal memahami riwayat Al-Laits dari Abu Az-Zubair dari Jabir secara menyeluruh, atau ia sendiri menerapkan ilmu kritik hadis tradisional (‘Ulum al-hadits) secara tidak konsisten.
2.      Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf
a.      Perbandingan Metode As-Saqqaf dan Metode Albani
              Hasan As-Saqqaf adalah salah seorang Sarjana Muslim modern, yang terlibat dalam wacana kesarjanaan hadis modern. Berbeda dengan Albani, As-Saqqaf  memperoleh otoritas (ijazah) dalam dunia hadis dari salah seorang guru besar hadis, yakni Syaikh ‘Abdullah Muhammad Al-Ghimari. Yang terakhir ini adalah mantan professor hadis di Universitas al-Azhar.
               Dengan mengkritik Albani, As-Saqqaf mencoba menunjukkan kontradiksi dan inkonsistensi dalam karya-karya Albani. Secara metodologis, As-Saqqaf tidak berbeda dari Albani. Kualitas hadis dalam pandangan mereka ditentukan oleh kualitas isnad. Demikan pula, kualitas isnad pada dasarnya tergantung pada komenter para ulama terhadap perawi hadis tersebut. Oleh karena itu, karena kenyataan bahwa para kritikus hadis memberi penilaian yang mungkin dan sering berbeda terhadap seorang perawi, baik Albani maupun As-Saqqaf sering tidak bisa menghimpun dari inkonsistensi dalam penilaiannya.
                Menurut As-Saqqaf dalam bukunya Tanaqudhat , ia mengajukan salah satu contoh hadis yang dianggap Albani autentik. Hadis tersebut berbunyi :
            “…’an Al-Muhaajir bin Qunfudz annahu ataa an-nabi shalla Allah ‘alaihi wa sallama wa huwa yabuulu, fa sallama ‘alayhi fa lam yarudda ‘alaihi hattaa tawadhdha’a tsumma i’tadzara ‘alaihi fa qaala innii karahtu an  adzkura Allaah ‘azza wa jallaa ‘alaa thuhrin”.[15]
            As-Saqqaf membantah Albani yang menganggap hadits tersebut autentik. Berbeda dari Albani, As-Saqqaf enggan mengautentikan hadis tersebut atas dasar kenyataan bahwa di antara para perawi hadis tersebut terdapat Qatadah bin Di’amah dan Al-Hasan Al-Bashri. Kedua perawi tersebut tidak menyatakan dengan jelas cara menerima hadis tersebut, yakni mereka menggunakan term “’an”, yang menurut kesarjanaan hadis Muslim, mengimplikasikan hubungan yang tidak langsung. Lagipula, dengan mendasarkan penilaiannya pada Thabaqaat Al-Mudallisiin karya Ibnu Hajar, As-Saqqaf menganggap Al-Hasan Al-Bashri dan Qatadah sebagai mudallis, yang riwayat “’an”-nya harus ditolak. Di satu sisi As-Saqqaf menganggap kitab-kitab hadis seperti Shahih  Bukhari dan Muslim sebagai himpunan hadis Shahih, tetapi di sisi lain ia menggunakan metode yang menggiringnya untuk menganggap lemah sebagian hadis  yang terdapat dalam kedua kitab shahih tersebut.
            Dalam buku Ibnu Hajar Al-‘Asqalani yang berjudul : “Thabaqaat Al-Mudallisiin” , digambarkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri sebagai seorang perawi yang tsiqah dan taat,sangat dalam ilmunya, faqiih dan lain-lain. Namun demikian, pada saat yang sama, ia  dilaporkan telah melakukan tadlis . Oleh karena itu, berdasarkan laporan tersebut,riwayatnya diterima sebagai hujah, hanya apabila ia meriwayatkan hadis dari orang yang ia dengar langsung. Hal yang sama berlaku pada Qatadah yang dianggap tsiqah oleh banyak kritikus hadis, tetapi dilaporkan telah melakukan tadlis dan irsal oleh kritikus yang lain.[16]
b.      Apendiks : Riwayat Al-Hasan Al-Bashri dalam Al-Kutub As-Sittah
           Terlepas dari apa yang dikatakan oleh para kritikus hadis tentang Al-Hasan Al-Bashri, tingkat frekuensi munculnya nama beliau dalam koleksi hadis sebagai perawi hadis yang sangat besar membuat perawi ini terlalu penting untuk diabaikan. Memang, sebuah investigasi pada koleksi hadis menunjukkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri adalah seorang perawi hadis Nabi yang sangat penting. Dalam Al-Kutub As-Sittah, Al-Hasan Al-Bashri meriwayatkan tidak kurang dari 281 hadis. Ia meriwayatkan 193 hadis  Nabi dari 33 Sahabat dan Tabiin, dan 88 hadis yang diriwayatkannya adalah mursalah dan lain-lain.
           Apabila autetisitas hadis tersebut harus ditolak karena keterlibatan Al-Hasan Al-Bashri dalam periwayatan (isnad), sebagaimana yang telah dikemukakan oleh As-Saqqaf, apakah ini berarti bahwa historisitas 281 hadi juga harus ditolak ? Tentu tidak demikian. Dengan mengikuti metodologi klasik, As-Saqqaf menolak riwayat perawi yang dituduh mudallis, hanya apabila perawi tersebut tidak menyatakan secara jelas cara penerimaan hadisnya dari informannya (‘an’ana). Kalau demikian, pertanyaan berikutnya, berapa kali (dalam 193 hadis) Al-hasan Al-Bashri menggunakan “’an” dalam riwayatnya?
               Dari 281 hadis Al-Hasan Al-Bashri yang terdapat dalam Kutub As-Sittah, 43 di antaranya terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, kitab hadis yang mendapat apresiasi paling tinggi. 31 hadis terdapat dalam Shahih Bukhari dan 12 dalam Shahih Muslim. Dari 31 hadis yang terdapat dalam Shahh Bukhari, hanya delapan diantaranya Al-Hasan Al-Bashri dilaporkan menyatakan secara jelas cara penerimaan hadisnya, dengan menggunakan term haddatsana, yang “katanya” menyiratkan kontak langsung. Dalam 17 hadis Al-Hasan Al-Bashri dilporkan tidak mnyatakan dengan jelas cara penerimaan hadisnya ( ‘an’ana ).
                Dalam Shahih Muslim, Al-Hasan Al-Bashri muncul sebagai perawi hadis tidak kurang dari 12 kali. Hanya dalam dua kasus ia dilaporkan menyatakan secara jelas cara penerimaan hadisnya. Dalam Delapan kasus ia berkata “’an”. Apa artinya fakta ini ? Dengan menerapkan metodologi As-Saqqaf secara konsisten, autentisitas dari 17 hadis Al-Hasan Al-Bashri yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan 8 hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim akan menjadi lemah. Ini bertentangan dengan argument As-Saqqaf bahwa Shahih Bukhari dan Muslim adalah tsiqah.
                Jelas, metodologi As-Saqqaf dalam menilai sebuah hadis membawa kepada konsekuensi yang tidak disadari olehnya. Metode tersebt tampaknya tidak cukup canggih. Ia mendasarkan pendapat pada seorang perawi tertentu, dalam hal ini pada Al-Hasan Al-basrhri, hanya pada Thabaqat Al-Nudallisiin karya Ibnu Hajar. Ia gagal membandingkannya dengan pendapat sarjana yang lain. Demikian pula, kenyataan bahwa baik Al-Bukhari maupun Muslim menerima riwayat Al-Hasan Al-Bashri  yang menggunakan term “’an” menunjukkan bahwa bagi mereka (Al-Bukhari dan Muslim) term yang digunakan oleh para tabiin, seperti Al-Hasan Al-Bashri, bukanlah kriteria yang menentukan ke-tsiqah-an sebuah riwayat.[17] Kenyatan ini menyanggah argument As-saqqaf, yang menganggapnya sebagai faktor yang menentukan. Kasus ini persis sama dengan kasus riwayat Abu Az-Zubair yang terdapat dalam Shahih muslim, sebagaiaman sama juga berlaku bagi kasus Qatadah.

            























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
              Dari uraian tersebut di atas dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Kaidah Riwayat ‘An’anah adalah merupakan aturan atau ukuran yang dijadikan pegangan dalam menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafazh ‘an yang mengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar dari Syaikhnya.
2.      Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum sanad yang hanya memakai kata ‘an , sebagai brikut :
a.       Jumhur Ulama hadits berpendapat bahwa hadits Mu’an’an dapat dianggap mutashil dengan syarat hadits itu selamat dari tadlis, dan adanya keyakinan bahwa perawi yang mengatakan ‘an = dari itu ada kemungkinan bertemu muka, sebagaimana disyaratkan oleh Imam Bukhari dan Ibnul Madini. Sedang Imam Muslim hanya mensyaratkan bahwa perawi yang mengatakan : ‘an tersebut hidupnya semasa dengan orang yang memberikan hadits (adaul hadits), jadi tidak perlu adanya keyakinan bahwa mereka bertemu muka.
b.      Ibnu Shalah berpendapat bahwa bertemu muka tersebut merupakan keharusan agar hadits Mu’an’an itu menjadi baik, karena kebanyakan orang mengirsalkan (membuang rawi dalam sanad) itu adalah orang-orang yang samasa hidupnya dengan orang yang memberitakan itu dan tidak pernah bertemu muka.
3.      Contoh hadits Mu’an’an dapat dilihat pada hadits yang diriwayatkan Bukhari sebagaimana tersebut sebelumnya.
4.      Secara metodologis, As-Saqqaf tidak berbeda dari Al-Albani. Kualitas hadis dalam pandangan mereka ditentukan oleh kualitas isnad.






DAFTAR PUSTAKA

A.    Qadir   Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1983), cet ke-   1,
      hal. 117
Ibnuumarbgr.wordpress.com/artikel/musthalahulhadis
Kamaruddin Amin,    Menguji  Kembali   Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta:
          Hikmah, 2009), cet ke-1, hal. 73
M. Mizan Asrori, Mustholah Hadits, (Surabaya: Al-Ihsan, 1989), hal. 80
Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadis, (Surabaya: Al Ikhlas, 1981), hal. 175
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), cet ke-2, hal. 6
Windy Novia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kashiko), hal. 247






















  [1] Windy Novia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kashiko), hal. 247
                        [2]  M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), cet ke-2, hal. 6
                        [3] Ibid
                        [4] Ibnuumarbgr.Wordpress.com/artikel/musthalahul-hadits.
                     [5] M.Mizan Asrori, Mustholah Hadits, (Surabaya: Al-Ihsan, 1989), hal. 80
                     [6] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1983), cet ke-1, hal. 117
                  [7] Moh. Anwar , Ilmu Mushthalah Hadis, (Surabaya: Al Ikhlas,1981), hal. 175
                  [8] Ibid., hal. 176
                    [9]   Ibid., hal. 177
                    [10]  Kamaruddin Amin, Menguji kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta : Hikmah, 2009),   cet ke-1, hal.73
                   [11] Ibid., hal. 73
                     [12]  Ibid., hal. 74
                     [13]  Ibid., hal. 75
                  [14]  Ibid., hal. 79
                     [15]  Ibid., hal. 102
                    [16]  Ibid., hal. 104
                     [17]  Ibid., hal. 108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar