Selasa, 23 Juni 2015

HUBUNGAN ILMU DAN ISLAM MENURUT AMIN ABDULLAH



                             HUBUNGAN ILMU DAN ISLAM MENURUT AMIN ABDULLAH
MT KULIAH: FILSAFAT ILMU    DOSEN PENGASUH:
 Dr. FATRAWATI KUMARI, M. Hum
OLEH : RAUDAH, S. Ag

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
              Sejak  awal kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu . Sebagaimana sudah diketahui, bahwa Nabi Muhammad Saw. ketika diutus oleh Allah sebagai Rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, dimana paganisme tumbuh menjadi sebuah identitas yang melekat pada masyarakat Arab masa itu. Kemudian Islam datang menawarkan cahaya penerang, yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
             Kalau dilacak akar sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu, tumbuh bersamaan bersamaan dengan munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasulullah SAW. menerima, wahyu pertama, yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca” sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-‘Alaq ayat 1, yang berbunyi :
اِقْرَأْ بِا سْمِ رَبّكَ الَّذِيْ خَلَقَ
Artinya :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”.[1]
             Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai Nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata iqra inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak.
              Manusia, dalam agama Islam mempunyai konsepsinya yang jelas, yaitu sebagai “hamba Allah” (‘abd Allah) dan sebagai “wakil Allah di muka bumi” (khalîfah Allâh fî al-ardh). Dua tugas yang diemban oleh manusia ini mempunyai konsekuensinya masing-masing. Konsep yang pertama, yaitu manusia sebagai hamba menjadikan manusia mempunyai kewajiban menghamba kepada Allah, yang dalam istilah keagamaan biasa disebut dengan “beribadah” kepada-Nya.  Sedangkan manusia sebagai “wakil Allah di muka bumi” menjadikan manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara, melestarikan, serta membudayakan semua yang telah diciptakan Allah SWT.  Oleh karena itu, Islam sebagai agama, memandang hidup manusia secara   utuh dan integral, tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ritual semata, melainkan juga urusan masyarakat, negara, bahkan hubungan antarbangsa. Islam memandang hubungan manusia sebagai sesuatu yang sentral. Bahkan hubungan ritual seseorang dengan Allah harus berdampak pada hubungan antarmanusia.  Sementara itu, ilmu dan pengetahuan ini, di samping  menjadikan manusia lebih mulia di antara makhluk-makhluk lainnya, juga dapat mempengaruhi kemajuan suatu kaum. Sejarah mencatat, bahwa masa keemasan Islam terjadi pada masa Abbasiyah, yaitu sekitar abad 8 M. Salah satu kejayaan yang dicapainya ialah berkembangnya ilmu pengetahuan. Ilmu ini bukan hanya ilmu agama, melainkan ilmu-ilmu umum yang datang dari luar Islam. Semua ilmu yang ada saat itu dikembangkan secara seimbang. Tidak ada istilah pendikotomian ilmu ke dalam apa yang disebut dengan ilmu agama dengan ilmu umum, di samping tidak ada pula sikap yang memprioritaskan satu ilmu dengan ilmu lainnya. Semua ilmu pada saat itu dikembangkan dan saling melengkapi. Selanjutnya, dalam makalah ini, penulis akan membahas Hubungan Ilmu dan Islam Menurut Amin Abdullah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaiamana Biografi Amin Abdullah?
2.      Bagaimanakah tentang Islam antara “Normativitas dan Historisitas”?
3.      Bagaimana Integrasi Keilmuan Integratif-Interkonektif?
4.      Bagaimana Kontekstualisasi Permasalahan ?
C.    Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui Biografi Amin Abdullah.
2.      Untuk mengetahui tentang Islam antara “Norvativitas dan Historisitas”.
3.      Untuk mengetahui Integrasi Keilmuan Integratif-Interkonektif.
4.      Untuk mengetahui Kontekstualisasi Permasalahan.










BAB II
HUBUNGAN ILMU DAN ISLAM  MENURUT AMIN ABDULLAH
A.     Biografi  Amin Abdullah
            Prof. DR. H. M. Amin Abdullah, Ph.D.  lahir    pada tanggal 28 Juli 1953 di desaMargomulyo, Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Lelaki ini sejak kecil memang memiliki bakat kecerdasan dan daya fikir yang luar biasa. Itulah sebabnya, selepas dari SDN Margomulyo pada tahun 1966, dirinya dikirim keluarganya untuk menempuh studi di Kulliyat Al-Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor Ponorogo.
            Setelah menamatkan pendidikannya pada tahun 1972, pada tempat yang sama dia melanjutkan studinya ke Institut Pendidikan Darussalam (IPD) untuk mengikuti program Sarjana Muda dengan meraih gelar Bachelors of art di tahun 1977. Lantas dia hengkang ke Yogyakarta dan masuk ke IAIN Sunan Kalijaga pada Fakultas Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama.
                 Pada tahun 1982, dia meraih gelar S1 dari IAIN Sunan Kalijaga. Setahun kemudian suami Hj. Nurhayati ini diangkat menjadi Dosen Tetap di Fakultas Ushuluddin di Universitas yang sama. Kemudian pada tahun 1985, atas sponsor Departemen Agama RI dan Pemerintah Republik Turki, dirinya mengambil Program Ph.D bidang Studi Filsafat di Department of Philosohpy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki.
                 Di sini dia sempat menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) pada tahun 1986 hingga 1987. Selama libur musim panas, Amin bekerja part time di Sekretariat Kantor Urusan Haji (BUH) di Jeddah (1985 dan 1990), di Makkah (1988) dan di Madinah (1989). Sementara gelar Ph.D pada institusi tersebut, diraihnya pada tahun 1990 dengan disertasinya berjudul “The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant”, yang kemudian diterbitkan di Turki (Antara; Turkiye Diyanet Vakfi) pada tahun 1992. Karya terjemahannya diterbitkan tahun 1995, oleh penerbit Rajawali (Jakarta) yang diberi judul:  Agama dan Akal Pemikiran; Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi.
                  Tahun 1993 dia diangkat menjadi Dosen Tetap di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga serta diserahi materi Filsafat Islam dan Filsafat Agama. Di tahun ini pula dirinya diberi tugas sebagai Asisten Direktur Pascasarjana pada Institut yang sama. Hal itu dipangkunya hingga tahun 1996. Disamping itu juga menajabat sebagai Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.
               Dua tahun kemudian, bapak tiga anak ini juga mengajar di beberapa kampus ternama di Indonesia. Disamping mengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Muhammadiyah Malang dan IAIN Walisongo Semarang, juga megajar pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, serta di Universitas Islam Bandung (UNISBA).
              Namun kesibukan tersebut sejenak ditinggalkannya, karena harus pergi ke Canada untuk mengambil Program Postdoctor di McGill University, Montreal yang selesai pada tahun 1998. Di tahun inilah dirinya diberi mandat sebagai Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga dan sekaligus dipercaya sebagai Kepala Departemen Agama dan Filsafat di Program Pascasarjana hingga tahun 2002. Selanjutnya pada tahun yang sama dirinya diangkat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga hingga dua periode masa jabatan (2002-2010).
               Betapapun kesibukan akademiknya banyak menyita waktu, namun masih tetap menyempatkan diri untuk kegiatan sosial. Amin Abdullah tercatat pernah menjadi Ketua Asosiasi Mahasiswa Indonesia di Turki (1987 s/d 1988),  serta sebagai Ketua Divisi Umat dan sumberdaya manusia ICMI-DIY (1991 s/d 1995). Pada periode tersebut, dia juga menjadi Anggota Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
               Kemudian juga menjadi Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah (1995 s/d 2000), sebagai  Anggota Dewan Konsultatif, Indonesia Conference on Religion and Peace / ICRP (2000 s/d 2002),  menjadi Wakil Ketua Dewan Nasional Muhammadiyah (2000 s/d 2005), serta sebagai Anggota Badan Akreditasi Jurnal (2003 s/d 2004).
               Itulah sebabnya, nama Pak Amin – demikian panggilan karibnya – tak asing lagi di kalangan akademisi Muslim Indonesia. Apalagi kreativitas dan ide-idenya seolah tak pernah mengering, lebih-lebih yang diperuntukkan bagi dunia pendidikan. Untuk dapat mengembangkan dunia pendidikan seoptiomal mungkin, ujarnya, hendaknya pendidik tidak terpaku pada kurikulum. “Kurikulum hanyalah sebagai patokan, yang harus dikembangkan dengan kreativitas yang tinggi oleh setiap pendidik,” tandasnya.[2]
            Amin Abdullah adalah sosok pemikir yang produktif. Disertasinya yang berjudul The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya ilmiah lainnya yang diterbitkan, antara lain Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000), Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), serta Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya terjemahan yang diterbitkan adalah Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985), Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).[3]
           Disamping menerjemahkan buku karya penulis berkaliber dunia, Amin Abdullah juga sangat aktif menjadi narasumber baik pada seminar nasional maupun internasional. Di antaranya adalah seminar yang diselenggarakan di Kairo, Mesir (1992), Ankara, Turki (1993),  Malaysia (1994), Leiden, Belanda (1996), Tokyo, Jepang (1999), Libya (2000), Korea Selatan (2003), Kanada (2003), London (2003), Kuala Lumpur, Malaysia (2003), Belanda (2003), Thailand Selatan (2005), Universitat Marburg, Jermany (2005), Kremlin, Moskow (2005). Bahkan empat tahun terakhir ini, dirinya juga masih kerap diundang menjadi narasumber di berbagai Negara.
B.  Islam Antara “Normativitas dan Historisitas”
          Pangkal tolak keracunan berpikir seringkali muncul, menurut Dr. M. Amin Abdullah, hanyalah berakar pada kesulitan seseorang agamawan yang baik, tulus dan committed untuk dapat membedakan scara “clear and distinct” (jernih) antara dimensi ‘normativitas dan historisitas’ keberagamaan manusia, terlebih-lebih lagi keberagamaan Islam.
            Prof. M. Arkoun, guru besar Islamic Thought di Sorbone, Perancis, berulang kali menjelaskan bahwa telah terjadi proses pelapisan geologi pemikiran Islam yang sejak abad ke-12 hingga sekarang, sehingga menepikan aspek ‘historisitas’ kemanusiaan yang selalu dalam “on going process” serta “On going formation”. Secara Ontologis, keberagamaan Islam, sebenarnya, mirip-mirip sebuah koin atau sekeping mata uang logam yang mempunyai dua permukaan.
            Tidak ada dan tidak akan ada, sebuah koin yang hanya memiliki satu permukaan. Demikian pula kebergamaan Islam, dan keberagaman manusia umumnya. Pada Islam keberagamaan Islam terdapat dua permukaan yang menyatu pada satu kesatuan yang utuh, yakni dimensi normativitas dan dimensi historisitas. Keduanya,  menyatu  dalam satu keutuhan keberadaan koin; keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan secara tegas.
          Ambilah salah satu contoh, yakni ketika kita membaca surat ‘Abasa (Ia bermuka masam) ayat 1 sampai dengan 11. Jelas tampak disitu dimensi ‘historisitas’ kenabian Muhammad SAW ketika berhadapan dengan seorang buta yang bernama  Abdullah bin Ummi Maktum. Peristiwa khusus historis manusia ini, tidaka perlu dianggap sacral. Di situ hanyalah bentuk hubungan antar manusia biasa. Kekuatan intelek-rasio manusialah yang dapat menemukan dan menembus dimensi “normativitas” Al-Qur’an yang bersifat necessary, (fardlu ‘ain), universal, imperative, categorical, yang salihun likulli zaman wa makan. Kejadian ‘historis’ tersebut, bentuknya dapat berganti menjadi seribu macam, sehingga khusus Nabi Muhammad SAW dengan Abdullah bin Ummi Maktum, dapat pula berganti bentuk sesuai dengan situasi historis dan perkembangan Ilmu Pengetahuan. Tetapi dimensi ‘normativitas’ dan ‘etika’ Al-Qur’an yang bersifat fardlu ‘ain, imperative, categorical, tetaplah sama seperti dulu sampai kapan pun yakni memperlakukan orang lain (baik orang Islam maupun non-muslim) dalam berbagai stratifikasi kelas social yang ada secara santun, demokratis, egaliter dan adil.
          Aspek universalitas-intelektualitas dari norma ajaran Islam terletak pada dimensi normativitas-etika yang bersifat categorical (mengikat semua pihak). Sedang aspek particularitas-culturalnya adalah terletak pada kejadian perilaku Nabi Muhammad dan nabi-nabi lainnya.
           Keberagamaan Islam, seperti Amin Abdullah kemukakan dalam berbagai kesempatan, mengandung dua dimensi atau aspek sekaligus, yakni aspek normativitas, wahyu dan aspek historisitas-kekhalifahan. Menurut bahasa fuqaha, aspek normatovitas adalah aspek ibadah mahdah yang lebih terasa ditekankan aspek legalitas formalitas-eksternal, sehingga kurang appresiatif terhadap dimensi esoteric – yang padat nilai spiritual-intelektual – yang juga melekat pada religious imperatif yang bersifat mahdhah tersebut. Sedang aspek ‘historisitas’ (baik yang berkaitan dengan persoalan social, politik, budaya, ekonomi pendidikan, lingkungan hidup, kemiskinan) dan sebagainya dianggap cuma masuk wilayah ibadah ghairu madhlah, sehingga tersudut pada kategori fardhu kifayah. Sedang konsekuensi dan Implikasi pemikiran dan pembuatan kategori fardlu’ain dan fardlu kifayah sedemikian besar dalam tata dan pola pemikiran Umat Islam. Persoalan-persoalan dan permasalahan-permasalahan yang masuk dalam kategori fardlu kifayah kurang begitu diminati lantaran sudah ‘terselesaikan’ secara perwakilan oleh beberapa kalangan saja. Sedang ‘perwakilan’ itu sendiri tidak jelas. Jadi, jika dalam kelompok ibadah mahdah, campur tangan akal pikiran manusia sama sekali tidak dibolehkan , maka pada kelompok fardlu kifayah inilah yang sebenarnya menumbuhkan diskursus intelektual yang kritis objektif. Sayang, dalam kelompok ini pun kurang diminati oleh para tokoh agamawan yang menggunakan format pemahaman keagamaan yang lama. Menurut Amin Abdullah,  dalam wilayah fardlu kifayah inilah dibutuhkan jenis pendekatan ‘empiris’ yang lugas, objektif-rasional.[4]
C.  Integrasi Keilmuan Integratif-Interkonektif
 Amin Abdullah merasa bahwa kegiatan aktivitas pendidikan dan keilmuan di Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Agama di tanah air dewasa ini mirip-mirip seperti pola kerja keilmuan abad renaissance hinggan era revolusi informasi. Yangmana hati nurani terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah mengauasai perilaku cerdik pandai. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela. Lingkungan alam rusak berat. Tindakan kekerasan dan mutual distrust pun mewabah dimana-mana.[5] Ini menandakan adanya jarak yang cukup jauh antara dua aspek keagaam yang sering dipahami sebagai normative dan historis. Dari aspek normatifnya, agama mewajibkan pemeluknya untuk melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangannya. Akan tetapi, jika pada kenyataannya perilaku pemeluknya berbeda dari yang perintahkan oleh agama. Maka itu mengindisikasikan adanya keterputusan atau ketimpangan dalam beragama. Jika sudah demikkian, pertanyaannnya adalah di mana peran pendidikan, utamanya pendidikan agama?
Di era global ini, para agamawan terkesan tidak dapat menjadi pelaku perubahan, melainkan hanya penonton dalam kemajuan teknologi dan sebagainya. Begitu pun sebaliknya, para ilmuwan-ilmuwan, termasuk para cerdik pandai semakin jauh dari moral dan etik. Akhirnya, timbul tipologi antara agamawan saja dan ilmuwan saja. Padahal jauh sebelumnya, dalam kependidikan Islam telah terpola pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik yang dipelopori oleh  para ilmuwan seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.[6] Yang selain mereka adalah agamawan juga ilmuwan-ilmuwan yang sudah barang tentu selain memahami agama dengan berbagai moral dan etiknya, juga memnguasai keilmuan-keilmuan lainnya yang notabenenya di luar lingkup agama. Para tokoh ini berhasil memadukan serta mengkorelasikan keilmuan-keilmuan yang mereka miliki.
Untuk mengembalikan paradigma pendidikan yang integrative ini dengan pendekatannya yaitu integratif-interkonektifnya. Ia menekankan bahwa kebutuhan dan perlunya segera adanya interaksi dan interkomunikasi dengan teori-teori dan metodologi-metodologi yang telah digunakan pada disiplin-disiplin ilmu yang lain yang berada di luar lingkarannya batasnya sendiri. Dengan mencangkokkan teori-teori tersebut, memungkinkan terjadi perluasan horizon dan wawasan keilmuan seseorang. Ketika interaksi dan interkomunikasi antar dispilin ilmu ini berlangsung, akan ada perubahan besar pada cara kita mempertanyakan problem-problem akademik.[7] Dan bukan tidak mungkin – yang juga menjadi harapan – dengan adanya interaksi serta interkomunikasi ini bisa mengembalikan kembali peradigma keilmuan yang integrative yang mampu menjadikan manusia sesuai dengan perannya di muka bumi, yang selain sebagai sebagai seorang hamba juga sebagai khalifah di bumi.
Selain itu, paradigma interkoneksitas ini memberikan argumen dalam pemahaman menghadapi kompleksitas perjalanan proses realitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, bahwa setiap gugusan-gususan keilmuan apapun harus melakukan komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan keilmuan yang ada, baik itu keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak akan mampu kokoh sendirian. Memiliki rasa dapat memecahkan permasalahannya, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, oleh karena itu perasaan merasa cukup dengan kekuatan sendiri ini akan mengakibatkan pemikiran sikap yang terkungkung dengan polanya yang sempit atau dapat diistilahkan dengan egoisme disiplin keilmuan. Sikap saling kerjasama, saling tegur sapa, merasa saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan lebih dapat membantu manusia dalam memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sedangkan paradigma integrasi keilmuan memberikan gambaran dengan berharap tidak akan memunculkan kembali ketegangan dan tirai antar keilmuan yang dimaksud dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normatif ke wilayah historis atau sebaliknya. Paradigma interkoneksitas akan lebih memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih unggul yakni modest, humility dan humanis.[8]
Paradigma interkonektif-integratif ini dapat dipahami sebagai upaya membangun kerjasama yang efektif dan mendalam sedemikian rupa antar berbagai disiplin keilmuan sehingga terjadi komunikasi efektif membuka tirai-tirai dari bangunan-bangunan keilmuan, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman. Sedangkan untuk mengurai krisis relevansi dalam perkembangan ilmu-ilmu sekuler diberikan konsep gerakan rapprochement yakni kesediaan untuk saling menerima keberadaan kubu-kubu keilmuan yang lain dengan lapang dada. Gerakan ini disebut juga gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan. Lebih lanjut, Amin Abdullah memberi catatan, bahwa:
Paradigma keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistic-integralistik), itu tidak berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekuralisme) atau mengucilkan manusia teraleniasi dari dirinya sendiri dari masyarakat sekitar dan lingkungan sekitarnya.[9]
Artinya, terjadinya integrasi keilmuan yang oleh Amin Abdullah didekatinya dengan pendekatan integratif-interkonektif ini bukan berarti antar satu keilmuan dengan keilmuan lainnya saling bersaing untuk saling mendominasi dan mempengaruhi. Bahkan sebaliknya, yang dikehendaki adalah antara satu keilmuan dengan keilmuan lainnya saling melengkapi. karena sama halnya dengan manusia yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain, ilmu pun demikian yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa bertegur sapa dengan ilmu lain.
Selain itu, keilmuan Islam yang ada saat ini, selain dihadapkan pada fenomena pendikotomian dengan ilmu umum, juga dihadapkan pada tidak adanya upaya perluasan serta pemekaran dalam pengembangan yang mendorong kemajuan dan pertumbuhan ilmu-ilmu keislaman.[10]
D. Kontekstualisasi Permasalahan
              Amin Abdullah mengutif pendapat  Ian G. Barbour bahwa hubungan agama dan ilmu dapat diklasifikasikan menjadi empat corak, yaitu, Konflik (bertenangan), Independensi (masing-masing berdiri sendiri-sendiri), Dialog (berkomunikasi) atau Integrasi (menyatu dan bersinergi). Sekedar sebagai ilustrasi, ada empat peristiwa penting di tanah air, pada tahun 2012 dan 2013, yang sedikit banyak dapat menggambarkan corak hubungan antara agama dan ilmu di tanah air.  
             Pertama, Pada tanggal 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan ketetapan baru, menyempurnakan pasal 43, ayat 1, Undang undang Perkawinan 1974, dengan menetapkan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Dengan ketetapan ini, maka hak keperdataan anak hasil pernikahan sirri antara almarhum Moerdiono, mantan Mensekneg, (mohon maaf, saya menyebut nama, mengikuti pers memberitakannya saat peristiwa itu terjadi) dan Machica Mochtar. Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa almarhum Moerdiono adalah ayah biologis dari M. Iqbal Ramadlan, sebagai anak hasil perkawinan sirri dengan Machica Mochtar berdasar atas bukti ilmu pengetahuan (DNA). Peradilan Agama di wilayah Jakarta, semula memutuskan atas gugatan yang diajukan oleh Machica Mochtar bahwa anak hasil nikah sirri (yang sah menurut agama) - karena tidak tercatat dalam catatan Kantor Urusan Agama ataupun Kantor Catatan Sipil - maka anak yang lahir akibat perkawinan sirri tersebut hanya dapat dinisbahkan kepada ibunya, dan tidak dapat dinisbahkan kepada ayah (biologis) nya. Pada era pra modern, sesuai dengan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, memang sulit sekali membuktikan secara biologis siapa laki-laki/ayah yang sesungguhnya dari anak yang lahir dari seorang wanita/ibu, yang karena sesuatu dan lain hal, tidak diketahui laki-laki yang membuahinya. Para ahli agama saat itu menerima begitu saja kesepakatan yang berlaku saat itu. Namun, kesepakatan dan ketetapan yang semula tidak bermasalah itu, tiba-tiba saja menjadi masalah ketika dapat ditemukan bukti lain melalui kerja penelitian ilmu pengetahuan, khususnya ilmu biologi dan kedokteran, yang berkembang pesat pada era modern. Ilmu biologi dan kedokteran modern dapat membuktikan secara medis-biologis melalui test DNA siapa laki-laki yang menjadi ayah biologis dari anak yang lahir dari seorang wanita. Ketika para hakim agama mengabaikan bukti ilmu pengetahuan, semata mata karena hanya menetapkan amar keputusannya berlandaskan pada pendapat dan kesepakatan para ahli agama/fikih yang tertuang dalam naskah kitab fikih abad tengah (pra scientific), maka akan tampak bahwa paradigm yang digunakan oleh para hakim agama adalah paradigma Konflik atau Independensi. Para hakim agama dikatakan menggunakan paradigma Konflik, jika pemahaman, penafsiran dan kesepakatan ilmuan agama (agama) abad tengah masih digunakan pada era modern dan mereka tidak bersedia berdialog, enggan memanfaatkan masukan yang dapat diperoleh dari temuan ilmu pengetahuan biologi modern. Paradigma Independensi, jika masing-masing institusi, yakni institusi Peradilan Agama (PA) dan institusi Mahkamah Konstitusi (MK), berdiri sendiri-sendiri diatas fundasi legalitas dan otoritasnya masing-masing, tanpa melakukan dialog dan tanpa melakukan penyesuaian sedikitpun. Kabarnya, belum semua para hakim agama di tanah air dapat menerima keputusan Mahkamah Konstitusi yang berlandaskan pada bukti ilmu pengetahuan.
           Kedua, juga masih terkait dengan perkawinan sirri antara seorang pejabat publik, seorang bupati yang masih aktif, dengan seorang wanita yang hanya dinikahinya untuk beberapa hari. Setelah dicerai melalui pesan SMS, maka media massa meramaikannya di ruang publik dan menjadi isu nasional, sehingga Presiden setelah mendapat masukan dari Kementrian Dalam Negeri dan DPRD setempat, akhirnya memberhentikan dari jabatannya sebagai Bupati Kepala Daerah. Pasalnya sederhana dan mudah ditebak, yakni masih digunakannya paradigma Konflik. Konflik antara agama, yakni paradigma ilmu fikih dan paradigma ilmu pengetahuan, dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan sosial dan humanities kontemporer. Lewat kasus ini dapat terbaca dengan jelas bahwa paradigma Konflik masih sangat melekat kuat dalam budaya berpikir sosial-keagamaan para aktor di lapangan di tanah air. Tidak mesti seorang pejabat publik dan lebih-lebih lagi orang kebanyakan, mampu mendialogkan, mengawinkan atau mengintegrasikan keilmuan agama dan keilmuan sosial dan humanities kontemporer dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaaan metode qiyas atau analogi dalam berpikir keagamaan yang berorak fiqhiyyah-agama  ternyata masih tampak kental dalam berpikir dan berargumen yang dikemukakan di ruang publik. Ketika didesak para wartawan dalam konferensi pers bahwa Bupati tidak berbuat adil terhadap wanita yang dinikahinya secara sirri, maka jawaban yang dikemukakan membantah dengan tegas bahwa tindakan atau perbuatannya tersebut disebut tidak adil, dengan landasan berpikir bahwa dia telah memberi wanita tersebut sejumlah uang. Ibarat membeli barang dan setelah barang tersebut dibeli dan kemudian diperiksa ternyata rusak, maka dia berhak mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya. Mengqiyaskan atau menganalogkan wanita dengan barang dagangan (pemahaman agama bercorak fiqhiyyah) inilah yang berseberangan dan bertentangan dengan kesadaran kemanusiaan baru (falsafiyyah), yang didukung oleh pengetahuan sosial dan humanities kontemporer, tentang non-derogability (prinsip tidak dapat direndahkannya harkat kemanusiaan seseorang dengan dalih dan alasan apapun) dan human dignity/al-karamah al-insaniyyah (menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan) seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Artinya perlakuan terhadap manusia (pria atau wanita; dewasa atau anak-anak; berkebutuhan biasa atau khusus/disable/difable) tidak dapat sama sekali disamakan dengan perlakukan seseorang terhadap barang, benda, binatang atau tumbuh-tumbuhan. 
            Ketiga adalah kasus Sampang Madura. Pembakaran rumah dan penghilangan nyawa dan hak hidup orang atau kelompok di bumi tanah air Indonesia. Para pimpinan agama di daerah dan sebagian di pusat, juga para tokoh politik setempat tiba-tiba terjebak dalam pemahaman ilmu agama (Ulumu al-din) lama yang menyatakan bahwa kelompok Syiah adalah sesat. Pernyataan ini bertentangan dengan fatwa ulama al-Azhar yang dikeluarkan tahun 1959 yang menyatakan bahwa Syiah adalah salah satu mazhab yang sah dalam Islam. Tidak hanya itu, masih tergambar disitu bahwa para tokoh agama dan para politisi di daerah ketika mengelola negara modern yang berlandaskan konstitusi masih disamakan saja dengan mengelola pertikaian antar mazhab dan aliran  pemikiran keagamaan seperti yang biasa mereka jumpai dalam buku-buku atau kitab-kitab agama yang mereka dulu baca di lembaga-lembaga pendidikan Islam konvensional. Istilah taubatan nasuha (tobat yang sungguh-sungguh) masih diartikan secara politis dan sepihak, yakni dengan cara meninggalkan Syiah kembali lagi ke Sunni dan begitu pula sebaliknya. Bukannya dengan cara menghormati hak-hak hidup orang per orang atau kelompok yang berbeda dalam negara modern yang menjunjung tinggi konstitusi sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. What went wrong ? Apa yang salah disini?
            Keempat, yang secara reguler-terus menerus akan terulang setiap tahun adalah penentuan awal bulan ramadhan dan hari raya idul fitri. Pergumulan - untuk tidak menyebutnya paradigma Konflik - antara agama dan ilmu pengetahuan selalu dipertontonkan di ruang publik dan belum ada tanda-tanda untuk berakhir dalam waktu dekat ini. Konflik, atau perbedaan antara system perhitungan datangnya awal bulan ramadlan melalui rukyat (melihat awal bulan secara empiris, dengan menggunakan mata telanjang – yang dibantu dengan teleskop) dan sistem perhitungan awal bulan melalui hisab (lewat perhitungan rasional)  selama ini.  Konflik yang terjadi ini  tetap saja menimbulkan rasa kurang nyaman karena terkait dengan kepentingan orang banyak secara nasional, baik menyangkut urusan intern agama itu sendiri (penentuan waktu takbir menyudahi ibadah puasa untuk wilayah Indonesia bagian timur, persiapan salat idul fitri), namun juga soal transportasi, penetapan hari libur dan masuk kantor dan seterusnya. Belum lagi ada ketidaknyamanan atau ketegangan sosial-psikologis tahunan ketika mengikuti sidang dewan itsbat (penentuan awal bulan ramadlan dan atau awal syawwal) oleh pemerintah yang hanya dilakukan sehari sebelum hari H, sehingga secara managemen tidak dapat diantisipasi implikasi dan konsekuensi dari keputusan sidang yang tidak dilakukan jauh-jauh hari.
            Belum tentu orang atau kelompok yang merasa menguasai ilmu keagamaan secara baik secara otomatis akan dapat memahami dan mengenal perkembangan ilmu pengetahuan di luar bidang keahliannya secara baik pula. Ilmu agama atau ilmu fikih yang tidak dibarengi ilmu sosiologi dapat mengguncang dan menurunkan kedudukan, martabat dan jabatan seseorang. Ilmu Kalam/Aqidah yang tidak dibarengi ilmu sosiologi dan antropologi menjadikan keimanan seseorang penuh dengan rasa tidak nyaman, jika hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda keyakinan dan agama. Begitupun sebaliknya, keahlian dalam bidang antropologi, sosiologi, kedokteran yang tidak memahami persoalan fikih dalam berhubungan sosial dengan wanita juga dapat mendatangkan madarat atau resiko yang tidak terduga. Kesalehan individual yang tercermin dalam ketaatan beribadah secara ritual, belum tentu menjamin terbentuknya kesalehan sosial, apalagi kesalehan publik. Kesalehan publik yang antara lain menghargai orang atau kelompok lain yang berbeda, kesetaraan di depan hukum, menghormati hak asasi manusia belum tentu dapat berdialog dan terintegrasi dalam way of thinking, budaya pikir sosial-keagamaan secara utuh. Dalam konteks inilah maka diskusi akademik bagaimana hubungan antara agama, sains dan budaya mendapat momentum untuk terus menerus dibicarakan, diperdalam dan dikembangkan.
            Dari gambaran keempat catatan peristiwa yang terjadi di tanah air tersebut menunjukkan bahwasanya hubungan antara agama dan ilmu masih menunjukkan hubungan yang belum begitu serasi, kurang harmonis, untuk tidak menyebutnya Konflik. Tidak semua bidang kehidupan menunjukkan corak hubungan seperti itu, tapi persoalannya adalah bagaimana cara memandu menyelesaikan ketegangan yang selalu ada antara keduanya? Tulisan tidak bermaksud untuk meniadakannya sama sekali, tetapi klarifikasi filosofis dan keilmuan diperlukan untuk menjawab mengapa hal-hal tersebut masih saja sering terjadi dan bagaimana jalan dan upaya akademik lewat jalur pendidikan ke depan yang kiranya dapat membantu mengurangi ketegangan yang tidak perlu tersebut.[11]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
              Dari uraian tersebut di atas dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
A.    Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, Ph.D. lahir pada tanggal 28 Juli 1953 di desa Margomulyo, Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Amin Abdullah adalah sosok pemikir yang produktif. Disamping menerjemahkan buku-buku karya penulis berkaliber dunia, Amin Abdullah juga sangat aktif menjadi nara sumber baik pada seminar nasional maupun internasional. Selain itu, keilmuan Islam yang ada saat ini, selain dihadapkan padafenomena pendikotomian dengan ilmu umum, juga dihadapkan pada tidak adanya upaya perluasan serta pemekaran dalam pengembangan yang mendorong kemajuan dan pertumbuhan ilmu-ilmu keislaman.
B.     Keberagaman Islam mengandung dua dimensi atau aspek sekaligus, yakni aspek normativitas, wahyu dan aspek historisitas-kekhalifahan. Menurut bahasa fuqaha, aspek normativitas adalah aspek ibadah mahdah. Sedangkan aspek historisitas masuk wilayah ibadah ghairu mahdah.
C.     Pendekatan integratif-interkonektif yang diusung oleh Amin Abdullah merupakan pendekatan yang mencoba menjawab fenomena dikotomi ilmu yang terjadi. Pendekatan ini mencoba untuk menjelaskan bahwa antara satu keilmuan dengan keilmuan lainnya mempunyai hubungan saling melengkapi, bukan saling mengungguli.
D.    Dari gambaran keempat catatan peristiwa yang terjadi di tanah air tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara agama dan ilmu masih menunjukkan hubungan yng belum begitu serasi dan kurang harmonis.

















DAFTAR PUSTAKA
Amir Abdullah, Falsafah Kalam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. Ke-IV, 2009
Amin Abdullah,  Islami  Studies   di  Perguruan  Tinggi,  Pustaka  Pelajar, Yogyakarta,
             cet. ke-III, 2012                                                                    
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pustaka Agung Harapan, Jakarta,
             2006
https://aminabd.files.wordpress.com/2013/10/agama-ilmu-dan-budaya-pdf
Suharyanta  dan   Sutarman,  Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif
            Amin  Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam, Mukaddimah, Vol. 18 No. 1, 2012
www.hasrof.com/2014/01/epistemologi-Keilmuan-re-integratif-html



                 [1] Departemen Agama RI,   Al-Qur’an dan Terjemahnya,   (Jakarta :   Pustaka  Agung   Harapan, 2006), h. 904
                [2]  www.hasrof.com/2014/01/epistemologi-keilmuan-re-integratif-html
            [3] Suharyanta dan Sutarman, Relevansi Epistimologi Keilmuan Integratif-Interkonektif Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam, Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012, h. 57
                 [4] Amin Abdullah, Falsafah Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet. ke IV, h. 19-22
             [5] Amin Abdullah,   Islamic   Studies    di   Perguruan   Tinggi;    Pendekatan Integratif-Intekonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 94
             [6] Ibid., h. 95
              [7] Ibid., h. 58
                  [8] Suharyanta dan Sutarman, op. cit., h. 62
                  [9] Amin Abdullah, op. cit., h. 104
                [10] Ibid., h. 55
                    [11] https://aminabd.files.wordpress.com/2013/10/agama-ilmu-dan-budaya-pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar