Selasa, 23 Juni 2015

MODEL PEMBELAJARAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM (PESANTREN)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, informal, maupun non-formal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat. Adapun karakter kuat ini dicirikan oleh kapasitas moral sese-orang, seperti kejujuran, kekhasan kualitas seseorang yang membedakan dirinya dari orang lain serta ketegaran untuk menghadapi kesulitan, ketidak enakan, dan kegawatan.[1]
             Karakter bangsa yang kuat bisa bisa diperoleh dari sistem pendidikan yang baik dan tidak hanya mementingkan faktor kecerdasan intelektual semata, melainkan juga pendidikan yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan. Untuk mewujudkan hal itu, maka diperlukan pendidikan yang mencakup dua unsur utama, yaitu keunggulan akademik dan non akademik (termasuk keunggulan spiritual).
             Sekolah formal (sekolah/madrasah) lembaga pendidikan yang berfokus pada faktor kecerdasan akademik meskipun tidak lantas mengabaikan hal-hal yang ber-sifat spiritual atau keagamaan. Hanya saja, sistem pendidikan di sekolah formal memang menekankan pencapaian prestasi anak didik dalam hal kecerdasan inte-lektual yang pada akhirnya bermuara pada berbagai ukuran akademik.
             Sementara itu, pondok pesantren menjadi salah satu pilihan lembaga pendi-dikan yang mengutamakan upaya pencerdasan spiritual. Pada perkembangannya pesantren menjadi salah satu sistem pendidikan yang mendapatkan perhatian, baik dari masyarakat umum maupun dari pemerintah. Konsep asrama dan belajar sepanjang waktu yang dikembangkan di pesantren diadopsi oleh lembaga-lembaga pendidikan sekolah/madrasah di Indonesia. Selanjutnya penulis mencoba membahas Model-Model Pembelajaran dalam Pendidikan Islam (  Pesantren ).
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaiaman Sejarah Kemunculan Pesantren ?
2.    Bagaiaman Relasi Kyai dan Santri di Pesantren ?
3.    Bagaimana Model Pembelajaran dalam Pendidikan Islam (Pesantren) ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui Sejarah Kemunculan Pesantren.
2.      Mengetahui Relasi Kyai dan Santri di Pesantren.
3.      Mengetahui Model Pembelajaran dalam Pendidikan Islam (Pesantren).










BAB II
PEMBAHASAN   
A.    Sejarah Kemunculan Pesantren
             Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran Islam dimana di dalamnya terjadi interaksi antara kyai atau ustadz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama pondok untuk mengaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu.
             Di Indonesia, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah dikenal sejak zaman kolonial. Usia pesantren sudah sangat tua dan tidak pernah lekang diterpa perubahan zaman. Semakin lama semakin modern dan jumlahnya pun semakin banyak.[2]
             Jauh sebelum masa kemerdekaan: pesantren telah menjadi sistem pendidikan nusantara, hampir di seluruh pelosok nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga  pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda seperti meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan pesantren di jawa. Namun demikian, secara historis awal kemunculan dan asal usul semua itu masih kabur.
             Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi ini merupakan hasil adopsi dari model perguruan yang di selenggarakan orang-orang hindu dan Budha Sebagaimana diketahui. Sewaktu Islam datang dan berkembang di pulau jawa telah dan lembaga perguruan hindu dan budha yang menggunakan sistem biara dan asrama sebagai tempat para pendeta dan bhiksu melakukan kegiatan pembelajaran kepada para pengikutnya. Bentuk pembelajaran seperti ini kemudian menjadi contoh sebagai pembelajaran para wali dalam melakukan kegiatan penyiaran dan pengajaran Islam. Kepada masyarakat luas, dengan mengambil bentuk sistem biara dan asrama dengan mengubah isinya dengan pengajaran agama Islam yang kemudian di kenal sebagai pondok pesantren. Sejalan dengan ini pesantren lahir semenjak masa awal kedatangan Islam di jawa, masa Wali Songo. Di duga kuat bahwa pesantren pertama kali didirikan di desa Gapura Gresik Jawa Timur dan di hubungkan dengan usaha Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Ampel). Jadi perintis pertama berdirinya pesantren di Jawa adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim. Ia adalah ulama yang berasal dari Gujarat, India.
           Istilah pesantren  itu sendiri seperti halnya mengaji bukanlah berasal dari istilah bahasa Arab, melainkan Dari India. Demikian juga istilah pondok langgar, surau di Minaangkabau dan Rangkang di Aceh. Pada awalnya jamaah hanya terdiri dari beberapa orang saja. Selesai shalat berjamaah sang kyai biasanya memberikan ceramah pengajian sederhan. Isinya pengajian biasanya berkisar pada rukun iman, rukun Islam serta akhlaq lebih banyak menyangkut kehidupan sehari-hari berkat caranya yang menarik dan ke ikhlasannya yang tinggi serta prilakunya yang shaleh, lama kelamaan jamaahnya bertambah banyak.
             Dalam sejarah perkembangannya, fungsi pondok pesantren adalah mencetak ulama dan ahli agama, hingga dewasa ini fungsi pokok itu tetap terpelihara dan di pertahankan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, seiring dengan kegiatan dan pengajaran agama beberapa pesantren telah melakukan pembaharuan dengan mengembangkan komponen-komponen pendidikan lainnya. Seperti ditambahkannya system sekolah. Adanya pendidikan kesenian, pendidikan bahasa asing ( Arab dan Inggris), pendidikan jasmani serta pendidikan keterampilan.[3]  
B.     Relasi Kyai dan Santri di Pesantren    
            ”Sesungguhnya guru dan dokter tidak akan berguna nasehatnya bila tidak dihormati. Bersabarlah dengan penyakitmu bila kamu menentang dokter. Dan bersabarlah kamu dengan kebodohanmu bila kamu menentang guru.”[4]  (Ta’lim Al-Muta’alim)
Syair dalam kitab Ta’lim Al-Muta’alim ini, menjadi mantra wajib yang harus diajarkan kepada santri pemula di setiap pesantren. Bahkan, syair tersebut menjadi prasyarat bagi murid yang ingin sukses dalam menyerap kekayaan ilmu pengetahuan di pesantren. Suasana di pesantren, begitu kental dengan nuansa pembelajaran. Di dalamnya terdapat orang yang selalu ingin belajar, mengembangkan intelektual, pengetahuan keagamaan, dan terdapat banyak orang yang sedang menata moral dan memperbaiki aqidah.
              Sebagai suatu tempat untuk meresapkan jiwa keislaman, pesantren tak hanya dihormati sebagai tempat belajar, tetapi lebih ditekankan sebagai tempat tinggal yang seluruhnya dipenuhi dan diresapi dengan nilai-nilai agama. Tidak ada tempat lain di mana sholat didirikan dengan taat seperti disana. Siang hari, lantunan ayat-ayat AlQuran menggema di dalam dan sekitar pesantren, memperbaiki bacaan dengan tajwid yang benar, atau hanya untuk mengharapkan pahala dari membaca Al-Qur’an. Malam harinya, dijumpai orang membaca kalam Ilahi, dan mendirikan sholat dikeheningan malam.
             Suasana Pesantren yang dipenuhi oleh rasa keingintahuan santri, dalam membuka tabir nilai keilmuan maupun spiritual, menjadi ciri khasnya untuk membedakan dengan lembaga-lembaga pendidikan formal. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisioanal, memiliki ciri penting yang kiranya selalu melekat dan menyatu menjadi identitasnya, yaitu Santri, Kyai, Masjid, Pondok, dan Kitab Klasik (Kitab Kuning). Hubungan kelima unsur tersebut sangat erat. Lebih-lebih hubungan antara Kyai dan Santri, yang menggambarkan hubungan “guru murid”, sangat khas dalam dunia kehidupan Pesantren.
            Asal muasal istilah pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe dan  akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Namun istilah yang lebih ngetrend di kalangan masyarakat tradisionalis adalah nama pondok. Istilah pondok sendiri terlahir dari pengertian asrama atau tempat tinggal para santri yang terbuat dari bambu, atau barangkali berasal dari bahasa Arab fundug yang berarti hotel atau asrama. Pondok ini merupakan tempat tinggal para santri dalam rangka menuntut pelajaran dan pendidikan keagamaan Islam di bawah asuhan para kyai atau ulama.
             Pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi Pesantren. Ada tiga alasan utama kenapa Pesantren  harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemasyhuran sorang kyai dan kemampuan intelektualnya yang mendalam tentang Islam, menarik santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di sekitar kediaman kyai. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa, di mana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung santrisantri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara santri dan kyai, dimana santri menganggap kyai sebagai bapaknya sendiri dan kyai mengganggap santri sebagai anak atau titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi, baik fisik maupun moralnya.[5]
            Ketulusan untuk belajar merupakan salah satu bentuk dari cinta yang ditunjukkan santri pada kyainya. Cinta antara santri dan kyai merupakan ikatan batin yang hanya bisa dirasakan. Relasi antara santri dan kyai adalah salah satu bentuk dari cinta. Tak mungkin ada orang betah belajar bertahun-tahun di lingkungan pesantren, menghadapi rutinitas yang sama, orang-orang yang relative sama, guru yang sama kalau tak didasari spirit cinta.
             Unsur lain yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pendidikan Pesantren adalah kyai, yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh para santri. Kharismatiknya membuat para santri penuh hormat dan meminta barokah dari sang kyai atau tabarruk. Kepemimpinan Kyai di pondok Pesantren biasanya menentukan popularitas pondok Pesantren itu sendiri.[6]
              Menurut asal usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama, sebagai gelar terhadap barang-barang yang dianggap keramat; seperti “Kyai Slamet” dipakai untuk sebutan Kerbau Bule yang ada di Keraton Surakarta. Kedua, dipakai untuk gelar orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan Pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.
            Relasi antara kyai dan santri dalam tradisi Pesantren, tak hanya terjadi di dalam forum belajar saja. Namun, tokoh guru dalam tradisi pesantren (kyai), juga membuka kesempatan belajar di luar forum (berdasarkan realitas). Seringkali mereka menggunakan masjid sebagai ruang yang cukup representative selain untuk sembahyang, Masjid juga dijadikan sebagai ruang utama untuk ngaji. Masjid merupakan elmen yang tak bisa dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri.
            Kedudukan masjid sebagai ruang dialekta antara santri dan kyai dalam tradisi Pesantren merupakan manifestasi universal dari sistem pendidikan Islam tradisional. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren. Kurikulum yang diajarkan pada kebanyakan pesantren di Jawa, masih menggunakan acuan-acuan kitab klasik (kitab kuning) yang memakai bahasa Arab. Keseluruhan kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam delapan kelompok: a. nahwu  dan shorof ; b. fiqih; c. usul fiqih; d. hadist; e. tafsir; f. tauhid; g. tasawuf dan etika, dan masih ada delapan cabang-cabang ilmu lain seperti balaghah dan tarikh.[7]
             Dalam tradisi Pesantren, perasaan hormat dan kepatuhan murid kepada gurunya adalah mutlak dan tak boleh putus, artinya berlaku seumur hidup sang murid. Di samping itu rasa hormatnya yang mutlak itu harus ditunjukkan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan maupun pribadi. Melupakan ikatan dengan guru dianggap sebagai suatu aib yang besar, disamping akan menghilangkan barakah guru. Akibat selanjutnya dari kehilangan barakah guru ialah pengetahuan si murid tidak akan bermanfaat. Bagi seorang santri adalah “tabu” mengatakan bahwa ia “bekas” murid dari seorang kyai tertentu, sebab sekali ia menjadi murid kyai tersebut, seumur hidupnya akan menjadi muridnya. Bahkan, bilamana guru tersebut telah meninggal, si murid harus masih menunjukkan hormatnya dengan tidak melupakan kontak dengan Pesantren sang guru.
              Hubungan antara santri dan kyai pada umumnya merupakan hubungan ketaatan yang tanpa batas, demikian pula kepada “guru bantu.” Tetapi hubungan antar santri tidak tergantung dan dibatasi tinggi rendahnya status orang tua santri. Bagi mereka, status sebagai seorang pelajar, adalah sama, tidak melihat seberapa besar kekayaan yang dimiliki. Namun, kemampuan intelektual santri, lebih menentukan derajatnya dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Kehidupan di pesantren hampir seluruhnya diatur oleh santri sendiri. Kyai tidak terlibat langsung dalam kehidupan para santri.
              Para murid harus menunjukkan hormat dan kepatuhan mutlak kepada gurunya, bukan sebagai manifestasi penyerahan total kepada guru yang dianggap mempunyai otoritas, tetapi karena keyakinan murid kepada kedudukan guru sebagai penyalur kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada murid-muridnya, baik di dunia maupun di akherat.
              Perilaku guru, menjadi salah satu hal yang berpengaruh dalam proses belajar si murid. Sekali guru melakukan perbuatan maksiat, maka guru tersebut tidak lagi dianggap sebagai penyalur barakah dan kemurahan Tuhan. Hormat dan kepatuhan absolut kepada seorang guru didasari kepercayaan bahwa guru tersebut memiliki kesucian karena memegang kunci penyalur pengetahuan dari Tuhan. Bila ada seorang guru yang melanggar peraturan dalam agama, maka tingkat kesucian itu akan hilang. Oleh karena itu, menurut ajaran Islam, kewajiban seorang murid untuk patuh secara mutlak kepada gurunya harus kita mengerti dalam hubungannya dengan kesalehan guru kepada Tuhan, ketulusannya, kerendahan hatinya, dan kecintaannya mengajar murid-muridnya.
             Kepercayaan murid pada guru, didasarkan pada keyakinan bahwa gurunya adalah seorang alim yang terpilih. Selain itu, para guru mencurahkan waktu dan tenaganya mengajar murid-muridnya karena sang guru merasa bertanggungjawab di depan Tuhan untuk menyalurkan ilmu yang dimilikinya kepada si murid. Kesalingtergantungan antara guru dan murid, kesaling-pengertian mereka, ketulusan bersama, kesabaran, kecintaan antara guru dan murid, semuanya merupakan faktor penjamin kelangsungan hidup di Pesantren.[8]
C.    Model Pembelajaran Dalam Pendidikan Islam  (Pesantren)
1.      Pengertian Model Pembelajaran
             Kata ”model” oleh Kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan ”pola (contoh, acuan, ragam dsb) dr sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.[9] Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan.
             Pembelajaran dapat dikatakan sebagai hasil dari memori, kognisi, dan metakognisi yang berpengaruh terhadap pemahaman. Hal inilah yang terjadi ketika seseorang sedang belajar, dan kondisi ini juga sering  terjadi dalam kehidupan sehari-hari, karena belajar merupakan proses alamiah setiap orang.[10]
             Model Pembelajaran Menurut Joyce & Weil yang dikutif  Dr. Rusman, M. Pd bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.[11] Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru dapat memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajarannya.
             Jadi Model Pembelajaran adalah suatu kerangka konseptual yang menggam-
barkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Dengan kata lain bahwa model pembelajaran merupakan sebuah acuan atau pedoman atau pola bagi para perancang pembelajaran dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran. Sehingga dengan demikian kegiatan/proses pembelajaran yang dilakukan baik di sekolah maupun di luar sekolah, benar-benar merupakan suatu kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.
2.      Model Pembelajaran di Pesantren
       Para ahli pendidikan, mengklasifikasi jenis pesantren kedalam  dua tipologi; yakni pesantren modern, yang sudah banyak mengadopsi sistem pendidikan sekolah modern Barat dan pesantren Salaf, yang berorientasi pada pelestarian tradisi dengan sistem pendidikan tradisional.[12]
             Berkaitan hal tersebut, disini akan dikemukakan Model Pembelajaran  Pesantrean  Salaf saja.  Pada umumnya pembelajaran di Pesantren  mengikuti pola tradisional, yaitu dengan menggunakan model pembelajaran sorogan dan bandongan.[13]
a.      Model Pembelajaran Sorogan
1.    Pengertian
             Model sorogan adalah pembelajaran sistem privat yang dilakukan santri kepada seorang kyai.[14] Model yang santrinya  cukup pandai mensorogkan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kyai . Model ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.[15] Model sorogan ini sebagai model pembelajaran yang sangat penting untuk para santri, terutama santri yang bercita-cita menjadi kyai. Karena dengan model sorogan, santri akan memperoleh ilmu yang meyakinkan dan lebih berfokus kepada persyaratan utama menjadi kyai, yakni memahami ilmu alat dalam ilmu-ilmu yang paling prinsipil di Pondok Pesantren.[16]
              Berdasarkan dari bebarapa batasan tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa model pembelajaran sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individu), dibawah bimbingan seorang ustadz atau kyai. Model sorogan merupakan sebuah sistem belajar dimana para santri maju satu persatu untuk membaca dan menerjemahkan kata demi kata kedalam bahasa tertentu serta  menguraikan isi kitab di hadapan kyai atau ustadz.
2.    Tujuan Pembelajaran
              Adapun yang menjadi tujuan model pembelajaran sorogan ini diantaranya sebagai berikut:
a.        Santri dapat  memahami/ menguasai  tentang pengetahuan tata bahasa Arab dengan baik dan benar, sehingga  santri dapat menerapkan bahasa kitab tersebut menjadi bahasa kesehariannya;
b.       Santri mampu membaca, menerjemahkan, menjelaskan isi kitab dengan baik dan benar atau santri  menguasai isi kitab yang dipelajari dengan baik dan benar, sehingga santri dapat menerapkan inti sari hikmah isi kitab tersebut dalam kehidupan keseharian.
              Melalui model Sorogan, perkembangan intelektual santri dapat ditangkap dan dipahami oleh kyai secara utuh. Kyai dapat memberikan bimbingan penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri  atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka.
              Model sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai langkah awal bagi seorang santri yang bercita-cita menjadi orang berilmu. Sistem ini memungkinkan
 seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai bahasa Arab.[17]
               Dalam hal ini, kyai lebih paham masa depan santrinya, mereka berusaha mencetak kader Ulama yang memahami seluruh bidang ilmu pengetahuan Agama, pengetahuan Agama itu berada pada kitab-kitab kuning yang diajarkan di Pesantren.
3.      Teknik Pembelajaran
            Pengajian dengan  sistem sorogan ini biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu di mana di situ tersedia tempat duduk seorang kyai atau ustazd, kemudian di depannya terdapat bangku pendek unik meletakan kitab bagi santri yang menghadap. Pelaksanaannya dapat digambarkan sebagai berikut:
a.       Santri berkumpul ditempat pengajian sesuai dengan waktu yang ditentukan dengan masing-masing membawa kitab yang hendak dikaji.
b.      Seorang santri yang mendapatkan giliran menghadap langsung secara tatap muka kepada gurunya. Ia membuka bagian yang akan dikaji dan meletakannya
      di atas meja yang telah tersedia di depan kyai atau ustadz.
c.       Kyai atau ustadz membacakan teks dalam kitab itu, baik sambil melihat maupun secara hafalan dan kemudian memberikan artinya dengan mengguna-
    kan bahasa melayu atau bahasa daerahnya.
d.      Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan kyai atau ustadz dan mencocokannya dengan kitab yang dibawanya.
e.       Santri kemudian menirukan kembali apa yang dibacakan kyai atau ustadz secara sama.
f.       Kyai atau ustadz mendengarkan dengan tekun pula apa yang dibaca santrinya sambil melakukan koreksi-koreksi seperlunya.
              Model pembelajaran ini termasuk model pembelajaran yang sangat bermakna, karena berlangsungnya proses belajar mengajar secara face to face atara santri dan kyai, sehingga santri akan merasakan hubungan khusus ketika berlangsung kegiatan pembacaan kitab oleh dirinya dihadapan kyai atau ustadznya. Kemudian kedekatan personal kyai dan santri tersebut dilengkapi dengan hubungan spiritual yang saling mendukung, yang dilakukan dengan cara saling mendo’akan.[18]
4.Tahap Persiapan
            Ada beberapa hal yang dipersiapkan sebelumnya oleh kyai/ustadz  maupun santri, yaitu:
a.       Penyusunan kurikulum yang berisi jenis materi (Tafsir, Fiqh, dan sebagainya. Pada setiap tingkatan dengan berbagai macam nama-nama kitab yang menjadi pegangannya.
b.      Pendataan nama-nama santri yang berada di bawah bimbingan seorang ustadz. Hal ini dilakukan untuk mendata tingkat aktivitas dan perkembangan kemampuan santri untuk waktu berikutnya.
c.       Santri menyiapkan kitab yang akan dipelajarinya beserta alat-alat tulis seperti pulpen dan buku tulis yang berfungsi untuk mencatat hal-hal penting.
5. Tahapan Pelaksanaan
               Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a.    Menciptakan situasi dan kondisi yang komunikatif antara santri dan guru dalam kegiatan pembelajaran.
b.    Dalam membaca dan menerjemahkan teks Arab gundul seorang ustadz menyampaikannya secara perlahan dan menggunakan bahasa yang mudah untuk difahami oleh santrinya.
c.    Setelah membacakan dan menerjemahkan satu alinea atau satu topic tertentu sesuai keinginan dan pertimbangan ustadz, santri disuruh membaca dan menerjemahkan teks yang telah dibaca tadi dengan pembetulan apabila ada kekeliruan dalam pembacaan dan penerjemahannya.
d.   Setelah membaca dan menerjemahkan dengan benar, seorang ustadz biasanya menanyakan atau meminta kepada santri tadi untuk menjelaskan maksud dari yang telah dibaca, ini dilakukan untuk melatih daya tangkap (pemahaman) santri terhadap teks.
e.    Setelah santri menjelaskan, ustadz mengulas apa yang telah dijelaskan oleh santri tadi serta menambahkan atau membetulkan apabila penyampaian santri ada hal-hal yang kurang atau keliru.
            Model pembelajaran sorogan dipergunakan untuk pembelajaran kepada santri khusus yang memiliki kemampuan untuk dididik menjadi ustadz, kegiatannya dilakukan melalui:
a.       Santri diminta untuk membaca teks kitab yang dipilihnya dengan mengurangi penggunaan harakat/syakal.
b.      Kepada  para   santri  diminta  juga untuk tidak memberi catatan pada teks
 kitab yang dibacanya dengan symbol-simbol (tanda-tanda).
c.       Kepada santri diminta untuk menjelaskan isi teks dengan menggunakan bahasa Arab yang benar.
6.      Evaluasi
              Evaluasi adalah cara penilaian yang dilakukan oleh seorang ustadz untuk mengetahui kemampuan santri dalam aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan (skill) terhadap materi pembelajaran yang telah diberikannya.
           Untuk mengevaluasi kemampuan para santri dalam pembelajaran  dengan menggunakan model sorogan biasanya dilakukan kegiatan sebagai berikut:
a.           Santri disuruh membaca dan menerjemahkan teks yang telah disampaikan oleh ustadz, pada pertemuan yang lalu. Jika seorang santri berhasil membaca dan menerjemahkan dengan baik, maka pelajaran yang baru dapat diberikan. Akan tetapi jika sebaliknya maka santri tadi diharuskan untuk mempelajari kembali (mengulang).
b.           Jika materi pembelajaran yang dipelajari dalam tatap muka yang telah dianggap dikuasai dengan baik oleh santri tersebut kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan materi baru tanpa terlebih dahulu meminta santri untuk membaca dan menerjemahkan teks yang dipelajari dalam pertemuan yang lalu.
c.           Penilaian dapat juga dilakukan pada saat seorang santri disuruh untuk membaca dan menerjemahkan teks Arab gundul setelah dibacakan dan diterjemahkan oleh santri.
      Hal-hal yang biasanya diperhatikan dalam menilai tingkat kemampuan
         para santri dengan menggunakan model pembelajaran sorogan adalah   sebagai
         berikut:
a.       Pembacaan yang dilakukan oleh seorang santri apakah sudah benar dalam arti sesuai dengan aturan dalam tata bahasa yang baik pada tingkatan kata (sharaf) maupun pada tingkatan kedudukan suatu kata struktur kalimat (nahwu) atau masih belum sesuai.
b.      Santri mampu menunjukkan kedudukan suatu kata dengan menggunakan ucapan simbolik tertentu melalui pola terjemahan kata demi kata disertai pelapalan symbol atau tanda oleh santri.
c.       Pemahaman terhadap teks yang dibaca dalam bentuk uraian penjelasan atau kandungan teks setelah seorang santri menyelesaikan pembacaan sekian kalimat atau sekian paragrap.
7.      Dampak Model Pembelajaran Sorogan
                 Sebelum membicarakan tentang dampak model pembelajaran sorogan, terlebih dahulu penulis kemukakan kelebihan dan kelemahannya.
                Adapun kelebihan model pembelajaran sorogan adalah sebagai berikut:
a.       Terjadi hubungan yang erat dan harmonis antara guru dan murid.
b.        Memungkinkan bagi seorang guru untuk mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab.
c.         Murid mendapatkan penjelasan yang pasti tanpa harus mereka-reka tentang interpretasi suatu kitab karena berhadapan dengan guru secara langsung yang memungkinkan terjadinya tanya jawab.
d.        Guru dapat mengetahui secara pasti kualitas yang telah dicapai muridnya.
e.         Santri yang IQ-nya tinggi akan cepat menyelesaikan  pelajaran (kitab), sedangkan yang IQ-nya rendah ia membutuhkan waktu yang cukup lama.
           Sedangkan kelemahan model pembelajaran sorogan adalah sebagai berikut:
a.       Tidak efesien karena hanya menghadapi beberapa murid (tidak lebih dari 5 orang), sehingga kalau menghadapi murid yang banyak model ini kurang tepat.
b.      Membuat murid cepat bosan karena model ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi.
c.       Murid hanya menangkap kesan verbalisme semata terutama mereka yang tidak mengerti terjemahan dari bahasa tertentu.[19]
                 Adapun dampak model pembelajaran sorogan ini bagi santri ada dua, sebagai berikut:
a.    Dampak secara langsung bagi santri, diantaranya adalah santri mampu membaca kitab dan menerjemahkannya dengan benar sesuai dengan ilmu nahwu dan sharafnya. Dengan kata lain seorang santri memahami ilmu alat dalam ilmu-ilmu yang paling prinsipil di Pndok Pesantren; Sorang santri juga lebih mempunyai kedekatan hati secara khusus dengan seorang kyai atau ustadz, sehingga ilmu yang didapat, Insya Allah berkah.
b.    Dampak penggiring bagi santri adalah melatih kesabaran, kerajinan, ketekunan, ketaatan, dan kedisiplinan pribadi dari siswa.
b.      Model Pembelajaran Bandongan
1.         Pengertian
              Model pembelajaran bandongan disebut juga dengan model wetonan. Model wetonan (bandongan) ialah suatu model pengajaran  dengan cara guru membaca, menterjemahkan, menerangkan dan menulis buku-buku Islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri mendengarkan , mereka memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.[20] Termasuk dalam kelompok bandongan atau weton adalah halaqah, yaitu model pengajian yang umumnya dilakukan dengan cara mengitari gurunya. Para santri duduk melingkar untuk mempelajari atau mendiskusikan suatu masalah tertentu dibawah bimbingan seorang guru.[21] Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya lingkaran murid atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang guru.[22]
              Berdasarkan dari batasan tentang pengertian model pembelajaran bandongan tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa model pembelajaran bandongan merupakan kegiatan pembelajaran yang lebih bersifat pengajaran klasikal. Model ini dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Setelah kyai selesai membahas isi kitab, santri diperkenankan mengajukan pertanyaan atau pendapatnya.
2.         Tujuan Pembelajaran
             Adapun yang menjadi tujuan dari model pembelajaran bandongan ini diantaranya adalah santri menguasai materi isi kitab-kitab dalam bahasa Arab  yang disampaikan kyai dan  dapat mengambil hikmah intisarinya serta dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
3.         Teknik Pembelajaran
              Sebelum dilakukan pembelajaran dengann menggunakan model bandongan, seorang kyai atau ustadz biasanya mempertimbangkan hal-hal berikut:
a.       Jumlah jama’ah pengajian adalah para santri yang telah menguasai dengan
baik pembelajaran dengan menggunakan model sorogan. Oleh karena itu, model bandongan biasanya diselenggarakan untuk para santri yang bukan lagi pemula, melainkan untuk tingkat lanjutan dan tinggi.
b.      Penentuan jenis dan tingkatan kitab yang dipelajari biasanya memperhatikan tingkatan kemampuan para santri.
c.       Walaupun yang lebih aktif dalam pembelajaran ini adalah kyai atau ustadz, tetapi para santri dilibatkan keaktifannya dengan berbagai macam cara, misalnya diadakan Tanya jawab, santri diminta untuk membaca teks tertentu.
d.      Untuk membantu pemahaman para santri, seorang kyai atau ustadz terkadang mempergunakan pula alat bantu atau media pengajaran seperti papan tulis, kapur tulis, peta dan alat peraga lainnya.
             Model bandungan (bandongan atau wetonan) dibangun di atas filosofis, bahwa 1) pendidikan yang dilakukan secara berjamaah akan mendapatkan pahala dan berkah lebih banyak dibandingkan secara individual, 2) pendidikan pesantren merupakan upaya menyerap ilmu dan barokah sebanyak-banyaknya, sedangkan budaya "pasif" (diam dan mendengar) adalah sistem yang efektif dan kondusif untuk memperolah pengetahuan tersebut. 3) pertanyaan, penambahan, dan kritik dari sang murid pada kyai merupakan hal yang tidak biasa atau tabu, agar tidak dianggap sebagai tindakan su' al-adab (berakhlak yang tidak baik).[23]
4.         Tahap Persiapan
            Sebelum dilakukan kegiatan pembelajaran, biasanya terlebih dahulu seorang kyai atau ustadz mempersiapkan apa-apa yang diperlukan sesuai dengan pemilihan model pembelajaran ini, yaitu:
a.       Memilki gambaran mengenai tingkat kemampuan para santri guna menyesuaikan dengan bahasa dan penjelasan yang akan disampaikan.
b.      Merumuskan tujuan yang akan dicapai dari pemilihan kitab tersebut dan tujuan pada setiap kali pertemuan.
c.       Menetapkan waktu yang diperlukan untuk pembacaan dan penjelasan, waktu yang diperlukan untuk memberi kesempatan kepada para santri untuk bertanya, dan waktu yang diperlukan untuk evaluasi pada setiap kali pertemuan.
d.      Mempersiapkan alat atau alat peraga yang diperlukan pada pertemuan tersebut.
e.       Mempersiapkan catatan khusus tentang batas-batas materi yang akan disajikannya dan tentang penilaian kepada para santri.
f.          Mempersiapkan bahan yang dapat digunakan untuk perluasan pembahasan atau penambahan wawasan.
g.      Melakukan persiapan fisik yang memadai.
5.         Tahap Pelaksanaan
             Untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Bandongan biasanya dilakukan langkah-langkah:
a.       Seorang kyai menciptakan komunikasi yang baik dengan para santri.
b.      Memperhatikan situasi dan kondisi serta sikap para santri.
c.       Seorang kyai atau ustadz dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membaca teks Arab Gundul disertai dengan terjemahannya.
d.      Pada pembelajaran tingkat tinggi, seorang kyai terkadang tidak langsung membaca dan menerjemahkan, ia terkadang menunjuk secara bergiliran.
6.      Evaluasi
            Untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran di atas, seorang kyai atau ustadz biasanya melakukannya melalui dua macam tes, pertama, pada setiap tatap muka atau pada tatap muka tertenu. Kedua, pada saat telah dikhatamkannya pengkajian terhadapa suatu kitab tertentu.
7.         Dampak Model Pembelajaran Bandongan
              Sebagaimana halnya pada model pembelajaran sorogan  yang       mem-
punyai kelebihan dan kelemahan,  maka    model pembelajaran bandonganpun
pasti ada juga kelebihan dan kekurangannya sebagai berikut:
a.       Kelebihan
1.      Lebih cepat dan praktis untuk mengajar santri yang jumlanya banyak.
2.      Lebih efektif bagi murid yang telah mengikuti sistem sorogan secara intensif.
3.      Materi yang diajarkan sering diulang-ulang sehingga memudahkan anak untuk memahaminya.
4.      Sangat efesien dalam mengajarkan ketelitian memahami kalimat yang sulit dipelajari.
b.      Kekurangan
1.      Model ini dianggap lamban dan tradisional, karena dalam menyampaikan materi sering diulang-ulang.
2.      Guru lebih aktif daripada siswa karena proses belajarnya berlangsung satu jalur.
3.      Dialog antara guru dan murid tidak banyak terjadi sehingga murid cepat bosan.
4.      Model bandongan ini kurang efektif bagi murid yang pintar karena materi yang disampaikan sering diulang-ulang sehingga terhalang kemajuannya.[24]
             Adapun dampak  model pembelajaran bandongan ini bagi santri ada dua, sebagai berikut:
a.       Dampak secara langsung bagi santri, diantaranya adalah seorang santri dapa mengekspresikan daya kritisnya dan membantu menelaah atau mempelajari lebih lanjut isi sebuah kitab. Seorang santri juga mempunyai kedekatan relasi antara santri dengan santri dan kyai.
b.      Dampak penggiring (tidak langsung), diantaranya adalah melatih ketelitian, kejelian, kecermatan, konsentrasi (perhatian), dan daya kritisnya guna mencermati suatu pendapat.


       BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
               Dari  uraian   tersebut  di atas dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
A.    Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran Islam dimana di dalamnya terjadi interaksi antara kyai atau ustazd sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di masjid atau dihalaman-halaman asrama pondok untuk mengaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu.
B.      Ketulusan untuk belajar merupakan salah satu bentuk dari cinta yang ditunjukkan santri pada kyainya. Cinta antara santri dan kyai merupakan ikatan batin yang hanya bisa dirasakan. Relasi antara santri dan kyai adalah salah satu bentuk dari cinta. Tak mungkin ada orang betah belajar bertahun-tahun di lingkungan pesantren, menghadapi rutinitas yang sama, orang-orang yang relative sama, guru yang sama kalau tak didasari spirit cinta.
Dalam tradisi Pesantren, perasaan hormat dan kepatuhan murid kepada gurunya adalah mutlak dan tak boleh putus, artinya berlaku seumur hidup sang murid. Di samping itu rasa hormatnya yang mutlak itu harus ditunjukkan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan maupun pribadi. Melupakan ikatan dengan guru dianggap sebagai suatu aib yang besar, disamping akan menghilangkan barakah guru. Akibat selanjutnya dari kehilangan barakah guru ialah pengetahuan si murid tidak akan bermanfaat. Bagi seorang santri adalah “tabu” mengatakan bahwa ia “bekas” murid dari seorang kyai tertentu, sebab sekali ia menjadi murid kyai tersebut, seumur hidupnya akan menjadi muridnya. Bahkan, bilamana guru tersebut telah meninggal, si murid harus masih menunjukkan hormatnya dengan tidak melupakan kontak dengan Pesantren sang guru.
C.     Model Pembelajaran ialah suatu kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Dengan kata lain bahwa model pembelajaran merupakan sebuah acuan atau pedoman atau pola bagi para perancang pembelajaran dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran.
D.    Model Pembelajaran dalam Pendidikan Islam ( di Pesantren ). Pada umumnya pembelajaran di Pesantren mengikuti pola tradisional, yaitu dengan menggunakan model pembelajaran sebagai berikut:
1.      Model Pembelajaran Sorogan. Model sorogan ini merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan secara  perorangan (individu), dibawah bimbingan seorang kyai atau ustadz. Model sorogan merupakan sebuah sistem belajar dimana para santri maju satu persatu untuk membaca dan menerjemahkan kata demi kata kedalam bahasa tertentu serta  menguraikan isi kitab di hadapan kyai atau ustadz.
2.      Model Pembelajaran Bandongan yang disebut juga dengan model Pembelajaran Wetonan yaitu merupakan kegiatan pembelajaran yang lebih bersifat pengajaran klasikal. Model ini dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Setelah kyai selesai membahas isi kitab, santri diperkenankan mengajukan pertanyaan atau pendapatnya.






                           











                        DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Kencana, Jakarta, 2008.
Amin Haedari, dkk.,    Masa   Depan   Pesantren  dalam  tantangan Modernitas dan
               Tuntutan Kompleksitas Global, IRD Press, Jakarta, 2004.
Armei Arief, Metode  Pembelajaran dalam Pendidikan Islam,   Ciputat Pers, Jakarta,
               2002
Dadanrusmana.blogspot.com/2012/05/sorogan-dan-bandungan-sistem-klasik.html.
Eprints.iainsalatiga.ac/690/2/BABII.pdf
Hasan Basri, Ilmu Pendidikan Islam ( Jilid II ), Pustaka Setia, Bandung, 2010.
Hidayat   Komaruddin   &   Putut  Widjanarko, Reinventing Indonesia: Menemukan
              Kembali Masa Depan Bangsa, PT Mizan Publika, 2008.
Khoerulafandi.blogspot.com/2012/11/pola-pembelajaran-di-pesantren-1.html
Mataair.or.id/di-bawah-kibaran – sarung -   kyai  -   relasi   -guru-dan-murid-dalam-
               pendidikan-pesantren/
Miftahul Huda,   Model-model    Pengajaran    dan   Pembelajaran,  Pustaka Pelajar,
              Yogyakarta, 2014
Muhaimin & Abdul Mujib,   Pemikiran   Pendidikan  Agama Islam (Kajian Filosofis 
              dan   Kerangka  Dasar  Operasionalisasinya),  Bandung,  Trigenda  karya,
             1993.
Nurhayati Djamas,  Dinamika  Pendidikan  Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan,
             Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009.
Rusman, Model-model Pembelajaran, RajaGrafindo, Jakarta, 2014
Suyoto, “Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional”, dalam M. Dawam Rahardjo,
               Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1988.
Syaiful Sagala,  Konsep  dan  Makna Pembelajaran untuk Membantu  Memecahkan
              Problematika Belajar dan Mengajar, Alfabeta, Bandung, 2010.
Syekh Al-Zurnuji,   Ta’lim  al-Muta’alim   Thariiq al-Ta’alum, Terj: Ma’ruf Asrori,
              Etika Belajar Bagi Penuntut Ilmu, Pelita Dunia, Surabaya, 1996.
Tatang S., Ilmu Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 2012
Yeyen   Maryani   dkk,      Kamus   Bahasa   Indonesia,   Badan   Pembinaan    dan
             Pengembangan Bahasa, Jakarta Timur, 2011
Zamakhsyari Dhofier,   Tradisi  Pesantren,  Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
             LP3ES, Jakarta, 1982
  Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren  Studi Tentang Pandangan Hidup, LP3ES, 
            Jakarta, 1985






















DAFTAR KEPUSTAKAAN



                 [1] Hidayat Komaruddin & Putut Widjanarko,  Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2008 ), h. 184
                  [2] Tatang S., Ilmu Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 161
                      [3] Khoerulafandi.blogspot.com/2012/11/pola-pembelajaran-di-pesantren-1.html
                    [4] Syekh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta,alim Thariiq al-Ta’alum, Terj: Ma’ruf Asrori,   Etika Belajar Bagi Penuntut Ilmu, (Surabaya: Pelita Dunia, 1996)
                      [5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 18
                        [6] Tatang S., Op. Cit., h. 164
                    [7] Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit., h. 20
                      [8] Mataair.or.id/di-bawah-kibaran-sarung-kyai-relasi-guru-dan-murid-dalam-pendidikan-pesantren/
                      [9] Yeyen Maryani dkk, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta Timur: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2011), h. 326
                    [10] Miftahul Huda, Model-model Pengajaran dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 2
                    [11] Rusman, Model-model Pembelajaran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), h. 133
                 [12] Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 122
                 [13] Suyoto, “ Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional”, dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan,  (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 65
                 [14] Hasan Basri, Ilmu Pendidikan Islam ( Jilid II ), ( Bandung: Pustaka Setia, 2010 ), h. 236
                 [15] Muhaimin  &  Abdul  Mujib,    Pemikiran   Pendidikan  Agama  Islam (Kajian  Filosofis   dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), (Bandung, Trigenda Karya, 1993) h. 300
                 [16] Tatang S., Op. cit., h. 168
               [17] Nurhayati Djamas, Dinamika Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), h. 36
              [18] Amin Haedari, dkk., Masa Depan Pesantren dalam tantangan Modernitas dan Tuntutan kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004). H. 95
                 [19] Armai   Arief,   Metode   Pembelajaran   dalam   Pendidikan   Islam,   (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 152
               [20]  Zamakhsyari Dhofier,  Tradisi  Pesantren  Studi Tentang Pandangan Hidup, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 28
              [21] www.perkuliahan.com/makalah-pembelajaran-di-pondok-pesantren/
              [22] Dadanrusmana.blogspot.com/2012/05/sorogan-dan-bandongan-sistem-sistem-klasik.html
                       [23] Ibid.
                   [24] eprints.iainsalatiga.ac/690/2/BABII.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar