Selasa, 16 Juni 2015

Kaidah-kaidah umum penafsiran Al-Quran


Kaidah-kaidah umum penafsiran Al-Quran
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Di dalam pandangan Islam secara umum, dapat dikatakan bahwa Ilmu Tafsir merupakan salah satu ilmu yang paling mulia dan paling baik.Hal ini dapat dipahami dari perintah Allah untuk merenungkan dan memikirkan kandungan makna-makna Al-Qur’an, serta menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk kesalamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
            Al-Qur’an merupakan kitab suci yang dijadikan pedoman paling utama oleh umat Islam, baik segi ibadah, syari’ah, maupun pedoman umat Islam lainnya.Untuk itulah umat Islam diwajibkan untuk mempelajarinya agar hidupnya tidak tersesat. Namun tidak cukup mudah untuk mempelajari dan memahami isi dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk bahasa arab sehingga membutuhkan seseorang (guru) yang kompeten dibidangnya baik segi qiro’ahnya, nahwu sorobnya, tafsirnya, maupun yang lainnya.[1]
            Seseorang yang bisa menjadi mufassir harus benar-benar menguasai dalam hal-hal yang berhubungan dengan penafsiran, seperti harus memiliki keperibadian  yang terpuji, benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama, di dalam hatinya tidak ada kesombongan dan cinta dunia serta gemar melakukan dosa, seperti pendapat Imam Abu Talib al-Tabary–  yang dikutip oleh Khālid Abd al-Rahmān– mengatakan di bagian awal tafsirnya mengenai adab-adab seorang mufassir, "Ketahuilah bahwa di antara syarat mufassir yang pertama kali adalah benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama. Sebab, orang yang tertuduh dalam agamanya yang tidak dapat dipercaya dalam urusan duniawi, maka bagaimana dalam urusan agama? Kemudian ia tidak dipercaya dalam agama untuk meriwayatkan dari seorang alim, maka bagaimana ia dapat dipercaya untuk memberitahukan rahasia-rahasia Allah ta'ala? Sebab ia tidak dipercaya apabila tertuduh sebagai atheis dan ia cenderung akan mencari-cari kekacauan serta menipu manusia dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Batiniyah dan sekte Rafidah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut hawa nafsu, ia tetap tidak dapat dipercaya karena akan menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan hawa nafsunya agar sesuai dengan bid'ahnya seperti kebiasaan sekte Qadariyah. Salah seorang di antara mereka menyusun kitab dalam tafsir dengan maksud sebagai penjelasan paham mereka dan untuk menghalangi umat dari mengikuti salaf dan komitmen terhadap jalan petunjuk".[2]
             Sedangkan Imam al-Zarkazy mengatakan :
“Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya apabila di dalam hatinya terdapat bid’ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau lemah iaman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan pengahalang yang sebagaiannya lebih kuat daripada sebagian yang lainnya”.[3]
Melihat apa yang disampaikan oleh al-Zarkazy di atas, al-Suyūty mengomentari: "Saya katakan, inilah makna firman Allah ta'ala,
"سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ..."
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumitanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.
Mengutib perkataan dari Sufyān bin 'Uyainah yang mengatakan bahwa: Para ulama mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai Al-Qur’an. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.[4]
Sedangkan Manna' Al-Qattan menyebutkan sebelas etika yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
     1.      Berniat baik dan bertujuan benar
2.      Berakhlak baik
3.      Taat dan beramal
4.      Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan
5.      Tawadu' dan lemah lembut
6.      Berjiwa mulia
7.      Vokal dalam menyampaikan kebenaran
8.      Berpenampilan baik (berwibawa dan terhormat)
9.      Bersikap tenang dan mantap
10.  Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya
11.  Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.[5]
Dari penjelasan di atas etika mufassir tersebut besifat umum seperti, barakhlak baik, niat yang baik, terbebas dari hawa nafsu, dan lainnya dan ada yang bersifat khusus seperti, tawadhu' dan lemah lembut, bersikap zuhud terhadapdunia, dan lainnya.Oleh  penulis, Manna' Al-Qattan, etika yang khusus tersebut disebutkan secara tersendiri karena dianggap sangat penting dan perlu diperhatikan.
Selain itu  ada beberapa hal yang wajib dihindari mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an, perkara-perkara tersebut adalah:
1.      Terlalu berani menjelaskan maksud Allah ta'ala dalam firman-Nya padahal tidak
mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu
yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya.
2.      Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti
perkara-perkaramutashabihat. Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani
membicarakansesuatu yang ghaib setelah Allah ta'ala menjadikannya sebagai
salah satu rahasia-Nya dan hujjah  atas hamba-hamba-Nya.
3.    Mengikuti hawa nafsu dan anggapan baik (istihsan).
4.    Menafsirkan Al-Qur’an untuk menetapkan madhhab yang rusak dengan menjadikan
madhhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. Akibatnya,
seseorang akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat sesuai dengan
akidahnya dan mengembalikannya pada madhhabnya dengan segala cara. 
5.    Menafsirkan Al-Qur’an dengan memastikan bahwa maksud Allah begini dan begitu
tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang secarasyar'i berdasarkan firman
Allah ta'ala,
"...وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ"                                                                                      
Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahu.[6]
Sebenarnya  banyak sekali ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang harus diketahui dan dikuasai oleh seorang mufassir baik yang bersiafat  khusus maupun yang bersifat umum. Namun pada makalah ini penulis hanya memfokuskan dalam pembahasan Kaidah-kaidah Umum Penafsiran Al-Qur’an.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Kaidah dan Tafsir ?
2.      Bagaimana Kaidah-kaidah Umum Penafsiran Al-Qur’an ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian Kaidah dan Tafsir.
2.      Mengetahui Kaidah-kaidah Umum Penafsiran Al-Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kaidah dan Tafsir.
Kata “kaidah” oleh Kamus Lengkap Bahasa Indonesia diartikan dengan “patokan, dasar, aturan yang sudah pasti, rumusan yang menjadi hukum, asas-asas yang menjadi hukum”.[7]Dalam bahasa Arab, قاعدة /kaidah diartikan “asas/ fondasi” jika ia dikaitkan dengan bangunan, dan ia bermakna “tiang” jika dikaitkan dengan“ kemah”.[8]
Dalam pengertian istilah, kaidah adalah ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan-ketentuan menyangkut rincian.[9]Jadi, “ Kaidah” merupakan patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam bertindak atau mengambil keputusan.
Secara etimologis, "tafsir” berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, “tafsir” adalah ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya,baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.[10]Jadi, “tafsir” merupakan penjelasan tentang ayat-ayat (Al-Qur’an) sehingga maksudnya menjadi jelas dimengerti.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, “Kaidah Tafsir” dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Oleh karena panafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai prosedur kerja.
B.     Kaidah-kaidah Umum Penafsiran Al-Qur’an
1.      Tata Cara Menafsirkan Al-Qur’an
Setiap orang yang ingin mencapai suatu tujuan, tentu akan berhasil dan sukses dalam mencapai tujuan tersbut apabila ia menempuh jalan melalaui “pintu-pintu” dan cara-cara yang sesuai dengan tujuannya itu. Al-Qur’an diturunkan Allah sebagai petunjuk dan pembimbing makhluk-makhluk-Nya di setiap ruang dan waktu.Al-Qur’an juga mengantarkan dan mengarahkan mereka ke jalan yang paling lurus. Allah berfirman :
إ ن هذ ا ا لقرءان يهد ى للتى هى أقو م
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.”[11] (Al-Isra’: 9)
Agar fungsi-fungsi Al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan makna-makna firman Allah saat menafsirkan Al-Qur’an, sebagaimana para sahabat Rasulullah dahulu telah menemukan makna-maknanya sesuai dengan masa dan tempat mereka.
Al-Qur’an memberikan petunjuk terbaik dalam hidup kita, maka untuk mencapai petunjuk dengan maksimal kita harus mengkaji, menafsirkan dan mendalami Al-Qur’an[12]sebagaimana para sahabat Nabi mempunyai kebiasaan, berhenti terlebih dahulu setiap kali mereka telah membaca lebih kurang sepuluh ayat Al-Qur’an. Mereka baru akan melanjutkan bacaannya setelah memahami dengan tepat makna ayat-ayat yang telah mereka baca itu, baik yang berkaitan dengan masalah iman, ilmu, maupun amal. Mereka pun menerapkan makna ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Cara yang mereka tempuh pertama ialah, meyakini dan mengimani segi-segi akidah dan informasi yang ada di dalam Al-Qur’an.Kedua, mematuhi perintah dan larangan serta mempraktikkannya dalam perilaku sehari-hari, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang-orang di sekeliling mereka.[13]
            Seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an (calon mufassir), hendaknya terlebih dahulu mengetahui dan meyakini dengan baik bahwa Al-Qur’an berisi berbagai informasi keilmuan, dan mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia, dengan cara menguraikan ilmu dan merangsang orang untuk meraih kemaslahatan tersebut, serta mencegah segala bentuk bahaya dan kemudaratan yang akan menimpa manusia.
           Selanjutnya, hendaknya orang tersebut menjadikan tata cara dan aturan penafsiran Al-Qur’an sebagai suluh pandangan dan pemikiran, serta mempergunakannya untuk mengamati berbagai peristiwa yang telah lalu maupun yang akan datang.
2.Kewajiban Memperhatikan Konsekuensi Makna Redaksi Al-Qur’an
Memahami dan memperhatikan redaksi ayat haruslah dengan konsekuensi makna yang relevan, yang tujuannya adalah merangsang ketajaman berfikir, mencerahkan prespektif normative, meluaskan khazanah dan juga mengkonsistensikan tujuan kita dalam menafsirkan redaksi makna dalam al-Qur’an.[14]Sebagai calon mufassir, dituntut untuk memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, disamping itu harus tetap memelihara dan memperhatikan semua konsekuensi (al-lawazim) makna yang terkandung dalam redaksi ayat, serta makna lain yang mengarah kepadanya, yaitu makna yang tidak terjangkau oleh penyebutan redaksi ayat, tetapi relevan dengannya. Makna-makna ayat tersebut dapat dijadikan sebagai landasan penetapan suatu hukum.
Langkah pertama yang perlu anda tempuh untuk menerapkan pedoman di atas ialah, memahami pengertian-pengertian yang ditunjuk oleh redaksi suatu ayat.Setelah itu, pikirkanlah masalah-masalah yang berkaitan dengan makna tersebut.Pikirkan pula hal-hal yang menjadi dasar dan prasyarat terwujudnya masalah tersebut.Selanjutnya, kembangkan kemungkinan masalah-masalah yang timbul dari makna tersebut dan makna yang didasarkan atasnya.Kemudian, lakukanlah perenungan terhadap hal-hal tadi secara berulang-ulang dan berkesinambungan, sampai akhirnya anda memiliki kepekaan dalam menyelami makna-makna yang pelik dan sukar.[15]
            Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh untuk memperjelas pedoman di atas, sebagai berikut :
a.      Tentang Penafsiran Al-Asma’ Al-Husna; Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim
Lafal Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim menunjukkan, Allah menyifati diri-Nya dengan kasih dan sayang yang maha luas. Setelah kita mengetahui bahwa tidak ada seorang pun dan apa pun yang memiliki sifat yang menyerupai kedua sifat-Nya itu, karena rahmat-Nya ditaburkan kepada semua makhluk, dan tak satu makhluk pun yang tidak menerima rahmat walaupun sekejap mata, maka kita dapat memahami konsekuensi-konsekuensi makna yang timbul dari keduanya, yaitu sebagai berikut.
Pertama, kedua sifat tersbut menunjukkan kesempurnaan pada hidup Allah, pada kekuasaan, pada cakupan ilmu, pada keberlakuan kehendak, dan pada kebijaksanaan-Nya, karena rahmat-Nya terikat pada sifat-sifat tersbut scara utuh.
Kedua, bahwa syariat yang diturunkan Allah merupakan nur dan rahmat-Nya.Itulah sebabnya mengapa Al-Qur’an selalu mengaitkan hokum-hukum syara’ dengan rahmat dan kebaikan-Nya, karena hokum-hukum syara’ merupakan efek dan penjabaran dari sifat rahmat tersebut.[16]
b.      Tentang Perintah dan Anjuran Berjihad
Beberapa ayat Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berjihad. Sementara itu, diperintahkan pula untuk melakukan berbagai persiapan melaksanakan jihad, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Anfal ayat 60 :
وَأَ عِدّ وألَهُم مَّا آسْتَطَعْتُم مّن قُوَّةٍ
Dan siapkanlah kekuatanapa saja yang kamu sanggupi untuk menghadapi
mereka  (musuh).[17]
Konsekuensi yang lahir dari redaksi ayat tersebut ialah, kewajiban mempersiapkan segala sesuatu agar perintah tersebut dapat terlaksana dengan baik. Mulai dari persiapan fisik berupa kemahiran menggunakan berbagai senjata, menggunakan berbagai jenis kenderaan, menciptakan alat-alat perang dan industrinya, kelengkapan logistic, sampai ke hal-hal yang nonfisik, berupa disiplin militer, kemampuan menyusun taktik dan strategi perang, kekuatan politik, diplomasi, dan lain-lain.[18]
c.       Tentang Do’a Untuk Menjadi Pemimpin
 Dengan menerapkan pedoman yang disebutkan tadi, dapat dipahami bahwa di dalam do’a seorang hamba, sebagaimana firman Allah surah Al-Furqan ayat 74 :
وَاجْعَلْنَا لِلْمُتّقِيْنَ اِمَا مًا
Dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.[19]
Ayat di atas mengandung makna, disamping memohon agar dijadikan sebagai pemimpin orang yang bertakwa, maka konsekuensinya, mereka juga memohon (sekaligus mengusahakan dan melakukan) segala sesuatu yang dapat menyempurnakan kepemimpinan mereka dalam agama, mulai dari mengusahakan berbagai ilmu pengetahuan dan ma’rifah, melakukan amal shaleh, sampai pada mempraktikkan akhlak utama. Sebab do’a seorang hamba kepada Tuhannya agar diberi sesuatu, berarti memohon dan mengupayakan, segala hal yang berkaitan dengan yang dimohonkannya itu sndiri.
3.      Tidak Ada Ayat Al-Qur’an yang Saling Bertentangan
Apabila ditemukan ayat-ayat Al-Qur’an yang antara satu dan lainnya sepintas tampak saling bertentangan (ta’aarudh), dapat dipastikan bahwa pertentangan itu terjadi sebagai akibat dari kekurangjelian dalam memahami ayat secara utuh. Sebab jika masing-masing ayat Al-Qur’an dipahami sesuai konteks pembicaraannya, anggapan seperti ini tidak akan terjadi.[20] Ayat-ayat Al-Qur’an secara lahir dapat menimbulkan anggapan saling bertentangan antara lain, sebagai berikut :
a.      Tentang Keadaan Orang Kafir Pada Hari Kiamat
Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an disebutkan, orang-orang yang menentang Allah tidak akan berbicara pada hari kiamat seperti terdapat pada surah Yasin ayat 65 :
ا ليو م نختم على أ فوا ههم و تكلمنا أ يد يهمم و تشهد أ ر جلهم بما كا نو ا يكسبو ن
Padahari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkata kepada kami tangan
mereka, dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu
mereka usahakan.[21]
           Demikian juga pada surah Al-Mursalat ayat 34-35
و يل يو مئذ للمكذ بين (    )  هذ ا يو م لا ينطقو ن (    )
Kecelakaanbesarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Ini
adalahhari (kiamat), yang mereka tidak dapat berbicara.[22]
Sedangkan padaayatyang lain disebutkan pula bahwa  mereka akan berbicara, membantah, dan mengemukakan alasan-alasan kekafiran mereka.Misalnya,disebutkan pada surah Thaahaa ayat 124-125 :
و من أ عر ض عن ذ كر ى فإ ن له معيشة ضنكا و نحشر ه يو م ا لقيمة أ عمى (    )
قا ل ر ب لم حشر تنيي عمى و قد كنت بصيرا (    )
Danbarangsiapaberpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
kehidupan  yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat
dalam    keadaan    buta.   Ia    berkata :    “Ya    Tuhanku,    mengapa Engkau
mengumpulkankudalam keadaan buta, padahal     aku   dahulunya   adalah
seorangyang melihat?”[23]
يأ يها ا لذ ين كفروأ  لا تعتذ روأ اليوو م إ نما تجزو ن ما كنتم تعملو ن (    )
Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari
ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasansesuai apa yang kamu
kerjakan. [24]( At-Tahrim : 7 )
            Koanteks ayat yang menyebutkan mereka nanti berbiacara, sebenarnya terjadi dalam proses  awal pengadilan akhirat. Ketika itu, mereka melakukan protes dan mengingkari perbuatan mereka di dunia.Akan tetapi setelah mulutnya ditutup, sedangkan anggota badannya bersaksi atas semua perbuatan, dan akhirnya mereka berpendapat sia-sia saja berbohong dan mengajukan alasan untuk melepaskan diri dari siksaan neraka, maka lidah mereka pun menjadi kelu, tak dapat berbicara.
b.      Tentang Perintah Berjihad
Banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kaum muslimin melakukan jihad, misalnya, pada surah At-Taubah ayat 41 :
اِنْفِرُوْاخِفَافا وَثِقَالاوَجاَهِدُ وْا بِأمْوَالِكُمْ وَ اَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّه  ذ لِكُمْ خَيْر لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat,
danberjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah; Yang demikian itu
adalah  lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.[25]
 Akan tetapi dalam beberapa ayat lain diperintahkan pula agar umat Islam selalu mempertahankan sikap fasif dan menerima kenyataan, sebagaimana diperintahkan pada surah Ali ‘Imran ayat 186 :
لَتُبْلَوُ نَّ فِى أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُ اآلْكِتبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ آلَّذِيْنَ أَشْرَكُواأَذى كَثِيْرًا وَإِنْ تَصْبِرُواوَتَتّقُوْا فَإِنّ ذلِكَ مِنْ عَزْمِ آللأ مُورِ
Sungguh kamu akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan sungguh kamu
akanmendengar dariorang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari
orang-orang yang mempersekutukan Allah,banyak gangguan yang menyakitkan
hati, jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu
termasuk urusan   yang patut diutamakan.[26]
Sesuai konteksnya masing-masing, ayat yang memerintahkan memperhatahankan sikap pasif adalah ketika kondisi umat Islam masih belum mampu untuk melakukan jihad dengan kekuatan fisik. Sedangkan ayat-ayat yang memerintahkan jihad adalah ketika kaum muslim sudah sanggup untuk melakukannya. Di samping itu, jihad secara fisik itu dilakukan demi kemaslahatan umat Islam dan membela diri dari serangan musuh.
4.      Petunjuk Al-Qur’an Tetap Relevan Dalam Setiap Ruang dan Waktu
Petunjuk  dan ketentuan Al-Qur’an yang berkaitan dengan adat kebiasaan yang baik (al-‘urf), tetap sejalan dan seirama dengan dinamika waktu, tempat, dan keadaan.[27]
Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada keluarga, tetangga, teman-teman, sesuai dengan fireman-Nya dalam surah Al-Isra’ ayat 26 :
و ءا ت ذا ا لقر بى حقه والمسكين وابن السبيل ولا تبذ ر تبذ يرا
Dan berikanlah kepada keluarga-keluargayang dekat akan haknya, kepada
orangmiskin dan orang-orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.[28]
Ukuran, jenis, bentuk, macam, dan model kebaikannya adalah yang dipandang dan dinilai baik oleh masyarakat pada umumnya (menurut adat dan kebiasaan), sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum syara’.
Demikian halnya mengenai pergaulan keluarga yang baik; sesuai dengan adat dan kebiasaan masing-masing.Lingkungan masyarakat tertentu selalu melahirkan penilaian berbeda tentang bentuk pergaulan keluarga yang dipandang baik.Penilaian yang berbeda-beda dan selalu berubah-ubah menurut waktu dan tempat, tentu tidak mungkin diperinci satu per satu. Karena itu, secara umum Allah memerintahkan para suami berlaku baik terhadap para istrinya, Allah menyerahkan aturan pergaulan, hak dan kewajiban suami istri yang baik kepada pertimbangan dan penilaian ‘urf yang berlaku pada waktu dan di lingkungan masyarakat tempat suami-istri itu berada. Ketentuan umum untuk berbuat baik pada keluarga tersebut diketahui dari perintah Al-Qur’an, surah An-Nisaa’ ayat 19 :
وعا شروهن بالمعروف فإ ن كر هتمو هن فعسى أن تكر هوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan carayang ma’ruuf.
Kemudian  bilakamu   tidak    menyukai    mereka,   (maka bersabarlah)    karena
mungkinkamu  tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.[29]
Demikian juga pada surah Al-Baqarah ayat 228 :
و لهن مثل ا لذ ى عليهن  بالمعر وف
 Dan para istri mempuyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka, dengan
cara  yang ma’ruf.[30]
Melalui kedua ayat yang singkat di atas, Allah memerintahkan kita untuk mengadakan suasana dan mengikuti peraturan pergaulan keluarga yang dipandang baik oleh adat kebiasaan, sesuai dengan tempat dan waktu yang kita diami.
5.   Pengertian yang Samar Dirujukkan Kepada yang Jelas
Untuk memperjelas masalah-masalah yang samara atau meragukan, Al-Qur’an mengajarkan agar merujukkannya kepada permasalahan yang sudah jelas statusnya. Ketentuan ini biasanya dirumuskan dalam ungkapan-ungkapan, antara lain :
ا لمو هو م لا يد فع ا لمعلو م
Sesuatu yang meragukan tidak dapat mengenyampingkan sesuatu
yang meyakinkan.
ا لمجهو ل لايعا ر ض ا لمحقق
Sesuatu yang tidak diketahui tidak dapat mengimbangi sesuatu yang telah 
jelas.[31]
Kandungan makna yang terdapat di dalam kaidah di atas antara lain dirumuskan dari ayat-ayat Al-Qur’an surah Ali ‘Imraan ayat 7 :
هو الذ ى أنزل عليك الكتب منه ءايت محكمت هن أم الكتب وأخر متشبهت  فأ ما الذ ين فى قلو بهم زيغ فيتبعو ن ما تشبه منه ابتغا ء الفتنة وابتغا ء تأويله   وما يعلم تأ ويله  إلا الله  والر سخو ن فى العلم يقو لون ءامنابه  كل من عند ربنا   وما يذ كر إلا أولوأ الأ لبب (    )
Dia (Allah) yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isi)-
nya,ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an.
sedangkanyanglain ialah (ayat-ayat) yang mutasyaabihaat. Adapun orang-
orang yang qalbunya condong pada kesesatan, maka mereka mencari-cari takwil
ayat-ayatmutasyaabihaat itu untuk menimbulkan fitnah, padahal yang
mengetahui takwilnya hanyalah Allah.Dan (sedangkan) orang-orang yang
mendalamilmunya, mereka berkata : “Kami mempercayai ayat-ayat
mutasyaabihaat itu; semuanya dari sisi Tuhan kami”. Danyang dapat mengambil
pelajaran darinya hanyalah orang-orang yang berakal.[32]
Dari kutipan ayat panjang di atas, khususnya dari penegasan ar-raasikhuun fii al-‘ilm(orang-orang yang ilmunya sangat mendalam), dapatlah dipahami bahwa karena ayat-ayat muhkamaat adalah jelas, maka semua pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat dirujukkan kepada ayat muhkamaat.
            Ayat Al-Qur’an lain yang memerintahkan hal tersebut ialah, teguran Allah kepada para sahabat Nabi SAW. berkaitan dengan sikap tidak tegas dan rasa bingung mereka ketika menerima berita bohong yang disebarkan kaum munafik terhadap saudara seiman mereka, yaitu peristiwa hadits al-ifk (berita bohong). Ayat tersebut terdapat dalam surah An-Nuur ayat 12 :
لولا إذ سمعتمو ه ظن المؤمنون والمؤ منت بأنفسهم خيرا وقالوأ هذا إفك مبين
Mengapa ketika kamu mendengar berita bohong itu, orang-orang mukminin
dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan
 (mengapamereka tidak) berkata : “Ini adalah berita bohong yang nyata.”[33]
Dalam menghadapi berita samar dan bohong, ayat ini memerintahkan agar seharusnya umat Islam berpegang kepada pengetahuan mereka yang jelas dan tegas tentang keimanan saudara mereka sesama mukminin. Bukankah keimanan akan menghindarkan mereka dari perbuatan-perbuatan tercela? Bukankah dengan berpegang kepada pengetahuan yang jelas dan tegas itu lebih menyelamatkan daripada terombang-ambing oleh berita bohong yang disiarkan orang-orang mnafik?
6.      Semua Ayat yang Menimbulkan Keraguan Ada Penjelasannya
Setiap kali kita memerlukan jawaban atas suatu persoalan, atau dibenak kita timbul keragu-raguan dan kesamaran tentang maksud suatu ayat Al-Qur’an, maka kita akan menemukan penjelasan dari ayat lainnya. Sebabnya, tak satu pun hukum atau informasi Allah di dalam Al-Qur’an yang dapat menimbulkan keraguan, yang tidak disertai penjelasan.Kenyataan ini merupakan bukti betapa besar dan dalamnya karunia dan hikmah Allah SWT.[34] Kaidah di atas akan dijelaskan dengan di antara contoh berikut.
            Di dalam surah An-Naml ayat 91 Allah berfirman :
إنما أ مر ت أن أعبد رب هذهالبلدة الذى حر مها
Aku hanya disuruh untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekkah), (yaitu)
Tuhanyang menjadikannya suci.[35]
            Di dalam ayat ini, yang disebut hanya Mekkah, sehingga mungkin timbul keragu-raguan di dalam benak orang; apakah sifat rububiyah Allah khusus  untuk kota Mekkah? Keragu-raguan itu segera dihilangkan oleh penegasan yang terdapat pada lanjutan ayat tersebut surah An-Naml ayat 91 :
وَلَهُ كُل شَىءٍ
Dan kepunyaan-Nya segala sesuatu.[36]
Pada Surah Huud ayat 109 Allah berfirman :
فَلاَ تَكُ فِى مِرْ يَةٍ مّمَّا يَعْبُدُ هَؤُ لاَءِ
Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang yang mereka
sembah(berhala).[37]
Dari ayat ini dapat timbul keragu-raguan, apakah di dalam menganut kemusyrikan itu, orang-orang kafir memiliki alasan atau argumen yang dapat diterima? Keraguan ini ditegaskan oleh Al-Qur’an pada lanjutan surah Hud ayat 109 :
مَا يَعْبُدُونَ إِلاَّ كَمَا يَعْبُدُ ءَابَاؤُهُم مّن قَبْلُ
Mereka tidak menyembah melainkan sebagaimana nenekmoyang mereka
menyembahsebelumnya.[38]
Lanjutan ayat ini menegaskan, kesesatan itu disebabkan sikap taklid buta terhadap nenek moyang dan kebodohan yang mencengkeram pemikiran mereka.
Kemudian, jika muncul pertanyaan apakah orang-orang musyrik memiliki keyakinan teguh dan merasa tenteram dengan pernyataan-pernyataannya? Pertanyaan itu terhapus seketika karena adanya penegasan pada lanjutan ayat berikutnya pada surah Huud ayat 110 :
وَإِ نَّهُمْ لَفِى شَكّ  مّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan sesungguhnya mereka (orang-orang kafir Mekah itu) benar-benar berada
dalamkeraguan tentang hal itu.[39]
Ayat di atas menjelaskan, sebenarnya mereka tidak mempunyai kemantapan iman terhadap agama yang mereka anut. Mereka juga tidak merasa tenteram dengan balasan yang akan mereka terima kelak di akhirat.
7.      Merujukkan Ayat Mutasyabih kepada Ayat yang Muhkam
Beberapa ayat Al-Qur’an menyebutkan Allah Mahakuasa terhadap segala sesuatu.Dialah yang memberi petunjuk atau menyesatkan manusia. Ayat-ayat yang menyebutkan hal ini antara lain, terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 20:
إِنَّ الله عَلَى كُلّ شَىْ ءٍ قَدِيْر
Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.[40]
           Kemudian firman Allah surah Al-Fathir ayat 8, berbunyi :
فَإِنّ اللَّه يُضِلُّ مَنْ يَشَآءُ وَيَهْدِ ى مَنْ يَشَآءُ
Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa pun yang dikehendaki-Nya dan
menunjuki yang dikehendaki-Nya.[41]
Apabila hanya membaca kelompok ayat di atas, dapat timbul dugaan bahwa pernyataan yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan hikmah Allah.Seolah-olah Allah memberi petunjuk atau menyesatkan hamba-Nya secara acak dan tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi, dugaan tersebut dihapuskan oleh ayat-ayat lain yang menjelaskan: Petunjuk diberikan Allah melalui sebab-sebab yang dilakukan oleh orang yang mendapat petunjuk itu. Ayat yang menjelaskan hal ini antara lain : surah Al-Maidah ayat 16 :
يَهْدِى بِهِ آللَّه مَنِ آتّبَعَ رِضْو نَهُ  سُبُلَ آلسّلمِ وَيُخْرِجُهُم مّنَ آلظلُمتِ إِلَى آلنّورِبِإِذ نِهِ  وَيَهْدِيهِمْ إِلى صِرطٍ مُّسْتّقِيمٍ
Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya
kejalan-jalankeselamatan, dan mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada
cahaya yang terang benderang dengan seizing-Nya, dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus.[42]
Adapun orang-orang “yang disesatkan” Allah, karena mereka sendiri telah menjadikan setan sebagai pelindung mereka. Firman Allah padaSurah Al-A’raaf ayat 30 :
فَرِيْقا هَدى وَفَرِيْقا حَقَّ عَلَيْهِمُ آلضَّللة  إِنّهُم آتّخَذ وأ آلشّيطِينَ أوْلِيَآءَ مِنْ دُ ون آللّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُ و نَ
Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi
mereka;sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan sebagai pelindung selain
Allah, danmereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.[43]
Kita menjadi mengerti, bahwa ayat-ayat yang bersifat umum di satu bagian Al-Qur’an, diterangkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an lainnya.Yang belum jelas di satu ayat, ditegaskan oleh ayat lainnya.Ayat-ayat mutasyaabih disatu bagian Al-Qur’an, menjadi muhkam karena dijelaskan oleh ayat-ayat lannya.[44]
Adapun ayat-ayat perintah atau larangan yang sudah dikenal dan dimengerti oleh masyarakat, seperti shalat dan zakat, atau larangan berzina dan berlaku zalim, tidak lagi dipandang sebagai mutasyaabih, walaupun perintah atau larangan tersebut dinyatakan secara umum saja.Fungsi ayat-ayat tersebut lebih bersifat mengarahkan, menyadarkan, dan meluruskan pandangan, serta menegaskan sesuatu yang sebelumnya diragukan pengertian atau kedudukan hukumnya.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dapat dibuat beberapa kesimpula sebagaiberikut :
A.    Kaidah Tafsir adalah sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Oleh karena itu penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang. Kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai prosedur kerja.
B.     Kaidah-kaidah umum penafsiran Al-Qur’an, sebagai berikut :
1.      Tata cara menafsirkan Al-Qur’an
2.      Kewajiban memperhatikan konsekuensi makna redaksi Al-Qur’an
3.      Tidak ada ayat Al-Qur’an yang saling bertentangan
4.      Petunjuk Al-Qur’an tetap relevan dalam setiap ruang dan waktu
5.      Pengertian yang samar dirujukkan kepada yang jelas
6.      Semua ayat yang menimbulkan keraguan ada penjelasannya
7.      Merujukkan ayat Mutasyabih kepada ayat yang Muhkam.






DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, Amzah, Jakarta, 2010
bloguin-malang.ac.id/jafar/2011/05/28/halo-dunia/
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pustaka Agung Harapan, Jakarta,
  2006
ibnuumarbgr.wordpress.com/artikel/musthalahul-hadits
Jalal al-Din al-Suyyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II,  Dar al-Fikr, Bairut , 1996  
Khalid Abd Rahman, Usul al-Tafsir Wa Qawaidah, Dar al-Nafais, Bairut, 1986
kumpulanmakalah123.blogspot.com/2014/03/makalah-kaidah-kaidah-penafsiran-al-html
Manna’ Khalil al-Qattan,    Mabahith fi‘Ulum al-Qur’an,      Maktabah Wahbah, Kairo,
              2000
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Lentera Hati, Tangerang, 2013
Muhammad Ibn Abd Allah al-Zarkazy, al-Burhani fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Turath,
                Kairo
Muhammad Husain al-Dhahaby, ‘Ilm al-Tafsir, Darul Hadist, Kairo, 2005
Usthasbullahahmadma,blogspot.com/2013/04/blog-post-html
Windy Novia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kashiko, Surabaya












BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
KAIDAH TAFSIR 1
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA
Mempelajari  al-Qur’an  bagi setiap muslim merupakan salah satu aktivitas terpenting, bahkan Rasul saw. menilai bahwa: Sebaik-baik kamu adalah siapa yang memelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.Hanya saja sementara orang mengeluhkan sulit dan lamanya mempelajari kitab suci itu yang terdiri dari enam ribu ayat lebih. Pengalaman membuktikan bahwa pengajaran tafsir di Perguruan-perguruan Tinggi Islam dengan cara yang ditempuh selama ini tidak lebih dari empat puluh ayat setiap semesternya. Ini berarti hanya sekitar 10% dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijelaskan di hadapan kelas.Itu pun belum tentu sebagian besar kandungannya telah dicerna oleh mahasiswa.
Sejak sekian tahun yang lalu[1] penulis mengajak peminat studi Al-Qur’an di lembaga-lembaga Pendidikan agar meninjau kembali penekanan dalam mengajarkan Al-Qur’an. Yakni agar menekankan pada kaidah-kaidah Tafsir karena dengan penguasaan kaidah-kaidah itu, seorang peminat studi Al-Qur’an akan memeroleh bimbingan – melalui kaidah-kaidah itu  saat menemukannya pada ayat-ayat serupa –walau tidak dipelajarinya dalam kelas.
Disadari bahwa banyak pihak yang belum memahami apa yang dimaksud dengan “Kaidah-kaidah Tafsir”, lebih-lebih aneka kaidahnya. Hal itu disebabkan antara lain karena buku-buku tentang hal tersebut cukup langka apalagi dalam bahasa Indonesia. Karena itu, Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), Jakarta, berusaha menutupi kelangkaan itu dengan mengajak sekian Guru Besar dalam bidang Tafsir untuk menulis dan menghidangkannya kepada para peminat studi Al-Qur’an dalam sebuah buku yang akan dilengkapi dengan modul-modul untuk memudahkan  pemahamannya.
 Apa yang dimaksud dengan  Kaidah Tafsir?
Kata “kaidah” oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “Rumusan asas-asas yang menjadi hukum; aturan tertentu; patokan; dalil (dalam matematika)”.
Dalam bahasa Arab, قاعدة /kaidah diartikan “asas/ fondasi” jika ia dikaitkan dengan bangunan, dan ia bermakna “tiang” jika dikaitkan dengan kemah.Dalam pengertian istilah, ditemukan beberapa  penjelasan. Syarif al-Jurjâny (1339- 1413) dalam bukunya “at Ta’rifât“ menulis bahwa: Kaidah adalah  قضية كلية منطبقة على جميع جزئيتها   Rumusanyang bersifat kully (umum) mencakup semua bagian-bagiannya.”
Khâlid bin Usman as-Sabt, salah seorang ulama kontemporer, dalam bukunya  “Qawâ’id at-Tafsîr Jam’(an) Wa Dirâsat(an), mendifiniskan kaidah sebagai حكم كلي يتعرف بها على احكام جزئية  yakni “Ketentuan umumyang dengannya diketahui ketentuan menyangkut rincian”.
Kedua difinisi di atas menggarisbawahi bahwa kaidah mencakup semua bagian-bagiannya.Namun dalam kenyataan tidak jarang ditemukan bagian yang menyimpang dari kaidah umum itu. Menanggapi kenyataan di atas, ada ulama yang menegaskan bahwa memang demikian sifat kaidah –lebih-lebih dalam hal-hal yang bersifat  teoritis. Yakni kalaupun rumusan pengertian istilah  kaidah mengandung makna bahwa ia mencakup segala rinciannya, namun secara substansial sejak semula para perumus tidak memaksudkkan dari kata  kully /umum sebagai mencakup segala sesuatu tanpa kecuali. Apa yang tidak tercakup itu  dinamaiSyâdz oleh pakar-pakar bahasa, yakni menyimpang dalam arti  tidak dicakup oleh kaidah. Dalam hal yang semacam ini kita tidak dapat berkata bahwa yang menyimpang /tidak tercakup itu salah.Ia hanya tidak dicakup oleh kaidah karena kelemahan perumus dalam merumuskan, atau karena jarangnya kasus itu dan bisa juga karena adanya pertimbangan-pertimbangan makna yang mendorong dipilihnya sesuatu yang dinilai menyimpang itu. Sebagai contoh dari kaidah kebahasaan dalam kaitannya dengan Al-Qur’an  adalah firman- Allah  إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينََ   (Q.S. al-A’râf [7]:56. Kalau mengikuti kaidah kebahasaan maka kata   قَرِيبٌ (Qarîb) seharusnya  قريبة  (Qarîbatun) karena ia menyifati kata  رحمة (rahmat), sebab  menurut kaidah “Sifat/adjektive mengikuti keadaan yang disifatinya”. Bila yang disifati tunggal,   dual, jamak, feminin  atau maskulin, maka adjektive-nya pun demikian. Banyak jawaban yang diberikan menyangkut ayat di atas yang tidak sejalan dengan kaidah. Namun berpagi-pagi harus digarisbawahi bahwa kaidah bahasa Arab dirumuskan  jauh setelah turunnya Al-Qur’an, sehingga setiap ditemukan ayat yang berbeda dengan kaidah bahasa Arab, Al-Qur’an tidak dapat dipersalahkan. Jangankan Al-Qur’an, konon al-Farazdaq (641-733 M), salah seorang penyair terbesar masa Umawiyah, pernah berucap yang dinilai oleh seseorang sebagai keliru dari segi kaidah bahasa. Sang penyair mengecam pengeritiknya dengan berkata, “Saya yang berbicara dan Anda yang harus membuatkan kaidah untuk ucapan saya.” Yakni  kalaupun ada yang dipersalahkan, maka itu adalah  perumus kaidah yang tidak mampu merumuskan kaidahnya sehingga tidak mencakup segala bagian-bagiannya.
Dari sini para pakar memeras keringat untuk mencari jawaban atas “penyimpangan”. Salah satu jawaban yang terbaik dalam kasus ayat di atas  adalah pertimbangan makna, yakni jika ayat di atas menggunakan kata qarîbatun maka yang dekat kepada  al-Muhsinîn (orang-orang yang mantap kebaikannya) hanyalah rahmat Allah, padahal ayat ini agaknya bermaksud menjelaskan bahwa Allah dengan segala anugerah-Nya dekat kepada al-Muhsinĭn, bukan hanya rahmat-Nya.
Hal semacam ini banyak ditemukan, baik  dalam al-Qur’an maupun syair-syair  dan ungkapan-ungkapan bahasa Arab.
Melihat dan menyadari kenyataan tentang  adanya rincian yang tidak dicakup oleh kaidah dengan rumusan tentang “Kaidah “ sebagaimana dicontohkan di atas, maka sementara ulama mendifiniskan kaidah sebagai   حكم اغلبي ينطبق على معظم أجزائه yakni Ketetapan yang bersifat umum yang dapat diterapkan pada kebanyakan bagian-bagiannya”.
Dengan rumusan ini dapat dihindari kesalahfahaman tentang pengertian kaidah. Di sisi lain, kesadaran tentang hakikat kaidah seperti dikemukakan di atas –baik dengan rumusan pertama maupun kedua– kesadaran tentang hal tersebut mengundang  setiap pengamat untuk mencermati kalimat bahkan kata[2], yang ditemukannya dalam sebuah teks sebelum menerapkan kaidah atau mengecualikan apalagi mempersalahkan. Ini berlaku pada segala disiplin  ilmu seperti Ilmu  Bahasa,  Fiqh atau Ushul Fiqh , Tafsir dan lain-lain. Dengan demikian, tidak setiap menemukan kasus yang terlihat menyimpang,  serta merta dinyatakan bahwa ia  syădz/ menyimpang.
Dalam konteks kaidah kebahasaan yang diadopsi oleh Tafsir, ditemukan misalnya kaidah yang menyatakan bahwa: Pengulangan kata yang sama dalam satu redaksi, bila ia berbentuk definite (ma’rafah) maka kata yang pertama sama kandungan maknanya dengan kata yang kedua; sedangkan bila ia berbentuk indefinite (nakirah) maka kandungan makna kata yang kedua berbeda dengan yang pertama. Mereka, misalnya, menunjuk firman Allah dalam surah Alam Nasyrah [94]: 5-6    فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا  ,Karena sesungguhnya bersama al-‘Usr (kesulitan) ada Yusră (kemudahan) (5); Sesungguhnya sesudah kesulitanitu ada kemudahan (6).   Di sini kata al-‘Usr (kesulitan) berbentuk definite ditemukan dua kali masing-masing pada ayat 5 dan 6. Ini berarti keduanya mengandung makna yang sama, sehingga berarti yusra yang pertama berbeda dengan yusra yang kedua. Dari sini difahami bahwa setiap ada satu kesulitan dapat ditemukan dua kemudahan.
 Kendati banyak contoh yang dapat membuktikan kebenaran kaidah ini, namun tidak semuanya demikian.Bacalah firman Allah QS.az-Zukhruf [43]: 84  yang menyatakan: َ   ٍوَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ. Kata إِلَهٌ  Ilah pada ayat ini diulangi dua kali dan keduanya bersifat indefinite (nakirah ) sehingga sepintas terkesan ayat ini bermakna bahwa ada Tuhan di langit dan ada lagi Tuhan yang berbeda di bumi. Ini tentu saja bukan makna yang lurus dan benar.Dari sini ulama-ulama tafsir –tanpa mempersalahkan kaidah– menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kata Ilăh pada ayat itu bukan dalam arti zat Allah, tetapi Ketuhanan-Nya. Dengan demikian, ayat di atas bermaksud menyatakan (wa Allah A’lam) bahwa Ketuhanan Allah berlaku bukan saja di langit tetapi juga di bumi. Ketuhanan-Nya yang di langit itu diakui oleh semua penghuninya, sedang Ketuhanan-Nya di bumi tidak demikian. Bukankah amat banyak manusia yang durhaka bahkan enggan mengakui wujud dan atau keesaan-Nya ?
 Kaidah Tafsir
 Salah satu difinisi Tafsir yang singkat tapi cukup mencakup adalah: Penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Tafsir/penjelasan itu lahir dari upaya sang penafsir untuk beristinbath/ menarik –sesuai kemampuan dan kecenderungannya– makna-makna yang ditemukannya pada teks ayat-ayat Al-Qur’an.
 Dari sini dan setelah jelas pengertian kaidah yang diuraikan sebelum ini, agaknya dapat dikemukakan pengertian “Kaidah Tafsir” yaitu: Ketetapan yang bersifat kully yang membantu seorang penafsir untuk menarik makna/pesan-pesan Al-Qur’an.” [3]
Ketetapan-ketetapan itu merupakan “patokan” bagi mufassir untuk memahami kandungan dan pesan Al-Quran yang dalam penerapannya memerlukan kejelian dan kehati-hatian apalagi sebagian dari kaidah atau patokan itu dapat memiliki pesan/kesan atau makna yang bertolak belakang. Sebagai contoh kaidah yang menyatakan: Tanwîn pada satu kata dapat mengandung makna banyak atau agung dan dapat juga sebaliknya berarti sedikit. Firman Allah yang berbunyi لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ difahami sebagai pengampunan yang banyak dan agung sedang  pada firman-Nya dalam QS. at-Taubah [9]:72  وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ   difahami dalam arti sedikit  yakni walau sedikit dari ridha Allah, itu lebih besar dibandingkan dengan surga dengan istana-istananya.
Hal serupa pada kata  هَذَا Hâdzâ. Ia sekali digunakan untuk menunjukkan kedekatan dan keagungan antara lain yang menunjuk Al-Qur’an tetapi digunakan  juga sebagai penghinaan. Antara lain sebagaimana ucapan kaum musyrik yang bermaksud melecehkan Nabi Muhammad saw. dengan ucapan mereka: وَإِذَا رَأَوْكَ إِنْ يَتَّخِذُونَكَ إِلَّا هُزُوًا أَهَذَا الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ رَسُولًا :Dan apabila mereka (kaum musyrik) melihatmu (wahai Nabi Muhammad), mereka hanyalah menjadikanmu sebagai bahan ejekan (dengan mengatakan): “Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul?” (QS. al-Furqân  [25]: 41).
 Betapapun demikian, atau disebabkan oleh karena itu, kaidah-kaidah amat dibutuhkan karena ia dapat menjadi tolok ukur bagi mufassir dalam penafsiran yang dia temukan atau kemukakan serta patokan yang dapat menghindarkannya dari kesalahan sebagaimana fungsi kaidah-kaidah yang lain.
Kaidah yang disepakati  dan tidak disepakati
Tidak mudah menetapkan atau membatasi jumlah kaidah-kaidah Tafsir, apalagi dari saat ke saat bisa saja lahir dari pengamatan seorang mufassir sesuatu yang dinilainya dapat menjadi kaidah/patokan guna memahami Al-Qur’an.Hal ini dapat dibuktikan melalui penafsiran para mufassir kontemporer. Sebagai contoh pandangan Almarhum Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi (1911-1998 M) yang mengamati bahwa: “Bila al-Qur’an menyebut nama tokoh dalam konteks kisahnya, maka itu menunjukkan bahwa peristiwa serupa tidak akan terulang, tetapi bila tidak menyebut nama tokohnya, maka peristiwa serupa dapat terulang.” Aisyah Abdurrahman (Bint asy-Syâthi, lahir 1926 M), yang memberi perhatian besar pada pengertian kosa kata, menyimpulkan dalam bukunya “at-Tafsir al-Bayâny” bahwa kata   نعيم (Na’îm) digunakan Al-Qur’an dalam arti kenikmatan ukhrawy, dan dengan demikian, setiap menemukan kata na’ĭm maka yang dimaksud adalah kenikmatan ukhrawi.
Dari sini bisa saja ada kaidah yang tidak disepakati. Hal ini lumrah dan  berlaku juga dalam berbagai kaidah displin ilmu, seperti Ilmu Bahasa atau Ushul Fiqh. Sangat populer di kalangan peminat ilmu bahasa Arab aneka perbedaan antara mazhab ulama-ulama bahasa yang bermukim di Kufah dan ulama yang bermukim di Basrah (keduanya di Irak), dan sangat popular juga sekian perbedaan ulama Ushul Fiqh yang bermazhab Syafi’i dengan ulama-ulama mazhab lainnya dalam kaidah-kaidah yang mereka anut.
 Perbedaan pendapat menyangkut kaidah Tafsir, misalnya, adalah yang menyangkut sebab Nuzŭl.  Apakah   العبرة بعموم اللفظ  لا بخصوص السبب  (patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum bukan pelaku peristiwanya, atau sebaliknya  العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ  .
 Memang dalam konteks ini ada yang menduga bahwa hasil perbedaan itu pada akhirnya sama, namun hal tersebut tidak sesederhana apa yang diduga sementara orang.[4]
Di sisi lain bisa saja para ulama sepakat tentang satu kaidah, tetapi ketika menerapkannya mereka berbeda sehingga kesimpulan mereka menyangkut ayat berbeda pula. Sebagai contoh kaidah yang menyatakan bahwa: Jika ada dua ayat yang berbicara tentang satu persoalan yang sama, tetapi salah satunya bersifat Muhkam (jelas maknanya) dan yang kedua bersifat Mutasyăbih (samar maknanya), maka yang Mutasyăbih harus difahami berdasar makna yang dikandung oleh yang Muhkam. Ketika menerapkan kaidah ini pada firman Allah dalam QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23 وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ  Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat, menerapkannya dengan menyandingkannya dengan firman yang menyatakanلاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الخَبِيرُDia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS. al-An’ăm [6]: 103), maka yang menjadikan ayat surah al-Qiyamah sebagai ayat Muhkam, menegaskan bahwa Allah dapat dilihat dengan pandangan mata di akhirat nanti, walau hakikat dzat-Nya tidak dapat terjangkau. Tetapi bagi yang menjadikan ayat al-An’ăm sebagai ayat Muhkam, dan ayat al-Qiyămah sebagai Mutasyăbih, maka mereka menegaskan bahwa Allah sekali-kali dalam keadaan apa pun tidak dapat dijangkau /dilihat dengan pandangan mata.
 Sekelumit sejarah Kaidah-Kaidah Tafsir
 Para pakar Al-Qur’an sejak dahulu memberi perhatian menyangkut apa yang kemudian dinamai Kaidah-kaidah Tafsir, bahkan lahirnya aneka disiplin ilmu agama  pada hakikatnya dipicu oleh  dorongan memahami yat-ayat Al-Qur’an.
Dalam penulisan kitab-kitab Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, sementara ulama masa lampau menguraikan kaidah-kaidah tafsir. Antara lain Badruddîn Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi  (w. 794 H/1392 M) dalam kitabnya  “Al-Burhân Fî ‘Ulûm al-Qur’an”, Jalâluddin Abdurrahman as-Sayuthy (w. 911 H /11505 M) dalam al-Itqân.
Namun demikian, penulisan kaidah-kaidah itu secara berdiri sendiri baru dikenal jauh setelah generasi umat yang pertama. Ahmad bin Abdul Halim yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M) dapat dicatat sebagai salah seorang perintis penulisan kaidah tafsir secara berdiri sendiri. Tokoh ini menulis buku yang bernama “Muqaddimah Ushûl al-Tafsîr”. Di sana Ibnu Taimiyah mengemukakan sekian persoalan yang dapat dinilai sebagai kaidah seperti: Sifat perbedaan pendapat ulama masa lampau, cara penafsiran yang terbaik,  persoalan Sebab Nuzûl, Israiliyât dan sebagainya. Setelah Ibnu Taimiyah menyusul Muhammad Bin Sulaiman al-Kâfîjiy (w. 879 H) yang menulis “al-Taisîr Fi Qawa’id ‘Ilm al-Tafsir”.
Penulisan kaidah-kaidah Tafsir secara berdiri sendiri, seakan-akan sejak itu mandek dan baru mulai segar kembali akhir-akhir ini. Buku-buku yang relatif baru dalam bidang ini antara lain “Ushŭl al-Tafsîr wa Qawâ’iduhu” karya Syekh Khalid Abdurrahman al-‘Ak, “Qawâ’id al-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn” karya Husain bin Ali bin al-Husain al-Harby, “Qawâ’id al-Tafsir jam’(an)  wa Dirâsat(an)” karya Khalid bin Usman as-Sabt.  Buku  “al-Qawâ’id al-Hisân Li Tafsîr Al-Qur’an karya Syekh Abdurrahman al-Sa’dy merupakan juga salah satu kitab yang cukup baik dalam bidang ini. Kitab ini memaparkan tujuh puluh masalah yang dinamainya kaidah.
 Keragaman Kaidah-kaidah Tafsir
       Kaidah-kaidah Tafsir, pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga bagian pokok.
Pertama bersumber dari displin ilmu tertentu seperti Ilmu Bahasa dan Ushul Fiqh. Keragamam sumber itu menjadikan kaidah dimaksud  dapat diterapkan juga dalam bidang ilmu yang berkaitan, misalnya yang dari segi bahasa tentang fungsi-fungsi huruf wauw dan perbedaannya dengan tsumma dan fa’. Demikian juga makna-makna yang dikandung oleh setiap kata, atau bentuk kata itu seperti kala kini/mendatang (mudhâri’) kala lalu (Mâdhi) atau perbedaan kandungan makna antara kalimat yang berbentuk verbalsentence dengan nominal sentence.Seorang penafsir mestinya dapat menghayati –misalnya— mengapa Nabi Ibrahim as.menjawab para malaikat yang berkunjung ke rumah beliau sambil berucap  “salamă” lalu  beliau menjawabanya dengan “salămun”  (QS. Hud [11]: 69) dengan menghayati perbedaan yang dikemukakan pakar-pakar bahasa antara bentuk kata salama, dan salămun yakni yang pertama mereka namai Jumlah Fi’liyah. Ucapan malaikat salam(an) beerbentuk Jumlah Fi’liyah sehingga ia  dipahami sebagai bermakna Kami mengucapkan salam (Kata salam(an) di sini berkedudukan sebagai objek ucapan), sedang  ucapan Nabi Ibrahim as. berbentukJumlah Ismiyah sehingga maknanya  adalah keselamatan mantap dan terus menerus menyertai kalian. Demikian beliau menjawab sambutan damai dengan yang lebih baik.
Kalimat ambigu/ bertimbal misalnya ditetapkan oleh kaidah Tafsir bahwa kedua maknanya dapat digunakan bila memungkinkan untuk ditampung. Kata يُضَارَّ dalam firman Allah  وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ  ( QS. al-Baqarah [2]: 282 , asalnya dapat merupakan Yudhârir/memberi mudharrat, sehingga kata-kata Kâtib dan Syahid berkedudukan sebagai pelaku dan dengan demikian ayat ini berpesan kepada penulis utang piutang dan saksi agar tidak memberi mudharat kepada salah seorang yang bertransaksi. Di sisi lain, kalau kata yudhârra asalnya adalah yudhârar, maka ia berbentuk passif voice(mabny li al-majhûl) dan dengan demikian, penggalan ayat ini berpesan kepada siapa pun yang bertransaksi agar tidak merugikan/ mengakibatkan mudharrat bagi penulis/notaris maupun saksi. Kedua makna di atas dapat digabung sehingga berdasar kaidah tersebut ayat di atas dapat difahami dengan kedua pemahaman itu.
Kaidah-kaidah Usuh Fiqh banyak sekali diadopsi oleh Tafsir.Misalnya “Perintah pada dasarnya mengandung makna wajib, kecuali jika ada yang mengalihkannya”. Di sini sangat diperlukan keluasan ilmu, agar dapat menemukan  dalil-dalil yang mengalihkannya itu. Demikian juga kaidah yang berbunyi “Teks keagamaan yang memerintahkan sedang sebelumnya ada larangan, maka perintah itu sekadar mengandung makna boleh dilakukan”.
Kedua: Kaidah yang khusus dibutuhkan oleh penafsir sebelum melangkah masuk ke dalam penafsiran dan ini antara lain bersumber dari pengamatan terhadap kesalahan-kesalahan sementara penafsir atau dari kesadaran tentang perlunya mengikat diri agar tidak terjerumus dalam kesalahan. Misalnya kaidah-kaidah yang berkaitan dengan penerapan metode Tahlily, Maudhu’iy, atau Muqaran. Demikian juga menyangkut sistematika  penyusunan urutan uraian – misalnya kapan uraian Asbab an-Nuzûl didahulukan atas uraian tentang Hubungan ayat dan kapan sebaliknya. Bagaimana sikap terhadap sinonim yang terdapat dalam al-Qur’an apakah maknanya sama atau berbeda. Demikian juga apakah dalam al-Qur’an ada kata atau huruf yang tidak bermakna (zâidah) dan lain-lain.
 Ketiga: Kaidah yang ditarik dari dan bersumber langsung dari pengamatan terhadap al-Qur’an dan yang bisa jadi ia tidak sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin ilmu lain.
Kaidah kelompok ketiga ini cukup banyak.Ambillah sebagai contoh penggunaan bentuk kata Mudhări’ (Kala kini) untuk suatu peristiwa yang lalu. Ini bila digunakan al-Qur’an, maka ia mengisyaratkan keindahan atau keburukan peristiwa itu. Firman Allah yang menyinggung pembunuhan orang-orang Yahudi terhadap nabi-nabi dilukiskan al-Qur’an dengan kata يقتلون الأنبياء  Yaqtulunaal-Anbiya’ yakni dalam bentuk kata kerja masa kini dan datang, padahal pembunuhan itu telah berlalu sekian lama. Sebaliknya firman Allah melukiskan pembaiatan sahabat-sahabat dilukiskan oleh QS.al-Fath [48]: 10 dalam bentuk kata kerja masa kini, padahal ayat tersebut turun setelah pembaiatan itu. Ini guna mengisyaratkan betapa indah pemabaiatan itu.
Sebaliknya bila bentuk  Mădhy (Kala lampau)  digunakan untuk peristiwa yang belum terjadi, maka itu antara lain untuk menunjukkan kepastian terjadinya peristiwa itu. Firman Allah dalam QS.an-Nahl [16]: 1 yang melukiskan kepastian datangnya hari Kiamat menggunakan bentuk kata masa lampau أتى امر الله  فلا تستعجلوه  /Telah datang ketetapan Allah (Kiamat) maka janganlah meminta disegerakan kedatangannya .  Maksudnya Kiamat pasti datang.
Demikian juga kata Kami yang menunjuk Allah Tuhan Yang Maha Esa.Penggunaan kata tersebut di samping bertujuan menunjukkan keagungan-Nya juga dapat berarti adanya keterlibatan makhluk dalam aktivitas yang ditunjuknya. Firman Allah إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ   Sesungguhnya Kami  yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar adalah Pemelihara(nya).(QS. al-Hijr [15]: 9). Ini karena yang membawa “turun” al-Qur’an adalah malaikat Jibril as.atas perintah Allah dan yang mememeliharanya bersama Allah antara lain adalah umat Islam. Sedangkan kalau Allah menunjuk diri-Nya dengan kata Aku, makaitu antara lain mengisyaratkan bahwa tidak ada selain-Nya yang boleh /dapat terlibat di dalamnya, seperti firman-Nya dalam QS. Yâsîn [36]: 61وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ  dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.
 Bisa juga kata Aku menunjukkan bahwa keterlibatan selainnya sedemikian sedikit/kecil tidak berarti sehingga dinilai “tidak ada” seperti dalam firman-Nya  ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا  Biarkanlah Aku (bertindak) terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian (QS. al-Muddaststir [74]: 11).
Demikian sekelumit pengantar.Sekali lagi ditegaskan bahwa kaidah-kaidah Tafsir adalah patokan umum bagi para pengkaji al-Qur’an untuk memahami pesan-pesan Kitab Suci itu dan yang dapat membantunya memahami al-Qur’an dalam waktu yang tidak terlalu lama.


[1] Hal ini antara lain penulis kemukakan dalam buku “ Membumikan Al-Qur’an” yang diterbitkan  pertama kali pada tahun   1992 oleh Penerbit Mizan Bandung.
[2] Sementara  orang mempertanyakan mengapa Al-Qur’an memilih kata  akala, dalam firman-Nya yang melukiskan ucapan putra –putra Nabi Ya’kub  yang berbohong bahwa saudara mereka Yusuf, telah dimakan serigala, Mereka berkata  Akalahu az-Zi’bu ( dia dimakan serigala “ (Q.S. Yusuf  [12]:14)  bukan  Iftarasahu ( diterkam)  yang   menurut penggunaan bahasa lebih tepat. Tetapi pandangan ini tidak memertimbangkan makna lain yang hendak ditekankan oleh ayat, yaitu bahwa serigala itu telah menghabiskan segala sesuatu pada diri Yusuf, sehingga mereka tidak dapat membawa tulang  belulang yang tersisa sekalipun karena serigala telah “memakan semuanya” tanpa sisa.
[3] Harus diingat bahwa yang dimaksud dengan ketetapan kully disini adalah sebagian besar saja bukan keseluruhan bagian-bagiannya.
[4] Baca persoalan ini dalam buku penulis Membumikan Al-Quran.
404


[1] bloguin-malang.ac.id/jafar/2011/05/28/halo-dunia/
[2] Khalid Abd al-Rahman , Usul al-Tafsir wa Qawa’iduh, (Bairut: Dar al-Nafais, 1986),  189
[3] Muhammad Ibn Abd Allah al-Zarkazy, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-
Turath), 180-181
[4]Jalal al-Din al-Suyyuty, al-Itqan fi’Ulum al-Qur’an. Juz II, (Bairut: Dar al-Fikr, 1996), 479
[5] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an(Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 323-324
[6] Muhammad Husain al-Dhahaby, ‘Ilm al-Tafsir, (Kairo : Darul Hadist, 2005), 58
[7]  Windy Novia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kashiko), h. 247
[8]  M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang : Lentera Hati, 2013), cet. ke-2, h. 6
[9]  ibnuumarbgr.wordpress.com/artikel/musthalahul-hadits.
[10]kumpulanmakalah123.blogspot.com/2014/03/makalah-kaidah-kaidah-penafsiran-al-html
[11] Departemen  Agama RI,   Al-Qur’an dan Terjemahnya,     (Jakarta:  Pustaka Agung Harapan, 2006), h. 385
[12] Usthasbullahahmadma.blogspot.com/2013/04/blog-post-html
[13]Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 4
[14] Usthasbullahahmadma, loc. cit
[15]Abd. Rahman Dahlan,op cit.,  h. 5
[16]Ibid., h. 6
[17] Departemen Agama RI, op. cit., h. 249
[18]Abd. Rahman Dahlan, op. cit., h. 8
[19] Departemen Agama RI, op. cit., h. 512
[20]Abd. Rahman Dahlan, op. cit., h. 12
[21] Departemen Agama RI, op. cit., h. 631
[22]Ibid., h. 862
[23]Ibid., h. 445
[24]Ibid., h. 820
[25]Ibid., h. 261
[26]Ibid., h. 95
[27] Abd Rahman Dahlan, op. cit., h. 26
[28]Departemen Agama RI, op. cit., h. 388
[29]Ibid., h. 105
[30]Ibid., h. 45
[31]Abd. Rahman Dahlan, op cit., h. 31
[32] Departemen Agama RI, op cit., h. 62-63
[33]Ibid., h. 490
[34]Abd. Rahman Dahlan, op cit., h. 35
[35] Departemen Agama RI, op cit., h. 542
[36]Ibid.
[37]Ibid., h. 314
[38]Ibid.
[39]Ibid.
[40]Ibid., h. 4
[41]Ibid., h. 617
[42]Ibid., h. 146
[43]Ibid., h. 206-207
[44]Abd. Rahman Dahlan, op cit., h. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar