Senin, 15 Juni 2015

ISI CHAPTER MODEL 'LEARNING FROM SIMULATIONS'


BAB I
PENDAHULUAN
 Pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu interaksi positif antara pendidik dan peserta didik dan antara peserta didik dengan peserta didik lainnya.  Untuk mencapai tujuan pembelajaran diperlukan suatu pemilihan model pembelajaran yang tepat. Ada banyak model pembelajaran yang bisa diterapkan  untuk membangun interaksi dan komunikasi yang baik antara peserta didik dan pendidik.
  Joyce & Weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana  atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.[1]Model pembelajaran dapat dijadikan pola pikiran, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien utntuk mencapai tujuan pendidikannya.
 Model pembelajaran Simulasi dapat digunakan sebagai model mengajar dengan asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat dilakukan secara langsung pada objek yang sebenarnya. Gladi resik merupakan salah satu contoh simulasi, yakni memperagakan proses terjadinya suatu upacara tertentu sebagai latihan untuk upacara sebenarnya supaya tidak gagal dalam waktunya nanti. Demikian juga untuk mengembangkan pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa yang lebih banyak mengarah kepada psikomotor , maka penggunaan model pembelajaran simulasi  akan sangat bermanfaat.
  Setiap model mengajar memiliki keunggulan dan kekurangan sehingga hal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih model tersebut. Kelemahan-kelemahan model harus diantisipasi dan dikaji oleh guru agar penggunaannya dapat efektif.
  Berdasarkan uraian tersebut di atas, disini penulis mencoba membahas model pembelajaran dari isi Chapter dengan model “Learning from Simulations” ( “Belajar dari Simulasi” ).






        







BAB II
ULASAN  ISI CHAPTER MODEL “LEARNING FROM SIMULATIONS”
( “ BELAJAR DARI SIMULASI” )
           Walaupun pada “Chapter Eighteen” tentang model “Learning From Simulations” yang terdapat dalam buku dengan judul “Models of Teaching” karangan Bruce Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun ini tidak ada membahas tentang pengertian Model Pembelajaran Simulasi. Namun dalam pembahasan ini, sebelum mengulas dari isi Chapter tersebut, di sini penulis merasa perlu untuk mengemukakan pengertian tersebut.
              Simulasi berasal dari kata “simulate” yang artinya “berpura-pura atau berbuat seakan-akan”.[2] Di dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia dinyatakan bahwa simulate adalah “pekerjaan tiruan atau meniru, sedang simulate artinya menirukan, pura-pura atau berbuat seolah-olah.”[3] Sebagai metode mengajar, simulasi dapat diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu.
             Menurut Udin Syaefudin Sa’ud, simulasi dalam perspektif model  pembelajaran adalah sebuah replikasi atau visualisasi dari perilaku sebuah sistem, misalnya sebuah perencanaan pendidikan, yang berjalan pada kurun waktu yang tertentu. Jadi dapat dikatakan bahwa simulasi itu adalah sebuah model yang berisi seperangkat variabel yang menampilkan ciri utama dari khidupan sebenarnya. Simulasi memungkinkan keputusan-keputusan yang menentukan bagaimana ciri-ciri utama itu bisa dimodifikasi secara nyata.[4]
             Model pembelajaran simulasi merupakan model pembelajaran yang membuat suatu peniruan terhadap sesuatu yang nyata, terhadap keadaan sekelilingnya (State of affairs) atau proses. Model pembelajaran ini dirancang untuk membantu siswa mengalami bermacam-macam proses dan kenyataan sosial dan untuk menguji reaksi mereka, serta untuk memperoleh konsep keterampilan pembuatan keputusan.
               Model pembelajaran ini diterapkan di dalam dunia pendidikan dengan tujuan mengaktifkan kemampuan yang dianalogikan dengan proses sibernetik. Pendekatan simulasi dirancang agar mendekati kenyataan dimana gerakan yang dianggap kompleks sengaja dikontrol, misalnya, dalam proses simulasi ini dilakukan dengan menggunakan simulator.
A.      Scenario (Skenario)
                Dalam buku “Models of Teaching” yang dikarang oleh Bruce Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun bahwa terdapat dua contoh Skenario tentang Proses Simulasi.  Salah satu Skenarionya  sebagai berikut.
           Walter Hryauk tengah membimbing siswa kelas sembilan untuk menemukan simulasi-simulasi perjalanan antariksa yang bisa diakses melalui web. Siswa merasa takjub dengan apa yang mereka lihat. Walter pun demikian. Mereka mengawalinya dengan mengunjungi website NASA. Di sana, mereka pun mendapatkan banyak sekali pilihan. Mereka bisa saja mensimulasi perjalanan space shuttle (ruang angkasa ulang-alik) atau beberapa perjalanan lain, membuat  ramalan cuaca dunia dalam web, dan mengunjungi lusinan website yang berisi informasi pendukung.[5]
                Dengan skenario tersebut, diterangkan bahwa Walter dan siswanya akhirnya mengetahui dalam memutuskan bagaiamana memulai pelajaran adalah masalah yang cukup rumit, dan mereka juga menyadari ada begitu banyak hal yang harus mereka pelajari terlebih dahulu. Kemudian Walter mengambil keputusan bahwa studi tentang fisika, cuaca, dan sifat penelitian akan dibangun berdasarkan simulator-simulator yang tersedia. (Walter menganggap bahwa tempat yang cukup representatif sebagai langkah awal pembelajaran simulasi ini adalah situs Universitas rice, yang berafiliasi dengan NASA. 
                Kemudian sebagian Skenario yang lainnya disebutkan: Siswa pendidikan pengemudi (driver education) kelas dua di salah satu sekolah di Chicago tengah melakukan simulasi mengemudikan mobil. Saat kamera bergambar menampilkan gambar sebuah jalan yang lurus, masalah-masalah mulai muncul. Seorang anak melangkah di belakang dua mobil yang tengah parkir; namun pengemudi menjalankan mobilnya dan meninggalkan anak tersebut. Sebuah palang stop tiba-tiba di seberang truk yang sedang tengah parkir; serta merta pengemudi menginjak rem. Setiap siswa kemudian belajar menyetir di bawah kondisi yang sudah dirancang sedemikian rupa. Dan saat semua siswa menyelesaikan pelajaran pengemudi tersebut, instruktur dan anggota kelas saling bertanya satu sama lain, menanyakan reaksi, dan trik-trik pertahanan yang diterangkan saat mengemudi.[6]
            Cerita tersebut menggambarkan keterlibatan dan keaktifan siswa dalam proses simulasi. Kemudian disederhanakan dan disajikan dalam dunia nyata dalam sebuah bentuk yang dapat diformat di dalam ruang kelas. Usaha ini dilakukan dalam rangka memperkirakan keadaan serealistis mungkin sehingga konsep yang dipelajari dan solusi yang dikembangkan dapat benar-benar diparaktikkan dalam dunia nyata.
            Dalam rangka mendapatkan kemajuan dalam simulasi ini, seorang siswa harus mengembangkan konsep dan keterampilan yang dibutuhkan dan selanjutnya dipraktikkan. Seorang siswa sebagai pengemudi harus mengembangkan konsep dan keterampilan untuk bisa mengemudi secara efektif. Dalam simulasi, siswa belajar dari konsekuensi tindakan yang mereka ambil. Pengemudi harus pula mempelajari trik-trik dasar yang tepat sambil tetap waspada  dan peka terhadap hambatan-hambatan yang ditemui di jalan.
               Hampir semua simulasi bergantung dan ditentukan oleh sofware, yakni sebuah permaianan yang memiliki beragam perlengkapan. Model simulasi bergantung  juga  pada percampuran simulasi yang sudah dipersiapkan sebelumnya ke dalam kurikulum, menyoroti, dan memperkuat kepaduan pembelajaran . Kemampuan guru untuk membuat setiap aktivitas menjadi sarat makna adalah hal yang sangat penting. Selain itu, properti instruksi diri dalam simulasi juga merupakan hal yang vital.                      
B.  Orientation To The Model (Orientasi Model)
               Prinsip Sibernetik telah lama digunakan dan dikembangkan dalam dunia pendidikan selama tiga puluh terakhir. Walau model simulasi bukan berasal dari disiplin ilmu pendidikan. Tetapi merupakan penerapan dari prinsip Sibernetik, suatu cabang dari psikologi Sibernetik adalah suatu studi perbandingan antara mekanisme kontrol manusia (biologis) dengan sistem elektromekanik, seperti komputer.
              Ahli psikologi sibernetik membuat analogi antara manusia dan mesin, mengonseptualisasi pembelajar sebagai sebuah sistem respons balik pengaturan diri. Sebagai sebuah disiplin ilmu, sibernetik digambarkan sebagai studi mekanisme kontrol manusia, dan sistem-sistem eletronik, seperti komputer (Smith dan Smith, 1966: 202). Fokus utama dalam teori ini adalah munculnya kesamaan antara mekanisme kontrol timbal balik dari sistem elektronik dengan sistem-sistem manusia.[7]
              Pada intinya, psikologi sibernetik adalah prinsip umpan balik yang berorientasi pada perasaan yang bersifat intrinsik pada masing-masing individu (seseorang merasakan pengaruh keputusan orang lain) dan merupakan dasar bagi pilihan-pilihan koreksi diri. Masing-masing individu bisa merasakan efek dari keputusannya sebab lingkungan akan merespons dengan sepenuhnya, tidak hanya mengatakan, “benar” atau “salah”, atau “cobalah lagi”. Hal ini menunjukkan bahwa konsekuensi lingkungan dari pilihan mereka diterima kembali oleh mereka yang membuat keputusan. Pembelajaran dalam konsep sebernetik adalah pengalaman inderawi terhadap konsekuensi  yang muncul dalam lingkungan sebagai akibat dari perilaku koreksi diri. Intruksi dalam konsep sibernetik dirancang untuk membuat dan menciptakan sebuah lingkungan bagi pembelajar yang di dalamnya penuh dengan umpan balik.[8]
             Jadi, berdasarkan teori Sibernetik, ahli psikologi menganalogikan mekanisme kerja manusia seperti mekanisme mesin elektronik, menganggap siswa (pembelajar) sebagai suatu sistem yang dapat mengendalikan umpan balik sendiri (self regulated feedback).
              Sistem kendali umpan balik ini, baik pada manusia atau mesin (seperti komputer) mempunyai tiga fungsi, yaitu:
1.        Menghasilkan gerakan/tindakan sisitem terhadap target yang diinginkan (untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan).
2.        Membandingkan dampak dari tindakannya tersebut apakah sesuai atau tidak dengan jalur/rencana yang seharusnya (mendeteksi kesalahan), dan
3.        Memanfaatkan kesalahan (error) untuk mengarahkan kembali ke arah/ jalur yang seharusnya.
              Model Pembelajaran simulasi pada dasarnya merupakan salah satu strategi pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih konkret melalui penciptaan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang mendekati suasana sebenarnya dan berlangsung dalam suasana yang tanpa resiko.[9] Model pembelajaran simulasi bertujuan untuk: (1) melatih keterampilan tertentu baik bersifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari; (2) memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip; (3) melatih memecahkan masalah; (4) meningkatkan keaktifan belajar; (5) memberikan motivasi belajar kepada siswa; (6) melatih siswa untuk mengadakan kerjasama dalam situasi kelompok; (7) menumbuhkan daya kreatif siswa; (8) melatih siswa untuk mengembangkan sikap toleransi.
Simulators and Simulations (Simulator dan Simulasi)
           The application of cybernetic principles to educational procedures is seen most dramatically and clearly in the development of simulators (Aplikasi prinsip sibernetik terhadap prosedur pendidikan terlihat sangat dramatis dan jelas, utamanya dengan pengembangan simulator). Simulator adalah alat dan perangkat latihan yang merepresentasikan realitas dengan sangat dekat namun disajikan dengan kejadian rumit yang masih bisa dikontrol. Misalnya, otomobil yang tersimulasi akan dikonstruksi agar pengemudi dapat melihat jalan, memiliki roda yang bisa diputar, setir dan kopling yang bisa dioperasikan, roda gigi, dan semua alat-alat otomobil modern. Dalam konteks psikologi latihan, tugas yang disajikan dapat dibuat tidak begitu rumit dibanding apa yang akan dihadapi pengemudi dalam dunia nyata.[10]
               Simulasi pada hakekatnya didasarkan pada prinsip Sibernetik yang dihubungkan dengan komputer. Fokus utama dalam teori ini adalah munculnya kesamaan antara mekanisme kontrol timbal balik dari sistem elektronik dengan sistem-sistem manusia.[11] Ada banyak contoh simulasi yang berasal dari berbagai hal, seperti permainan, kompetesi, kerja sama, dan beberapa hal yang dilakukan oleh perseorangan dengan standar mereka pribadi. Kompetesi sangatlah penting dalam simulasi-simulasi besar. “Monopoli” misalnya, bisa mensimulasi aktivitas spekulator dalam real estate dan menggabungkan beberapa unsur spekulasi kehidupan nyata.
             Simulator memiliki beberapa kelebihan. Tugas pembelajaran simulasi dapat dibuat tidak begitu rumit daripada yang ada dan terjadi di dunia nyata, sehingga siswa bisa memiliki kesempatan untuk menguasai skill yang akan terasa sangat sulit saat mereka coba kuasai dalam dunia nyata. Misalnya, belajar bagaimana cara menerbangkan pesawat terbang tanpa bantuan simulator dapat membuka kemungkinan munculnya kesalahan. Siswa yang bertindak sebagai pilot harus melakukan segala hal dengan cukup baik pada masa-masa awal jika tidak ingin mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam penerbangan. Dengan menggunakan simulator, latihan-latihan yang dijalaninya dapat dijadikan tahapan. Siswa yang dilatih bisa diperkenalkan dengan tugas sederhana dan kemudian disusul dengan tugas yang lebih rumit hingga dia bisa membuat sebuah reporter keterampilan yang cukup memadai untuk ukuran seorang pilot pesawat.
               Keuntungan kedua dari simulasi adalah bahwa prakteknya dapat memudahkan siswa mempelajari umpan balik yang dikembangkan oleh siswa itu sendiri. Saat siswa yang berperan sebagai pilot membelokkan setir pada arah kiri, misalnya, maka ia akan merasakan pesawat menepi dan pelan-pelan kehilangan kecepatan dalam beberapa saat. Dengan kata lain, siswa yang dilatih bisa mempelajari perilaku korektif yang dibutuhkan melalui makna yang mereka rasakan saat mengemudi dari pada hanya diberikan deskripsi verbal.[12]
             Simulasi pada akhirnya dapat menghidupkan suasana pelajaran akademik. Jurnal Social Education dapat dijadikan pedoman bagi guru untuk mengadakan simulasi-simulasi.
The Teaher’s Role  ( Peran Guru )
             Perananan guru dalam simulasi sangat penting mengingat tugas guru adalah membangkitkan kesadaran untuk tentang konsep dan prinsip yang disimulasikan. Disamping itu, guru dalam pelaksanaan simulasi mempunyai fungsi manajerial.[13]
             We have  identified   four   rolers for the teacher in the simulation  model :
explaining, refereeing, coaching, and discussing.[14] Proses model pembelajaran simulasi tergantung pada peran guru. Peran guru tersebut ada empat sebagai berikut.
1.      Explaining (menjelaskan)
            Untuk mengadakan pembelajaran berdasarkan simulasi, para pemain harus memahami aturan-aturan yang cukup memadai untuk bisa melaksanakan aktivitas-aktivitas simulasi. Oleh karena itu, guru hendaknya memberikan penjelasan dengan sejelas-jelasnya tentang aktivitas yang harus dilakukan berikut konsekuensi-konsekuensinya.
2.      Refereeing (mengawasi/mewasiti)
Simulasi yang diterapkan dalam ruang kelas  dirancang   untuk bisa   mem-
berikan keuntungan dalam pendidikan. Dengan kata lain, simulasi dirancang untuk tujuan tertentu dengan aturan dan prosedur main tertentu. Oleh karena itu guru harus mengawasi jalannya simulasi sehingga berjalan sebagaimana seharusnya.
             Guru juga memandang simulasi sebagai keadaan yang menuntut partisipasi aktif siswa dan sebab itulah, ada kebebasan untuk berubah, dan siswa diberikan lebih banyak kesempatan untuk berbicara. Guru harus bertindak sebagai wasit yang melihat apakah peraturan benar-benar diikuti dan ditaati. Namun guru, atau siapa pun yang melakukan ini, seharusnya tidak terlalu campur dalam aktivitas permaianan.
3.      Coaching (melatih)
Dalam simulasi, pemain akan   mengalami   kesalahan.    Oleh   karena itu,
seorang guru harus melatih, memberikan saran, memberikan petunjuk atau arahan sehingga sehingga memungkinkan mereka tidak melakukan kesalahan yang sama.
4.      Discussing (mendiskusikan)
            Dalam simulasi, refleksi menjadi bagian yang penting. Oleh karena itu, setelah melewati beberapa sesi, seorang guru harus mendiskusikan beberapa hal seperti bagaiama eratnya kaitan simulasi tersebut dengan dunia nyata, kesulitan-kesulitan dan pandangan apa yang dimiliki siswa, hikmah yang bisa diambil, dan bagaiamana memperbaiki kekurangan simulasi.
C.  The Model Of Teaching (Model Pengajaran)
             1. Syintax (Struktur)
             The simulations model has four phases: orientation, participant training, the simulation itself, and debriefing (Model simulasi memiliki empat tahap: yakni orientasi, latihan partisipan, simulasi itu sendiri, dan wawancara).[15]
             Adapun langkah-langkah penggunaan model pembelajaran simulasi memiliki empat tahapan sebagai berikut:
Tahap 1: Orientation (Orientasi)
- Guru menyajikan topik mengenai simulasi dan konsep yang akan dipakai dalam
   aktivitas simulasi.
- Guru menjelaskan simulasi dan permaianan.
- Guru menyajikan ikhtisar simulasi.
Tahap 2: Participant Training (Latihan partisipan)
- Guru membuat skenario (aturan, peran, prosedur, skor, tipe keputusan yang akan
  dipilih, dan tujuan).
- Guru menugaskan peran simulasi kepada siswa.
- Siswa melaksanakan praktik dalam jangka waktu yang singkat.
Tahap 3: Simulations Operations (Pelaksanaan Simulasi)
- Guru memimpin aktivitas permainan dan administrasi permainan.
- Siswa mendapatkan umpan balik dan evaluasi (mengenal penampilan dan
  pengaruh keputusan).
- Guru menjelaskan kesalahan konsepsi.
- Siswa melanjutkan simulasi.
Tahap 4: Participant Debriefing (Wawancara Partisipan)
- Guru menyimpulkan kejadian dan persepsi.
- Siswa menyimpulkan kesulitan dan pandangan-pandangannya.
- Guru dan siswa menganalisis proses.
- Guru dan siswa membandingkan aktivitas simulasi dengan dunia nyata.
- Siswa menghubungkan aktivitas simulasi dengan materi pelajaran.
- Guru menilai dan kembali merancang simulasi.
            2. Social System (Sistem Sosial)
            The social system is structured by the teacher through selecting materials and directing the simulation (Sistem sosial disusun oleh guru dengan cara memilih materi dan mengarahkan simulasi). Lingkungan kelas yang interaktif, bagaiamanapun, seharusnya menyenangkan dan penuh dengan kerja sama.  Guru memiliki peran dalam mengatur simulasi, menjelaskan permainan, mengukuhkan aturan, melatih, dan memimpin diskusi wawancara.
3.    Peran/Tugas Guru
            Guru harus memainkan peran  suportif, yaitu mengamati dan   membantu siswa dalam menghadapi masalah yang muncul.[16] Di sini seorang guru berperan menyajikan, memfasilitasi pemahaman dan penafsiran tentang aturan-aturan simulasi. Begitu juga agar membuat kegiatan pembelajaran ini semenarik mungkin dan mendapat perhatian serta fokus pada isu yang tidak relevan, maka seorang guru harus bisa secara langsung menghampiri kelompok yang memenangkan permainan.
4.      Support System (Sistem Pendukung)
             Adapun yang menjadi sistem dan sumber pendukung dari model simulasi ini, seperti Social Science Education Consortium Data Book yang memperkenalkan lebih dari lima puluh model simualasi yang cocok digunakan dalam studi sosial. Aktivitas-aktivitas simulasi juga di review secara reguler dalam jurnal Sosial Education. Selain itu, juga banyak simulasi komputer telah dikembangkan dan sangat mudah dipraktikan.
D.      Application (Penerapan)
             Model pembelajaran Simulasi bisa menstimulasi pembelajaran mengenai (1) kompetesi; (2) kerjasama; (3) empati; ( 4 ) sistem sosial; ( 5 ) konsep; (6 ) skill; ( 7 ) kemanjuran; ( 8 ) menjalankan hukuman; ( 9 ) peran kesempatan/peluang; (10) kemampuan untuk berpikir kritis (menguji strategi alternatif dan mengantisipasi hal-hal lain ) dan membuat keputusan.[17] Model ini agak rumit, tergantung pada pengembangan simulasi yang tepat, baik yang melibatkan peneliti, pengembang, (sistem analis, programer dan lain-lain), perusahaan komersial, guru atau kelompok guru dan lain-lain. Dewasa ini, dengan semakin majunya teknologi komunikasi dan informasi, seperti komputer dan multimedia, telah banyak permainan simulasi dihasilkan untuk berbagai kebutuhan yang mencakup berbagai topik dari berbagai disiplin ilmu (mata pelajaran).
E.       Instructional and Nurturant Effects (Dampak-dampak Instruksional dan Penggiring)
              Model simulasi, melalui aktivitas nyata dan diskusi di awal permainan, menuntun pada hasil-hasil akademik, seperti konsep dan skill; kerja sama dan persaingan; pemikiran kritis dan pembuatan keputusan; pengetahuan sistem politik sosial, dan ekonomi; efektivitas; kesadaran terhadap masing-masing peran; dan menerima konsekuensi dari tindakan yang dilakukan.[18]
 Dampak Instruksional
             Adapun yang menjadi dampak instruksional dari model belajar simulasi ini sebagai berikut:
- Kapasitas pengajaran-diri.
- Pengetahuan kurikulum dan skill-skill.
- Kepercayaan-diri sebagai pembelajar.
Dampak Pengggiring
             Adapun yang menjadi dampak penggiring dari model belajar simulasi ini adalah sebagai berikut:
- Responsif pada umpan balik.
- Kemandirian sebagai pembelajar.
- Sensitif pada hubungan sebab-pengaruh.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Berdasarkan dari Ulasan Isi Chapter dengan Model “Belajar dari Simulasi” (Learning From Simulations)  tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan sebagai berikut:
A.      Model pembelajaran simulasi diterapkan di dalam dunia pendidikan dengan   tujuan mengaktifkan kemampuan yang dianalogikan dengan proses sibernetik. Pendekatan simulasi dirancang agar mendekati kenyataan dimana gerakan yang dianggap kompleks sengaja dikontrol, misalnya, dalam proses simulasi ini dilakukan dengan menggunakan simulator.
B.       Secara garis besar isi Chapter model “Belajar dari Simulasi” (Learning From Simulations) meliputi: Skenario, Orientasi Model; Simulator dan Simulasi; Peran Guru, Model Pengajaran, Penerapan, dan Dampak-dampak Instruksional dan Penggiring dari Model Pembelajaran Simulasi.






DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bruce Joyce & Marsha Weil, Models of Teaching, Fifth Edition, USA: Allyn and
              Bacon A Simon & Scuster Company, 1980
Bruce Joyce, Marsha Weil,  and  Emily Calhoun,   Models  of   Teaching, Eighth
             Edition, USA: Pearson Education, Inc. New, 2009
Desy Anwar, Kamus Lengkap bahasa Indonesia, Amelia, Surabaya, 2003
Echols dan Shadily, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, Pustaka Amani, Jakarta,
             2007
Miftahul Huda,   Model-model Pengajaran dan Pembelajaran,  Pustaka  Pelajar,
            Yogyakarta, 2014
Rusman, Model-model Pembelajaran, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2014
Udin   Syaefudin Sa’ud,   Perencanaan   Pendekatan   Komprehensif,    Remaja
            Rosdakarya, Bandung, 2005
www.tuanguru.com/2012/05/metode-pembelajaran-model-simulasi.html










               [1] Joyce, Bruce & Marsha Weil, Models of Teaching, Fifth Edition, ( USA: Allyn and Bacon A Simon & Scuster Company, 1980: 1 )
                [2] Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amelia, 2003), h. 443
                [3] Echols dan Shadily, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 527
                [4] Udin Syaefudin Sa’ud, Perencanaan Pendidikan Pendekatan Komprehensif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 129
               [5] Bruce Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun, Models of Teaching, Eighth Edition, (USA: Pearson Education, Inc. New, 2009), h. 377

                  [6] Ibid., h. 377-378
                  [7] Bruce Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun, Op. Cit., h. 380
                 [8] Ibid., h. 381
                  [9] Rusman, Model-model Pembelajaran, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014), h.309
                  [10] Bruce Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun, Op. Cit., h. 381-382
                [11] Miftahul Huda, Model-model Pengajaran dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 139
                 [12] Bruce Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun, Loc. Cit.
                 [13] www.tuanguru.com/2012/05/metode-pembelajaran-model-simulasi.html
                 [14] Bruce Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun, Op. Cit., h. 383
                  [15] Ibid., h. 384
                [16] Ibid., h. 388
                [17] Ibid., h. 386
                [18] Bruce Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun, Loc. Cit.
               [19] Bruce Joyce, Marsha Weil, and Emily Calhoun, Models of Teaching, Eighth Edition, (USA: Pearson Education, Inc. New, 2009), h. 377-388
                 [20] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 8
               [21] Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, Op. Cit., h. 3
               [22] H. Muhaimin dkk., Op. Cit., h. 9
               [23] Ibid., h. 79-80
                 [24] E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kemandirian Guru dan kepala Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 4
               [25] E. Mulyasa, Loc. Cit.
               [26] H. E. Mulyasa, Op. Cit., h. 8
                 [27] Kunandar, Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifkasi Guru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 132
                 [28] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), h. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar