KAIDAH RIWAYAT
‘AN’ANAH
MT KLH: QAWAID AL-TAHDIS DOSEN PENGASUH: Dr. HAIRUL HUDAYA, M. Ag
OLEH :
RAUDAH, S. Ag
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Hadits Nabi Muhammad SAW. merupakan
sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia
dan sumber hukum yang pertama. Di lihat dari periwayatannya hadits berbeda
dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an semua
periwayatannya berlangsung secara mutawatir, sedangkan Hadits sebagian
periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung ahad.
Kaidah penelitian hadits sejatinya
telah ada sejak lahirnya hadits itu sendiri sebagaimana yang telah dilakukan
oleh para sahabat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abu
Hurairah, dan ‘Aisyah Radiyallahu ‘Anhum dengan melakukan kebenaran berita
langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Pada kurun berikutnya dimulai pada abad 3
Hijriyah, para ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain
mempertegas kaidah tersebut dalam kerangka yang sistematik
Di
antara ulama Hadits yang berhasil menyusun rumusan kaidah kesahihan Hadits
adalah Abu Amr Ustman Ibn Abd Rahman Ibn Shalah Al-Syahrazuri yang biasa
disebut dengan sebutan Ibn Al-Shalah (577 H). Menurutnya Hadits shahih adalah
Hadits yang bersambung sanadnya kepada Nabi Muhammad SAW., diriwayatkan oleh
perawi yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan
(syadz) dan cacat (ilat).
Mu’asharah dan liqa’ dalam
periwayatan Hadits oleh para ulama hadits dijadikan syarat untuk mengetahui
kualitas sanad suatu hadits, khususnya dalam hadits Mu’an’an. Oleh ahli
hadits kedua persyaratan ini digunakan untuk menentukan bersambung-tidaknya
sanad hadits tersebut kepada Rasulullah SAW. sehingga dapat dikatakan sebagai
hadits yang shahih. Dalam makalah ini penulis hanya akan memfokuskan dalam
pembahasan Kaidah Riwayat ‘An’Anah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Kaidah Riwayat
‘An’anah ?
2.
Bagaimana hukum Sanad yang memakai
kata ‘An ?
3.
Bagaimana contoh hadis Mu’an’an ?
4.
Bagaimana Hadis dan Kesarjanaan
Muslim Modern ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian Kaidah Riwayat
‘An’anah.
2.
Mengetahui hukum Sanad yang memakai
kata ‘An.
3.
Mengetahui contoh hadis Mu’an’an.
4.
Mengetahui Hadis dan Kesarjanaan
Muslim Modern.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kaidah Riwayat ‘An’anah.
Menurut Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, kata “Kaidah” diartikan dengan : “Patokan, dasar,
aturan yang sudah pasti, rumusan yang menjadi hukum, asas yang menjadi hukum”.[1] Dalam bahasa Arab kata قا عد ة / qa’idah (kaidah) diartikan “asas/fondasi “ jika ia
dikaitkan dengan bangunan , dan ia bermakna “tiang” jika
dikaitkan dengan “kemah”.[2]
Dalam pengertian
istilah, kaidah adalah ketentuan umum yang dengannya diketahui
ketentuan-ketentuan menyangkut rincian.[3]
Jadi “Kaidah” merupakan patokan atau
ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam bertindak atau mengambil keputusan.
Riwayat : (1)
cerita yang turun menurun; (2) sejarah ; (3) sumber yang dapat dipercaya dan
dapat dijadikan pegangan, tentu jika riwayatnya terbukti sahih.[4]
‘An’anah adalah
menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafaz ‘an (dari) yang
mengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi
illat suatu sanad hadits apabila digunakan oleh seorang rawi yang mudallis.
Jadi Kaidah Riwayat ‘An’anah merupakan aturan atau ukuran yang
dijadikan pegangan dalam menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafazh ‘an yangmengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar
langsung dari syaikhnya.
Sebenarnya kalau membicarakan tentang ‘An’anah
tentunya tidak bisa dipisahkan dari kalimat Mu’an’an. Adapun difenisi Mu’an’an
sebagai berikut :
(1). Menurut bahasa
(etimologi) : mu’an’an adalah
isim maf’ul dari kata dasar “ ‘an’ana “
dengan arti : “berkata dengan
menggunakan kata “ ‘an, ‘an “ عَنٌ – وَ عَنٌ ) )
(2).
Menurut istilah (terminologi) : mu’an’an adalah ucapan perawi : Si Fulan
berkata dari
Si Fulan.[5]
Jadi hadits Mu’an’an adalah hadits yang diriwayatkan dengan memakai
lafahz ‘an, tanpa menyebut kalimat/kata-kata untuk menceriterakan atau
mengkhabarkan atau saya mendengarkan.
Rawi yang menggunakan lafazh “ ‘an “ dalam
sanadnya, disebut Mu’an-‘in. Sedangkan pekerjaan memakai lafazh “ ‘an “ itu,
dalam bahasa Arab disebut ‘An’anah.[6]
B.
Hukum Sanad
Yang Memakai Kata ‘An
Apabila seorang rawi akan meriwayatkan suatu
hadits dan menyebutkan dari mana sumber hadits itu, biasanya ia mengatakan
beberapa kalimat seperti :
1.
سَمِعْتُ = saya telah
mendengar
2.
حَدَّ ثَنِى / ثَنِّى = dia telah menceriterakan kepadaku
3.
اَ خْبَرَ نَا = dia mengkhabarkan kepada kami
4.
قَا لَ لَنَا = dia berkata kepada kami
5.
Dan lain-lainnya. (Namun dalam
hadits mu’an’an si rawi tidak memakai kalimat-kalimat tersebut di atas, hanya
menggunakan kata ‘an =dari.
Para Ulama berbeda
pendapat tentang hukum sanad yang hanya memakai kata ‘an, sebagai
berikut :
1.
Jumhur Ulama hadits berpendapat
bahwa hadits Mu’an’an dapat dianggap mutashil dengan syarat hadits itu selamat
dari tadlis, dan adanya keyakinan bahwa perawi yang mengatakan ‘an = dari
itu ada kemungkinan bertemu muka, sebagaimana disyaratkan oleh Imam Bukhari dan
Ibnul Madini. Sedang Imam Muslim hanya mensyaratkan bahwa perawi yang
mengatakan : ‘an tersebut hidupnya semasa dengan orang yang memberikan hadits
(adaul hadits), jadi tidak perlu adanya keyakinan bahwa mereka bertemu muka.
2.
Ibnu Shalah berpendapat bahwa
bertemu muka tersebut merupakan keharusan agar hadits Mu’an’an itu menjadi
baik, karena kebanyakan orang mengirsalkan (membuang rawi dalam sanad) itu
adalah orang-orang yang samasa hidupnya dengan orang yang memberitakan itu dan
tidak pernah bertemu muka.[7]
Apakah sebabnya kata ‘an = dari ini
dipersoalkan ? Karena kata-kata ‘an =dari itu mengandung
kemungkinan-kemungkinan yang banyak.Umpamanya : A berkata dari B. demikian.
Hal yang demikian ini, mungkin A menerima berita itu sendiri dari B atau
mungkin A itu sebetulnya tidak menerima berita itu dari B secara langsung
tetapi menerimanya dengan perantaraan orang lain (umpamanya dengan perantaraan
: C). Karena adanya motif-motof tertentu, si C tidak disebutkan (karena
umpamanya dlaif atau tidak kuat hafalannya oleh si A tersebut. Kemungkinan yang
kedua ini biasa dilakukan oleh Mudallis. Karena kegelapan inilah hadits
Mu’an’an dihukumi dhaif.
C.
Contoh Hadits
Mu’an’an
اَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنِ اْلاَعْمَشِ عَنْ اَبى وَائِلٍ عَنِ ابْنِ
مَسْعُوْدٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ ص م يَتَخَوَّلُ اْلمَوْعِظَةُ
فِي اْلاَيَّامِ كَرَاهَةَ السّأَمَةِ عَلَيْنَا (رواه البخري) “Telah
memberitakan kepada kami Sufyan dari Al ‘Amsy, dari Abu Wa-il, dari Ibnu Mas’ud
, ia berkata : Adalah Nabi Saw., selalu memilih waktu yang baik untuk
memberikan pelejaran kepada kami karena beliau takut kami menjadi bosan terhadap
pelajaran-pelajaran itu” (H.R. Bukhari).[8]
Dari sanad tersebut tampak bahwa Sufyan
, Al ‘Amsy dan Abu Wail memakai kata-kata ‘an. Tetapi karena semua
perawi tersebut orang yang dapat dipercaya dan Imam Bukhari sendiri
mensyaratkan bahwa rawi yang satu dengan yang lain harus bertemu muka (Liqa’),
maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits shahih
(اَبُوْ دَاوُد) حَدَّ ثَنَا عبد الله بن محمد النفيلىٌّ ثنّا محمّد
بن سلمة ثنَّا محمّد بن اسحاق عن مكحولٍ عن محمود بن الزَّبيعِ عن عبادة ابن الصَّامت
قال : كُنَّا خَلْفَ رَسُوْلُ اللهِ ص م فِى صَلَاةِ الفَجْرِ فَقَرَأ رَسُوْلُ
اللهِ فَسَقُلَتْ عَلَيْهِ القِرَاَةُ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ لعَلَّكُمْ تَقْرَؤُنَ
خَلْفَ اِمَا مِكُمْ قُلْنَا نَعَمْ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : لاَ تَفْعَلُوْا
اِلَّابِفَا تِحَةِ اْلكِتَابِ فَاِنَّهُ لَا صَلاَ ةَ لَمْ يَقْرَأْبِهَا. (علم الحديث)
“(Abu Dawud
berkata) : Telah menceriterakan kepada kami, Abdullah bin Muhammad An Nufaily,
telah menceriterakan kepada kami, Muhammad bin Salamah,dari Muahammad bin
Ishaq, dari Mak-hul, dari Mahmud bin Rabi’, dari Ubadah bin Shamit, ia berkata
: Kami pernah shalat fajar di belakang Rasulullah Saw, Rasulullah membaca,
tetapi bacaan itu itu menjadi berat atasnya. Tatkala selesai, ia bertanya:
Barangkali kamu membaca di belakang imam kamu ? Kami menjawab : Benar ya
Rasulullah ! Nabi Saw. bersabda pula : janganlah kamu kerjakan (yang demikian
itu), melainkan pembacaan fatihatul kitab, karena sesungguhnya tidak shah bagi
orang yang tidak membacanya” (Lihat Ilmu Hadits 1: 112).[9]
Dalam sanad
tersebut di atas, terdapat Muhammad bin Ishaq dari Mak-hul, dari Muhammad bin
Rabi’. Sedangkan Muhammad bin Ishaq dan Mak-hul adalah termasuk mudallis. Lagi
pula tidak ada keterangan lain yang menegaskan bahwa Muhammad mendengar sendiri
Mak-hul dan Mak-hul mendengar dari Mahmud. Oleh karena itulah hadits
Mu’an’an di atas dianggap dlaif dan
tidak boleh dipakai.
D.
Hadis dan Kesarjanaan
Muslim Modern
1.
Metode
Nashiruddin Al-Albani dalam menentukan Autentisitas Hadis
a.
Hadis yang
Dinyatakan Lemah oleh Nashiruddin Al-Albani
Disini penulis sekilas mengemukakan metode
Nashiruddin Al-Albani dalam menentukan Autentisitas Hadis. Secara umum, dalam melakukan
autentifikasi hadis, Al-Albani sangat setia kepada metodologi sarjana Muslim
tradisional. Namun demikian, metode yang digunakannya dalam menentukan
autentisitas hadis terlalu umum. Untuk mengilustrasikan metode tersebut Dr.
Phil. Kamaruddin Amin, M.A akan menganalisis hadis tentang “sapi”, salah satu hadis yang
dilemahkan Albani. Hadis tersebut telah direkam dalam Shahih Muslim, salah satu
kitab koleksi hadis yang paling bergengsi, Bunyi hadis tersebut adalah : Laa
tadzbahuu illaa musinnatan illaa an ya’sura ’alaikum, fa tadzbahuu jadza’atan
min adh-dha’n (Jangan mnyembelih kurban kecuali seekor sapi yang cukup umur,
kecuali kalau sulit bagimu, maka sembelihlah seekor domba).[10]
Al-Albani,
misalnya, “melemahkan” hadis hanya karena Abu Zubair dianggap telah melakukan tadlis
dalam priwayatannya. Padahal, penilaian Abu Zubair tidak didasarkan pada
penelitian komprehensif terhadap biografi Abu Zuabair, tidak juga pada studi
analisis terhadap riwayat Abu Zubair; melainkan hanya berdasar pada penilaian
para kritikus hadis seperti Abu Hatim, Adz-Dzahabi. Padahal para kritikus hadis
tidak secara bulat menilai negative Abu Zubair. Memang, beberapa di antara
mereka menganggapnya tsiqah. Dengan kata lain, kita tidak dapat menilai
keterpercayaan Abu Zubair hanya berdasarkan pendapat para kritikus hadis. Albani
mengabaikan fakta itu.
Penilaian lemah
dari Albani terhadap hadis tersebut,
yang didasarkan hanya pada penilaian negative atas keterpercayaan Abu Zubair,
memiliki konsekuensi serius pada hadis-hadis lain, yang mungkin tidak
disadarinya. Dalam kasus Abu Zubair, metode Albani mengharuskan kita untuk
mempertanyakan historisitas sedikitnya 125 hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Zubair dalam Shahih Muslim (jumlah tersebut berdasar pada
jalur Abu Zubair – Jabir dalam teks dalam Shahih Muslim). Jumlah tersebut
bertambah apabila dimasukkan riwayat Abu Zubair yang terdapat dalam kitab-kitab
hadis lain. Lagipula, pernyataan Albani atas lemahnya hadis ini, yang
didasarkan pada kenyataan bahwa Abu Zubair menggunakan term “’an”, tidak
mempertimbangkan kemungkinan bahwa Muslim dan para penghimpun hadis yang lain
tidak menganggap terminology yang digunakan oleh para tabiin sebagai kriteria
yang menentukan untuk menetapkan apakah seorang perawi terpercaya atau tidak.
Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa Muslim, misalnya, merekam riwayat
generasi tersebut bukan hanya yang menggunakan term sami’a, tetapi juga
yang menggunakan term “’an”.
Metode
Albani dalam menentukan autentisitas dan kepalsuan sebuah hadis
tertentu, terutama berdasarkan analisis pada Isnad, dengan menggunakan
informasi yang terdapat dalam kamus-kamus biografi. Albani berpendapat
bahwa hadis ini lemah (dha’if) disebabkan oleh fakta bahwa salah seorang
perawinya adalah Abu Zubair . Menurutnya
, riwayat Abu Az- Zubair dari Jabir tidak bersambung (ghair muttashil) dengan
alasan bahwa (1) para kritikus menyifati Abu Az-Zubair sebagai mudallis;
(2) dia tidak mengatakan secara eksplisit apakah mendengar langsung dari Jabir,
namun menggunakan lafal “’an” (atas otoritas dari). Al-Albani menambahkan telah
disepakati dalam ilmu hadis, bahwa hadis yang diriwayatkan oleh perawi mudallis
tidak bisa dijadikan hujah, apabila tidak menyatakan secara eksplisit secara
penerimaan hadisnya.[11]
Al-Albani menyimpulkan bahwa kebenaran setiap hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Zubair dari Jabir atau dari orang lain, yang menggunakan lafal “’an” dan
sejenisnya, harus ditunda. Dengan kata lain, ketergantungan pada hadis tersebut
harus diakhiri hingga cara penerimaannya – dimana Abu Zubair mendengar hadis
tersebut secara langsung – menjadi jelas atau ditemukannya sebuah hadis lain
yang menguatkannya. Akan tetapi, menurut
Al-Albani, riwayat Abu Zubair dari Jabir tidak diragukan apabila diriwayatkan
oleh Al-Laits bin bin Sa’d ( Al-Laits
bin Sa’d dari Abu Az-Zubair dari Jabir), karena Al-Laits mengklaim telah
menerima dari Abu Az-Zubair . Dari 360 hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Az-Zubair dari Jabir dalam Kutub As-Sittah, hanya 27 yang diriwayatkan oleh Al-Laits
bin Sa’d.
Hadis
sebagaimana tersebut di atas menyatakan bahwa tidak diizinkan menyembelih untuk
kurban seekor domba yang berumur satu tahun, kecuali dalam keaadaan seekor sapi
yang cukup umur terlalu mahal atau sulit didapatkan di pasar. Demikian juga
hadis dari Uqbah bin Amir : dhahhainaa ma’a rasuul Allaah shallaa
shallaa Allah ‘alaihi wa sallam bi jadza’in min adh-dha’ni (Kami bersama Nabi
menyembelih kurban seekor domba yang berumur satu tahun).[12]
Menurut Albani, hadis terakhir adalah shahih, karena perawi yang yang terlibat
dalam jaringan isnad-nya yang tsiqah. Namun demikian, Albani
tidak menjadikannya sebagai hadis
penguat bagi hadis Abu Az-Zubair untuk mengangkat kualitasnya menjadi
shahih, melainkan terus mengklaim bahwa hadis Abu Az-Zubair sebagai hadis yang
lemah.
Mengenai hadis
‘Uqbah bin’Amir, Albani berpendapat bahwa hadis tersebut tampak membolehkan
domba yang berumur satu tahun sebagai sembelihan untuk kurban. Akan tetapi,
kebolehan itu diberikan hanya untuk ‘Uqbah. Kebolehan ini berdasarkan atas
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari : Nabi membagi kurbannya
diantara para sahabat dan ‘Uqbah menerima seekor domba (jadza’atun), Saya
(‘Uqbah) berkata :’Wahai Rasul, saya menerima seekor domba (hadza’a), Nabi
berkata: “berkurbanlah dengannya!”[13]
Al-Albani
berpandangan bahwa hadis shahih tersebut tersebut dari Uqbah mengonfirmasikan
kelemahan hadis Abu Az-Zubair. Metode Al-Albani jelas. Ia menganalisa sanad
hadis. Isnad yang tidak tsiqah, berarti tidak tsiqah hadisnya. Akibatnya ,
Al-Albani merasa tidak penting menafsikan sebuah hadis yang memiliki isnad
tidak tsiqah, karena penafsiran adalah
bagian dari autentifikasi. Namun demikian, ia hanya menafsirkan isnad
tsiqah, apabila matanya tidak sesuai dengan matan dari isnad lain yang tsiqah.
b.
Implikasi
Metodologi Nashiruddin Al-Albani
Berdasarkan metode autentifikasi hadis Muslim tradisional, Al-Albani
berpendapat bahwa apabila seorang mudallis berkata : “Saya
mendengar” (sami’tu), maka riwayatnya dianggap bersambung. Tetapi apabila ia
berkata ‘an (dari), riwayatnya harus ditolak atau paling tidak penilaiannya
ditunda sampai muncul penjelasan bahwa ia benar-benar mendenganya langsung dari
informannya. Pertanyaannya adalah, berapa sering Abu Az-Zubair menggunakan kata
“’an”, dan berapa kali ia menggunakan kata “sami’tu” dan kata-kata lainnya yang
menunjukkan hubungan langsung dengan Jabir ? Dari 194 hadis dengan jalur Abu
Az-Zubair – Jabir yang terekam dalam Shahih Muslim, Abu Az-Zubair menggunakan
lafal “sami’a”, dan lafal serupa yang menunjukkan periwayatan langsung sebanyak
69 kali, dan istilah “’an” sebanyak 125 kali.
Dari125 hadis
yang menggunakan kata “’an” yang terekam dalam Shahh Muslim, juga terdapat
dalam Kutub As-Sittah lainnya, seperti At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’I dan
Ibnu Majah. Apa signifikansi fakta bahwa Muslim menerima sepertiga riwayat menggunakan
kata “sami’a”, tetapi juga menerima
sekaligus dua pertiga riwayat menggunakan kata “’an”? Apabila terminology isnad
(“sami’a”, “’an”, dan sebagainya) bukan menjadi penentu bagi Muslim (dalam
kasus Abu Az-Zubair), lantas atas dasar apa dia mendasarkan penilaian shahih
terhadap riwayat Abu Az-Zubair – Jabir ? Dengan kata lain, apakah para
penghimpun hadis benar-benar berdasarkan
pada bukti-bukti isnad ?
Motzki membahas
secara rinci signifikansi terminology periwayatan pada masa awal Islam. Dengan
menganalisis riwayat Ibnu Juraij (W.
150/767 H.) dari ‘Atha’ (W. 114/732 H.), motzki berkesimpulan bahwa terminology
isnad (“sami’a” dan yang serupa, atau “’an” dan sejenisnya) tidak digunakan
secara konsisten pada masa mereka. Tampaknya kesimpulan Motzki tentang riwayat
tersebut juga berlaku pada kasus jalur Abu Az-Zubair – Jabir. Ini berarti Abu
Az-Zubair pun mungkin menggunakan terminology isnad secara tidak
konsisten.
Menurut Dr. Phil.
Kamaruddin Amin, M.A, konsistensi terminlogis yang ditemukan dalam kita-kitab
hadis resmi menunjukkan bahwa secara
factual Imam Muslim telah menerima beberapa hadis dengan “’an”, dan beberapa
lainnya menggunakan lafal sami’a. Dengan kata lain, Muslim dan
penghimpun hadis lainnya yang tidak menciptakan atau merubah kata-kata yang
digunakannya. Karenanya, tidak diragukan bahwa Imam Muslim menganggap Abu
Az-Zubair terpercaya (tsiqah). Kalau demikian, maka Muslim menerima
riwayat Abu Az-Zubair sebagai riwayat terpercaya, tanpa memperhatikan apakah ia
mengklaim telah menerima dari informannya secara langsung atau tidak. Atas
dasar apa Muslim menilai Abu Az-Zubair sebagai perawi terpercaya ? Hal ini
tetap tidak jelas. Fakta bahwa Muslim menerima riwayat Abu Az-Zubair yang
menggunakan “’an” menunjukkan bahwa – bagi Muslim – terminology yang digunakan
oleh generasi pertama (Sahabat dan tabiin) tidak memainkan peran yang penting
dalam menentukan ke-tsiqah-an seorang perawi. Kesimpulan ini menggugat
metode Al-Albani, karena ia menggunakan istilah-istilah itu sebagai kriteria
untuk menentukan dan menilai keabsahan riwayat.
Sementara itu,
Al-Albani tidak memasukkan riwayat Al-Laits bin Sa’d dari Abu Az-Zubair – Jabir
sebagai hadis lemah, karena klaim Al-Laits telah meriwayatkan dari Abu
Az-Zubair dari Jabir. Kesimpulan Al-Albani menyangkut jalur periwayatan ini
hanya didasarkan pada Ibnu Hazm, yang berkesimpulan sama. Sebab, Al-Albani
tidak menganalisis secara mendalam dan komprehensif jalur periwayatan Al-Laits
– Abu Az-Zubair – Jabir.[14]
Dari 360 hadis
yang diriwayatkan Abu Az-Zubair dari Jabir yang terekam dalam berbagai koleksi
hadis resmi, 27 hadis diriwayatkan Al-Laits bin Sa’d dari Abu Az-Zubair. Hanya
satu dari 27 hadis ini Abu Az-Zuabair yang secara eksplisit menyatakan bahwa ia
menerima langsung dari Jabir. Fakta ini menimbulkan masalah besar yang harus
dijawab oleh Al-Albani. Kalau Al-Laits “mendengar” langsung hadis dari Jabir,
sebagaimana diklaim Al-Albani yang mengutip Ibnu Hazm, mengapa Abu Az-Zubair
mengguakan kata “’an” di hampir semua riwayat Al-Laits yang direkam para
penghimpun hadis ? mengapa status Abu Az-Zubair sebagai seorang mudallis
– yang periwayatannya harus ditolak atau ditunda kehujahannya hingga terbukti
bahwa dia mendengar langsung dari informannya – berubah menjadi tidak mudallis
ketika riwayat selanjutnya adalah Al-Laits, meskipun istilah isnad
tidak menunjukkan bahwa Abu Az-Zubair mendengar hadis langsung dari informannya
? Apakah hal ini berarti bahwa kata-kata seperti “sami’a”, “’an” dan lain-lain
tidak harus dipahami sebagai kata yangmenggambarkan model periwayatan,
sebagaimana diklaim para kritikus hadis
? Mangapa Al-Albani menerima tanpa syarat klaim Al-Laits bahwa ia hanya
menerima hadis-hadis dari Abu Az-Zubair yang didengar langsung oleh Abu Zubair dari Jabir ? Menurut Dr.
Phil. Kamaruddin Amin, M.A.,
pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa
Al-Albani juga gagal
memahami riwayat Al-Laits dari Abu Az-Zubair dari Jabir secara menyeluruh, atau
ia sendiri menerapkan ilmu kritik hadis tradisional (‘Ulum al-hadits) secara
tidak konsisten.
2.
Hasan Bin ‘Ali
As-Saqqaf
a.
Perbandingan
Metode As-Saqqaf dan Metode Albani
Hasan As-Saqqaf adalah salah seorang Sarjana Muslim modern, yang
terlibat dalam wacana kesarjanaan hadis modern. Berbeda dengan Albani,
As-Saqqaf memperoleh otoritas (ijazah)
dalam dunia hadis dari salah seorang guru besar hadis, yakni Syaikh ‘Abdullah
Muhammad Al-Ghimari. Yang terakhir ini adalah mantan professor hadis di Universitas
al-Azhar.
Dengan
mengkritik Albani, As-Saqqaf mencoba menunjukkan kontradiksi dan inkonsistensi
dalam karya-karya Albani. Secara metodologis, As-Saqqaf tidak berbeda dari
Albani. Kualitas hadis dalam pandangan mereka ditentukan oleh kualitas isnad.
Demikan pula, kualitas isnad pada dasarnya tergantung
pada komenter para ulama terhadap perawi hadis tersebut. Oleh karena
itu, karena kenyataan bahwa para kritikus hadis memberi penilaian yang mungkin
dan sering berbeda terhadap seorang perawi, baik Albani maupun As-Saqqaf sering
tidak bisa menghimpun dari inkonsistensi dalam penilaiannya.
Menurut
As-Saqqaf dalam bukunya Tanaqudhat , ia mengajukan salah satu
contoh hadis yang dianggap Albani autentik. Hadis tersebut berbunyi :
“…’an Al-Muhaajir bin Qunfudz annahu ataa
an-nabi shalla Allah ‘alaihi wa sallama wa huwa yabuulu, fa sallama ‘alayhi fa
lam yarudda ‘alaihi hattaa tawadhdha’a tsumma i’tadzara ‘alaihi fa qaala innii
karahtu an adzkura Allaah ‘azza wa
jallaa ‘alaa thuhrin”.[15]
As-Saqqaf
membantah Albani yang menganggap hadits tersebut autentik. Berbeda dari Albani,
As-Saqqaf enggan mengautentikan hadis tersebut atas dasar kenyataan bahwa di
antara para perawi hadis tersebut terdapat Qatadah bin Di’amah dan Al-Hasan
Al-Bashri. Kedua perawi tersebut tidak menyatakan dengan jelas cara menerima
hadis tersebut, yakni mereka menggunakan term “’an”, yang menurut kesarjanaan
hadis Muslim, mengimplikasikan hubungan yang tidak langsung. Lagipula, dengan
mendasarkan penilaiannya pada Thabaqaat Al-Mudallisiin karya Ibnu
Hajar, As-Saqqaf menganggap Al-Hasan Al-Bashri dan Qatadah sebagai mudallis,
yang riwayat “’an”-nya harus ditolak. Di satu sisi As-Saqqaf menganggap
kitab-kitab hadis seperti Shahih Bukhari
dan Muslim sebagai himpunan hadis Shahih, tetapi di sisi lain ia menggunakan
metode yang menggiringnya untuk menganggap lemah sebagian hadis yang terdapat dalam kedua kitab shahih
tersebut.
Dalam buku Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani yang berjudul : “Thabaqaat Al-Mudallisiin” ,
digambarkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri sebagai seorang perawi yang tsiqah dan
taat,sangat dalam ilmunya, faqiih dan lain-lain. Namun demikian, pada saat yang
sama, ia dilaporkan telah melakukan tadlis
. Oleh karena itu, berdasarkan laporan tersebut,riwayatnya diterima sebagai
hujah, hanya apabila ia meriwayatkan hadis dari orang yang ia dengar langsung.
Hal yang sama berlaku pada Qatadah yang dianggap tsiqah oleh banyak kritikus
hadis, tetapi dilaporkan telah melakukan tadlis dan irsal oleh kritikus yang
lain.[16]
b.
Apendiks :
Riwayat Al-Hasan Al-Bashri dalam Al-Kutub As-Sittah
Terlepas dari apa yang dikatakan oleh para kritikus hadis tentang
Al-Hasan Al-Bashri, tingkat frekuensi munculnya nama beliau dalam koleksi hadis
sebagai perawi hadis yang sangat besar membuat perawi ini terlalu penting untuk
diabaikan. Memang, sebuah investigasi pada koleksi hadis menunjukkan bahwa
Al-Hasan Al-Bashri adalah seorang perawi hadis Nabi yang sangat penting. Dalam
Al-Kutub As-Sittah, Al-Hasan Al-Bashri meriwayatkan tidak kurang dari 281
hadis. Ia meriwayatkan 193 hadis Nabi
dari 33 Sahabat dan Tabiin, dan 88 hadis yang diriwayatkannya adalah mursalah
dan lain-lain.
Apabila
autetisitas hadis tersebut harus ditolak karena keterlibatan Al-Hasan Al-Bashri
dalam periwayatan (isnad), sebagaimana yang telah dikemukakan oleh As-Saqqaf,
apakah ini berarti bahwa historisitas 281 hadi juga harus ditolak ? Tentu tidak
demikian. Dengan mengikuti metodologi klasik, As-Saqqaf menolak riwayat perawi
yang dituduh mudallis, hanya apabila perawi tersebut tidak menyatakan secara
jelas cara penerimaan hadisnya dari informannya (‘an’ana). Kalau demikian,
pertanyaan berikutnya, berapa kali (dalam 193 hadis) Al-hasan Al-Bashri
menggunakan “’an” dalam riwayatnya?
Dari 281 hadis
Al-Hasan Al-Bashri yang terdapat dalam Kutub As-Sittah, 43 di antaranya
terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, kitab hadis yang mendapat apresiasi
paling tinggi. 31 hadis terdapat dalam Shahih Bukhari dan 12 dalam Shahih
Muslim. Dari 31 hadis yang terdapat dalam Shahh Bukhari, hanya delapan
diantaranya Al-Hasan Al-Bashri dilaporkan menyatakan secara jelas cara
penerimaan hadisnya, dengan menggunakan term haddatsana, yang
“katanya” menyiratkan kontak langsung. Dalam 17 hadis Al-Hasan Al-Bashri
dilporkan tidak mnyatakan dengan jelas cara penerimaan hadisnya ( ‘an’ana ).
Dalam Shahih
Muslim, Al-Hasan Al-Bashri muncul sebagai perawi hadis tidak kurang dari 12
kali. Hanya dalam dua kasus ia dilaporkan menyatakan secara jelas cara
penerimaan hadisnya. Dalam Delapan kasus ia berkata “’an”. Apa artinya fakta
ini ? Dengan menerapkan metodologi As-Saqqaf secara konsisten, autentisitas
dari 17 hadis Al-Hasan Al-Bashri yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan 8 hadis
yang terdapat dalam Shahih Muslim akan menjadi lemah. Ini bertentangan
dengan argument As-Saqqaf bahwa Shahih Bukhari dan Muslim adalah tsiqah.
Jelas,
metodologi As-Saqqaf dalam menilai sebuah hadis membawa kepada konsekuensi yang
tidak disadari olehnya. Metode tersebt tampaknya tidak cukup canggih. Ia
mendasarkan pendapat pada seorang perawi tertentu, dalam hal ini pada Al-Hasan
Al-basrhri, hanya pada Thabaqat Al-Nudallisiin karya Ibnu Hajar. Ia gagal
membandingkannya dengan pendapat sarjana yang lain. Demikian pula, kenyataan
bahwa baik Al-Bukhari maupun Muslim menerima riwayat Al-Hasan Al-Bashri yang menggunakan term “’an” menunjukkan bahwa
bagi mereka (Al-Bukhari dan Muslim) term yang digunakan oleh para tabiin,
seperti Al-Hasan Al-Bashri, bukanlah kriteria yang menentukan ke-tsiqah-an
sebuah riwayat.[17]
Kenyatan ini menyanggah argument As-saqqaf, yang menganggapnya sebagai faktor
yang menentukan. Kasus ini persis sama dengan kasus riwayat Abu Az-Zubair yang
terdapat dalam Shahih muslim, sebagaiaman sama juga berlaku bagi
kasus Qatadah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas
dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Kaidah Riwayat ‘An’anah adalah merupakan aturan atau ukuran
yang dijadikan pegangan dalam menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan
lafazh ‘an yang mengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar dari Syaikhnya.
2.
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum sanad yang hanya
memakai kata ‘an , sebagai brikut :
a.
Jumhur Ulama hadits berpendapat
bahwa hadits Mu’an’an dapat dianggap mutashil dengan syarat hadits itu selamat
dari tadlis, dan adanya keyakinan bahwa perawi yang mengatakan ‘an = dari
itu ada kemungkinan bertemu muka, sebagaimana disyaratkan oleh Imam Bukhari dan
Ibnul Madini. Sedang Imam Muslim hanya mensyaratkan bahwa perawi yang
mengatakan : ‘an tersebut hidupnya semasa dengan orang yang memberikan hadits
(adaul hadits), jadi tidak perlu adanya keyakinan bahwa mereka bertemu muka.
b.
Ibnu Shalah berpendapat bahwa
bertemu muka tersebut merupakan keharusan agar hadits Mu’an’an itu menjadi
baik, karena kebanyakan orang mengirsalkan (membuang rawi dalam sanad) itu
adalah orang-orang yang samasa hidupnya dengan orang yang memberitakan itu dan
tidak pernah bertemu muka.
3.
Contoh hadits Mu’an’an dapat dilihat pada hadits yang
diriwayatkan Bukhari sebagaimana tersebut sebelumnya.
4.
Secara metodologis, As-Saqqaf tidak berbeda dari Al-Albani.
Kualitas hadis dalam pandangan mereka ditentukan oleh kualitas isnad.
DAFTAR PUSTAKA
A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits,
(Bandung: Diponegoro, 1983), cet ke- 1,
hal. 117
Ibnuumarbgr.wordpress.com/artikel/musthalahulhadis
Kamaruddin
Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta:
Hikmah, 2009), cet ke-1, hal. 73
M.
Mizan Asrori, Mustholah Hadits, (Surabaya: Al-Ihsan, 1989), hal. 80
Moh.
Anwar, Ilmu Mushthalah Hadis, (Surabaya: Al Ikhlas, 1981), hal. 175
M.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), cet
ke-2, hal. 6
Windy
Novia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kashiko), hal. 247
Tidak ada komentar:
Posting Komentar