BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses
pendidikan sejak dini, baik
secara formal, informal, maupun non-formal, menjadi tumpuan untuk melahirkan
manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat. Adapun karakter kuat ini
dicirikan oleh kapasitas moral sese-orang, seperti kejujuran, kekhasan kualitas
seseorang yang membedakan dirinya dari orang lain serta ketegaran untuk
menghadapi kesulitan, ketidak enakan, dan kegawatan.[1]
Karakter bangsa yang kuat bisa bisa
diperoleh dari sistem pendidikan yang baik dan tidak hanya mementingkan faktor
kecerdasan intelektual semata, melainkan juga pendidikan yang dilandasi dengan
keimanan dan ketakwaan. Untuk mewujudkan hal itu, maka diperlukan pendidikan
yang mencakup dua unsur utama, yaitu keunggulan akademik dan non akademik
(termasuk keunggulan spiritual).
Sekolah formal (sekolah/madrasah)
lembaga pendidikan yang berfokus
pada faktor kecerdasan akademik meskipun tidak lantas mengabaikan hal-hal
yang ber-sifat spiritual atau keagamaan. Hanya saja, sistem pendidikan di
sekolah formal memang menekankan pencapaian prestasi anak didik dalam hal
kecerdasan inte-lektual yang pada akhirnya bermuara pada berbagai ukuran
akademik.
Sementara itu, pondok pesantren
menjadi salah satu pilihan lembaga pendi-dikan yang mengutamakan upaya
pencerdasan spiritual. Pada perkembangannya
pesantren menjadi salah satu sistem pendidikan yang mendapatkan perhatian, baik
dari masyarakat umum maupun dari pemerintah. Konsep asrama dan belajar sepanjang
waktu yang dikembangkan di pesantren diadopsi oleh lembaga-lembaga pendidikan
sekolah/madrasah di Indonesia. Selanjutnya penulis mencoba membahas Model-Model
Pembelajaran dalam Pendidikan Islam ( Pesantren
).
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaiaman
Sejarah Kemunculan Pesantren ?
2.
Bagaiaman
Relasi Kyai dan Santri di Pesantren ?
3.
Bagaimana
Model Pembelajaran dalam Pendidikan Islam (Pesantren) ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
Sejarah Kemunculan Pesantren.
2.
Mengetahui
Relasi Kyai dan Santri di Pesantren.
3.
Mengetahui
Model Pembelajaran dalam Pendidikan Islam (Pesantren).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Kemunculan Pesantren
Pesantren merupakan lembaga
pendidikan dan pengajaran Islam dimana di dalamnya terjadi interaksi antara
kyai atau ustadz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil
tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama pondok untuk mengaji dan
membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu.
Di Indonesia, pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang telah dikenal sejak zaman kolonial. Usia pesantren
sudah sangat tua dan tidak pernah lekang diterpa perubahan zaman. Semakin lama
semakin modern dan jumlahnya pun semakin banyak.[2]
Jauh sebelum masa kemerdekaan:
pesantren telah menjadi sistem pendidikan nusantara, hampir di seluruh pelosok
nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun
menggunakan nama yang berbeda-beda seperti meunasah di Aceh, Surau
di Minangkabau dan pesantren di jawa. Namun demikian, secara historis awal
kemunculan dan asal usul semua itu masih kabur.
Banyak penulis sejarah pesantren
berpendapat bahwa institusi ini merupakan hasil adopsi dari model perguruan
yang di selenggarakan orang-orang hindu dan Budha Sebagaimana diketahui.
Sewaktu Islam datang dan berkembang di pulau jawa telah dan lembaga perguruan
hindu dan budha yang menggunakan sistem biara dan asrama sebagai tempat para
pendeta dan bhiksu melakukan kegiatan pembelajaran kepada para pengikutnya. Bentuk pembelajaran seperti ini
kemudian menjadi contoh sebagai pembelajaran para wali dalam melakukan kegiatan
penyiaran dan pengajaran Islam. Kepada masyarakat luas, dengan mengambil bentuk
sistem biara dan asrama dengan mengubah isinya dengan pengajaran agama Islam
yang kemudian di kenal sebagai pondok pesantren. Sejalan dengan ini pesantren
lahir semenjak masa awal kedatangan Islam di jawa, masa Wali Songo. Di duga
kuat bahwa pesantren pertama kali didirikan di desa Gapura Gresik Jawa Timur
dan di hubungkan dengan usaha Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Ampel). Jadi
perintis pertama berdirinya pesantren di Jawa adalah Syekh Maulana Malik
Ibrahim. Ia adalah ulama yang berasal dari Gujarat, India.
Istilah pesantren itu sendiri seperti halnya mengaji bukanlah
berasal dari istilah bahasa Arab, melainkan Dari India. Demikian juga istilah
pondok langgar, surau di Minaangkabau dan Rangkang di Aceh. Pada
awalnya jamaah hanya terdiri dari beberapa orang saja. Selesai shalat berjamaah
sang kyai biasanya memberikan ceramah pengajian sederhan. Isinya pengajian
biasanya berkisar pada rukun iman, rukun Islam serta akhlaq lebih banyak
menyangkut kehidupan sehari-hari berkat caranya yang menarik dan ke ikhlasannya
yang tinggi serta prilakunya yang shaleh, lama kelamaan jamaahnya bertambah
banyak.
Dalam sejarah perkembangannya, fungsi pondok
pesantren adalah mencetak ulama dan ahli agama, hingga dewasa ini fungsi pokok
itu tetap terpelihara dan di pertahankan. Namun seiring dengan perkembangan
zaman, seiring dengan kegiatan dan pengajaran agama beberapa pesantren telah
melakukan pembaharuan dengan mengembangkan komponen-komponen pendidikan
lainnya. Seperti ditambahkannya system sekolah. Adanya pendidikan kesenian,
pendidikan bahasa asing ( Arab dan Inggris), pendidikan jasmani serta
pendidikan keterampilan.[3]
B.
Relasi
Kyai dan Santri di Pesantren
”Sesungguhnya guru dan dokter
tidak akan berguna nasehatnya bila tidak dihormati. Bersabarlah dengan
penyakitmu bila kamu menentang dokter. Dan bersabarlah kamu dengan kebodohanmu
bila kamu menentang guru.”[4] (Ta’lim Al-Muta’alim)
Syair
dalam kitab Ta’lim Al-Muta’alim ini, menjadi mantra wajib yang harus
diajarkan kepada santri pemula di setiap pesantren. Bahkan, syair tersebut
menjadi prasyarat bagi murid yang ingin sukses dalam menyerap kekayaan ilmu
pengetahuan di pesantren. Suasana di pesantren, begitu kental dengan nuansa
pembelajaran. Di dalamnya terdapat orang yang selalu ingin belajar,
mengembangkan intelektual, pengetahuan keagamaan, dan terdapat banyak orang
yang sedang menata moral dan memperbaiki aqidah.
Sebagai suatu tempat untuk
meresapkan jiwa keislaman, pesantren tak hanya dihormati sebagai tempat
belajar, tetapi lebih ditekankan sebagai tempat tinggal yang seluruhnya
dipenuhi dan diresapi dengan nilai-nilai agama. Tidak ada tempat lain di mana
sholat didirikan dengan taat seperti disana. Siang hari, lantunan ayat-ayat
AlQuran menggema di dalam dan sekitar pesantren, memperbaiki bacaan dengan tajwid
yang benar, atau hanya untuk mengharapkan pahala dari membaca Al-Qur’an.
Malam harinya, dijumpai orang membaca kalam Ilahi, dan mendirikan sholat
dikeheningan malam.
Suasana Pesantren yang dipenuhi oleh rasa
keingintahuan santri, dalam membuka tabir nilai keilmuan maupun spiritual,
menjadi ciri khasnya untuk membedakan dengan lembaga-lembaga pendidikan formal.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisioanal, memiliki ciri
penting yang kiranya selalu melekat dan menyatu menjadi identitasnya, yaitu
Santri, Kyai, Masjid, Pondok, dan Kitab Klasik (Kitab Kuning). Hubungan kelima
unsur tersebut sangat erat. Lebih-lebih hubungan antara Kyai dan Santri, yang
menggambarkan hubungan “guru murid”, sangat khas dalam dunia kehidupan
Pesantren.
Asal muasal istilah pesantren
berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para
santri. Namun istilah yang lebih ngetrend di kalangan masyarakat
tradisionalis adalah nama pondok. Istilah pondok sendiri terlahir dari
pengertian asrama atau tempat tinggal para santri yang terbuat dari bambu, atau
barangkali berasal dari bahasa Arab fundug yang berarti hotel atau
asrama. Pondok ini merupakan tempat tinggal para santri dalam rangka menuntut
pelajaran dan pendidikan keagamaan Islam di bawah asuhan para kyai atau ulama.
Pondok, asrama bagi para santri,
merupakan ciri khas tradisi Pesantren. Ada tiga alasan utama kenapa
Pesantren harus menyediakan asrama bagi
para santri. Pertama, kemasyhuran sorang kyai dan kemampuan intelektualnya yang
mendalam tentang Islam, menarik santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali
ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri
tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di sekitar kediaman
kyai. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa, di mana tidak tersedia
perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung santrisantri; dengan demikian
perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal
balik antara santri dan kyai, dimana santri menganggap kyai sebagai bapaknya
sendiri dan kyai mengganggap santri sebagai anak atau titipan Tuhan yang harus
senantiasa dilindungi, baik fisik maupun moralnya.[5]
Ketulusan untuk belajar merupakan
salah satu bentuk dari cinta yang ditunjukkan santri pada kyainya. Cinta
antara santri dan kyai merupakan ikatan batin yang hanya bisa dirasakan.
Relasi antara santri dan kyai adalah salah satu bentuk dari cinta. Tak mungkin
ada orang betah belajar bertahun-tahun di lingkungan pesantren, menghadapi
rutinitas yang sama, orang-orang yang relative sama, guru yang sama kalau tak
didasari spirit cinta.
Unsur lain yang cukup berpengaruh
dalam perkembangan pendidikan Pesantren adalah kyai, yang keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh para santri. Kharismatiknya membuat para santri penuh hormat
dan meminta barokah dari sang kyai atau tabarruk. Kepemimpinan
Kyai di pondok Pesantren biasanya menentukan popularitas pondok Pesantren itu
sendiri.[6]
Menurut asal usulnya, perkataan
kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama,
sebagai gelar terhadap barang-barang yang dianggap keramat; seperti “Kyai
Slamet” dipakai untuk sebutan Kerbau Bule yang ada di Keraton Surakarta. Kedua,
dipakai untuk gelar orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan
masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan
Pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.
Relasi antara kyai dan santri dalam
tradisi Pesantren, tak hanya terjadi di dalam forum belajar saja. Namun, tokoh
guru dalam tradisi pesantren (kyai), juga membuka kesempatan belajar di luar
forum (berdasarkan realitas). Seringkali mereka menggunakan masjid sebagai
ruang yang cukup representative selain untuk sembahyang, Masjid juga dijadikan
sebagai ruang utama untuk ngaji. Masjid merupakan elmen yang tak bisa
dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk
mendidik para santri.
Kedudukan masjid sebagai ruang
dialekta antara santri dan kyai dalam tradisi Pesantren merupakan manifestasi
universal dari sistem pendidikan Islam tradisional. Seorang kyai yang ingin
mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di
dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah
menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren. Kurikulum yang
diajarkan pada kebanyakan pesantren di Jawa, masih menggunakan acuan-acuan
kitab klasik (kitab kuning) yang memakai bahasa Arab. Keseluruhan kitab klasik
yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam delapan kelompok: a.
nahwu dan shorof ; b. fiqih; c. usul
fiqih; d. hadist; e. tafsir; f. tauhid; g. tasawuf dan etika, dan masih ada
delapan cabang-cabang ilmu lain seperti balaghah dan tarikh.[7]
Dalam tradisi Pesantren, perasaan
hormat dan kepatuhan murid kepada gurunya adalah mutlak dan tak boleh putus,
artinya berlaku seumur hidup sang murid. Di samping itu rasa hormatnya yang
mutlak itu harus ditunjukkan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik dalam
kehidupan keagamaan, kemasyarakatan maupun pribadi. Melupakan ikatan dengan
guru dianggap sebagai suatu aib yang besar, disamping akan menghilangkan
barakah guru. Akibat selanjutnya dari kehilangan barakah guru ialah pengetahuan
si murid tidak akan bermanfaat. Bagi seorang santri adalah “tabu” mengatakan
bahwa ia “bekas” murid dari seorang kyai tertentu, sebab sekali ia menjadi
murid kyai tersebut, seumur hidupnya akan menjadi muridnya. Bahkan, bilamana
guru tersebut telah meninggal, si murid harus masih menunjukkan hormatnya
dengan tidak melupakan kontak dengan Pesantren sang guru.
Hubungan antara santri dan kyai
pada umumnya merupakan hubungan ketaatan yang tanpa batas, demikian pula kepada
“guru bantu.” Tetapi hubungan antar santri tidak tergantung dan dibatasi tinggi
rendahnya status orang tua santri. Bagi mereka, status sebagai seorang pelajar,
adalah sama, tidak melihat seberapa besar kekayaan yang dimiliki. Namun,
kemampuan intelektual santri, lebih menentukan derajatnya dalam kehidupan
sehari-hari di pesantren. Kehidupan di pesantren hampir seluruhnya diatur oleh
santri sendiri. Kyai tidak terlibat langsung dalam kehidupan para santri.
Para murid harus menunjukkan
hormat dan kepatuhan mutlak kepada gurunya, bukan sebagai manifestasi
penyerahan total kepada guru yang dianggap mempunyai otoritas, tetapi karena
keyakinan murid kepada kedudukan guru sebagai penyalur kemurahan Tuhan yang
dilimpahkan kepada murid-muridnya, baik di dunia maupun di akherat.
Perilaku guru, menjadi salah satu
hal yang berpengaruh dalam proses belajar si murid. Sekali guru melakukan
perbuatan maksiat, maka guru tersebut tidak lagi dianggap sebagai penyalur
barakah dan kemurahan Tuhan. Hormat dan kepatuhan absolut kepada seorang guru
didasari kepercayaan bahwa guru tersebut memiliki kesucian karena memegang
kunci penyalur pengetahuan dari Tuhan. Bila ada seorang guru yang melanggar
peraturan dalam agama, maka tingkat kesucian itu akan hilang. Oleh karena itu,
menurut ajaran Islam, kewajiban seorang murid untuk patuh secara mutlak kepada
gurunya harus kita mengerti dalam hubungannya dengan kesalehan guru kepada
Tuhan, ketulusannya, kerendahan hatinya, dan kecintaannya mengajar
murid-muridnya.
Kepercayaan murid pada guru, didasarkan
pada keyakinan bahwa gurunya adalah seorang alim yang terpilih. Selain itu,
para guru mencurahkan waktu dan tenaganya mengajar murid-muridnya karena sang
guru merasa bertanggungjawab di depan Tuhan untuk menyalurkan ilmu yang
dimilikinya kepada si murid. Kesalingtergantungan antara guru dan murid,
kesaling-pengertian mereka, ketulusan bersama, kesabaran, kecintaan antara guru
dan murid, semuanya merupakan faktor penjamin kelangsungan hidup di Pesantren.[8]
C.
Model
Pembelajaran Dalam Pendidikan Islam (Pesantren)
1.
Pengertian
Model Pembelajaran
Kata
”model” oleh Kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan ”pola (contoh, acuan,
ragam dsb) dr sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.[9]
Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman
dalam melakukan suatu kegiatan.
Pembelajaran dapat dikatakan
sebagai hasil dari memori, kognisi, dan metakognisi yang berpengaruh terhadap
pemahaman. Hal inilah yang terjadi ketika seseorang sedang belajar, dan kondisi
ini juga sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, karena belajar merupakan proses alamiah setiap orang.[10]
Model Pembelajaran Menurut Joyce &
Weil yang dikutif Dr. Rusman, M. Pd bahwa
model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk
membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang
bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.[11]
Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru dapat
memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan
pembelajarannya.
Jadi Model Pembelajaran adalah suatu
kerangka konseptual yang menggam-
barkan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran
tertentu. Dengan
kata lain bahwa model pembelajaran merupakan sebuah acuan atau pedoman atau pola bagi para perancang pembelajaran dalam
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran. Sehingga dengan demikian kegiatan/proses
pembelajaran yang dilakukan baik di sekolah maupun di luar sekolah, benar-benar
merupakan suatu kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.
2.
Model Pembelajaran di Pesantren
Para ahli pendidikan, mengklasifikasi
jenis pesantren kedalam dua tipologi;
yakni pesantren modern, yang sudah banyak mengadopsi sistem pendidikan
sekolah modern Barat dan pesantren Salaf, yang berorientasi pada
pelestarian tradisi dengan sistem pendidikan tradisional.[12]
Berkaitan hal tersebut, disini akan
dikemukakan Model Pembelajaran
Pesantrean Salaf saja. Pada umumnya pembelajaran di Pesantren mengikuti pola tradisional, yaitu dengan
menggunakan model pembelajaran sorogan dan bandongan.[13]
a. Model Pembelajaran
Sorogan
1. Pengertian
Model sorogan adalah pembelajaran sistem
privat yang dilakukan santri kepada seorang kyai.[14] Model
yang santrinya cukup pandai mensorogkan
(mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan
dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kyai . Model ini dapat dikatakan
sebagai proses belajar mengajar individual.[15]
Model sorogan ini sebagai model pembelajaran yang sangat penting untuk para
santri, terutama santri yang bercita-cita menjadi kyai. Karena dengan model
sorogan, santri akan memperoleh ilmu yang meyakinkan dan lebih berfokus kepada
persyaratan utama menjadi kyai, yakni memahami ilmu alat dalam ilmu-ilmu yang
paling prinsipil di Pondok Pesantren.[16]
Berdasarkan dari bebarapa batasan tersebut di atas, maka dapatlah dipahami
bahwa model pembelajaran sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi
para santri yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perseorangan
(individu), dibawah bimbingan seorang ustadz atau kyai.
Model sorogan merupakan sebuah sistem belajar dimana para santri maju satu
persatu untuk membaca dan menerjemahkan kata demi kata kedalam bahasa tertentu
serta menguraikan isi kitab di hadapan kyai
atau ustadz.
2. Tujuan
Pembelajaran
Adapun
yang menjadi tujuan model pembelajaran sorogan ini diantaranya sebagai berikut:
a.
Santri
dapat memahami/ menguasai tentang pengetahuan tata bahasa Arab dengan
baik dan benar, sehingga santri dapat
menerapkan bahasa kitab tersebut menjadi bahasa kesehariannya;
b.
Santri mampu
membaca, menerjemahkan, menjelaskan isi kitab dengan baik dan benar atau santri
menguasai isi kitab yang dipelajari
dengan baik dan benar, sehingga santri dapat menerapkan inti sari hikmah isi
kitab tersebut dalam kehidupan keseharian.
Melalui model Sorogan, perkembangan intelektual santri dapat ditangkap
dan dipahami oleh kyai secara utuh. Kyai dapat memberikan bimbingan penuh
kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri atas dasar observasi langsung terhadap
tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka.
Model sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai langkah awal bagi
seorang santri yang bercita-cita menjadi orang berilmu. Sistem ini memungkinkan
seorang
guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri
dalam menguasai bahasa Arab.[17]
Dalam hal
ini, kyai lebih paham masa depan santrinya, mereka berusaha mencetak kader
Ulama yang memahami seluruh bidang ilmu pengetahuan Agama, pengetahuan Agama
itu berada pada kitab-kitab kuning yang diajarkan di Pesantren.
3. Teknik Pembelajaran
Pengajian dengan sistem sorogan ini biasanya diselenggarakan
pada ruang tertentu di mana di situ tersedia tempat duduk seorang kyai atau
ustazd, kemudian di depannya terdapat bangku pendek unik meletakan kitab bagi
santri yang menghadap. Pelaksanaannya dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Santri berkumpul ditempat pengajian
sesuai dengan waktu yang ditentukan dengan masing-masing membawa kitab yang
hendak dikaji.
b. Seorang santri yang mendapatkan
giliran menghadap langsung secara tatap muka kepada gurunya. Ia membuka bagian
yang akan dikaji dan meletakannya
di atas meja yang telah tersedia
di depan kyai atau ustadz.
c. Kyai atau ustadz membacakan teks
dalam kitab itu, baik sambil melihat maupun secara hafalan dan kemudian
memberikan artinya dengan mengguna-
kan bahasa melayu atau bahasa daerahnya.
d. Santri dengan tekun mendengarkan apa
yang dibacakan kyai atau ustadz dan mencocokannya dengan kitab yang dibawanya.
e. Santri kemudian menirukan kembali
apa yang dibacakan kyai atau ustadz secara sama.
f. Kyai atau ustadz mendengarkan dengan
tekun pula apa yang dibaca santrinya sambil melakukan koreksi-koreksi
seperlunya.
Model pembelajaran ini termasuk
model pembelajaran yang sangat bermakna, karena berlangsungnya proses belajar
mengajar secara face to face atara santri dan kyai, sehingga santri akan
merasakan hubungan khusus ketika berlangsung kegiatan pembacaan kitab oleh
dirinya dihadapan kyai atau ustadznya. Kemudian kedekatan personal kyai dan santri
tersebut dilengkapi dengan hubungan spiritual yang saling mendukung, yang
dilakukan dengan cara saling mendo’akan.[18]
4.Tahap Persiapan
Ada beberapa hal yang dipersiapkan
sebelumnya oleh kyai/ustadz maupun
santri, yaitu:
a. Penyusunan kurikulum yang berisi
jenis materi (Tafsir, Fiqh, dan sebagainya. Pada setiap tingkatan dengan
berbagai macam nama-nama kitab yang menjadi pegangannya.
b. Pendataan nama-nama santri yang berada
di bawah bimbingan seorang ustadz. Hal ini dilakukan untuk mendata tingkat
aktivitas dan perkembangan kemampuan santri untuk waktu berikutnya.
c. Santri menyiapkan kitab yang akan
dipelajarinya beserta alat-alat tulis seperti pulpen dan buku tulis yang
berfungsi untuk mencatat hal-hal penting.
5. Tahapan Pelaksanaan
Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
a. Menciptakan situasi dan kondisi yang
komunikatif antara santri dan guru dalam kegiatan pembelajaran.
b. Dalam membaca dan menerjemahkan teks
Arab gundul seorang ustadz menyampaikannya secara perlahan dan menggunakan
bahasa yang mudah untuk difahami oleh santrinya.
c. Setelah membacakan dan menerjemahkan
satu alinea atau satu topic tertentu sesuai keinginan dan pertimbangan ustadz,
santri disuruh membaca dan menerjemahkan teks yang telah dibaca tadi dengan
pembetulan apabila ada kekeliruan dalam pembacaan dan penerjemahannya.
d. Setelah membaca dan menerjemahkan
dengan benar, seorang ustadz biasanya menanyakan atau meminta kepada santri
tadi untuk menjelaskan maksud dari yang telah dibaca, ini dilakukan untuk
melatih daya tangkap (pemahaman) santri terhadap teks.
e. Setelah santri menjelaskan, ustadz
mengulas apa yang telah dijelaskan oleh santri tadi serta menambahkan atau
membetulkan apabila penyampaian santri ada hal-hal yang kurang atau keliru.
Model pembelajaran sorogan dipergunakan
untuk pembelajaran kepada santri khusus yang memiliki kemampuan untuk dididik
menjadi ustadz, kegiatannya dilakukan melalui:
a. Santri diminta untuk membaca teks
kitab yang dipilihnya dengan mengurangi penggunaan harakat/syakal.
b. Kepada para santri
diminta juga untuk tidak memberi catatan pada teks
kitab yang dibacanya dengan symbol-simbol
(tanda-tanda).
c. Kepada santri diminta untuk
menjelaskan isi teks dengan menggunakan bahasa Arab yang benar.
6.
Evaluasi
Evaluasi adalah cara penilaian yang
dilakukan oleh seorang ustadz untuk mengetahui kemampuan santri dalam aspek
pengetahuan, sikap, dan keterampilan (skill) terhadap materi pembelajaran yang
telah diberikannya.
Untuk mengevaluasi kemampuan para santri dalam
pembelajaran dengan menggunakan model sorogan
biasanya dilakukan kegiatan sebagai berikut:
a.
Santri disuruh membaca dan menerjemahkan teks yang telah
disampaikan oleh ustadz, pada pertemuan yang lalu. Jika seorang santri berhasil
membaca dan menerjemahkan dengan baik, maka pelajaran yang baru dapat
diberikan. Akan tetapi jika sebaliknya maka santri tadi diharuskan untuk
mempelajari kembali (mengulang).
b.
Jika materi pembelajaran yang dipelajari dalam tatap muka
yang telah dianggap dikuasai dengan baik oleh santri tersebut kegiatan
pembelajaran dapat dimulai dengan materi baru tanpa terlebih dahulu meminta
santri untuk membaca dan menerjemahkan teks yang dipelajari dalam pertemuan
yang lalu.
c.
Penilaian dapat juga dilakukan pada saat seorang santri
disuruh untuk membaca dan menerjemahkan teks Arab gundul setelah dibacakan dan
diterjemahkan oleh santri.
Hal-hal yang biasanya diperhatikan dalam
menilai tingkat kemampuan
para santri
dengan menggunakan model pembelajaran sorogan adalah sebagai
berikut:
a. Pembacaan yang dilakukan oleh
seorang santri apakah sudah benar dalam arti sesuai dengan aturan dalam tata
bahasa yang baik pada tingkatan kata (sharaf) maupun pada tingkatan kedudukan
suatu kata struktur kalimat (nahwu) atau masih belum sesuai.
b. Santri mampu menunjukkan kedudukan
suatu kata dengan menggunakan ucapan simbolik tertentu melalui pola terjemahan
kata demi kata disertai pelapalan symbol atau tanda oleh santri.
c. Pemahaman terhadap teks yang dibaca
dalam bentuk uraian penjelasan atau kandungan teks setelah seorang santri
menyelesaikan pembacaan sekian kalimat atau sekian paragrap.
7.
Dampak Model Pembelajaran Sorogan
Sebelum membicarakan tentang dampak
model pembelajaran sorogan, terlebih dahulu penulis kemukakan kelebihan dan
kelemahannya.
Adapun kelebihan model
pembelajaran sorogan adalah sebagai berikut:
a. Terjadi hubungan yang erat dan
harmonis antara guru dan murid.
b. Memungkinkan bagi seorang guru untuk
mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid
dalam menguasai bahasa Arab.
c. Murid mendapatkan penjelasan yang pasti tanpa
harus mereka-reka tentang interpretasi suatu kitab karena berhadapan dengan
guru secara langsung yang memungkinkan terjadinya tanya jawab.
d. Guru
dapat mengetahui secara pasti kualitas yang telah dicapai muridnya.
e. Santri yang IQ-nya tinggi akan cepat
menyelesaikan pelajaran (kitab),
sedangkan yang IQ-nya rendah ia membutuhkan waktu yang cukup lama.
Sedangkan kelemahan model pembelajaran
sorogan adalah sebagai berikut:
a. Tidak efesien karena hanya
menghadapi beberapa murid (tidak lebih dari 5 orang), sehingga kalau menghadapi
murid yang banyak model ini kurang tepat.
b. Membuat murid cepat bosan karena
model ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi.
c. Murid hanya menangkap kesan
verbalisme semata terutama mereka yang tidak mengerti terjemahan dari bahasa
tertentu.[19]
Adapun dampak model
pembelajaran sorogan ini bagi santri ada dua, sebagai berikut:
a.
Dampak secara langsung bagi santri, diantaranya adalah
santri mampu membaca kitab dan menerjemahkannya dengan benar sesuai dengan ilmu
nahwu dan sharafnya. Dengan kata lain seorang santri memahami ilmu alat dalam
ilmu-ilmu yang paling prinsipil di Pndok Pesantren; Sorang santri juga lebih
mempunyai kedekatan hati secara khusus dengan seorang kyai atau ustadz,
sehingga ilmu yang didapat, Insya Allah berkah.
b.
Dampak penggiring bagi santri adalah melatih kesabaran,
kerajinan, ketekunan, ketaatan, dan kedisiplinan pribadi dari siswa.
b. Model
Pembelajaran Bandongan
1.
Pengertian
Model pembelajaran bandongan
disebut juga dengan model wetonan. Model wetonan (bandongan) ialah suatu model
pengajaran dengan cara guru membaca,
menterjemahkan, menerangkan dan menulis buku-buku Islam dalam bahasa Arab
sedang sekelompok santri mendengarkan , mereka memperhatikan bukunya sendiri
dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata
atau buah pikiran yang sulit.[20]
Termasuk dalam kelompok bandongan atau weton adalah halaqah, yaitu model
pengajian yang umumnya dilakukan dengan cara mengitari gurunya. Para santri
duduk melingkar untuk mempelajari atau mendiskusikan suatu masalah tertentu
dibawah bimbingan seorang guru.[21] Kelompok
kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya lingkaran
murid atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang guru.[22]
Berdasarkan dari batasan tentang
pengertian model pembelajaran bandongan tersebut di atas, maka dapatlah
dipahami bahwa model pembelajaran bandongan merupakan kegiatan pembelajaran
yang lebih bersifat pengajaran klasikal. Model ini dilakukan oleh seorang kyai
atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk mendengarkan
dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Setelah kyai selesai
membahas isi kitab, santri diperkenankan mengajukan pertanyaan atau
pendapatnya.
2.
Tujuan Pembelajaran
Adapun yang menjadi tujuan dari
model pembelajaran bandongan ini diantaranya adalah santri menguasai materi isi
kitab-kitab dalam bahasa Arab yang
disampaikan kyai dan dapat mengambil
hikmah intisarinya serta dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Teknik Pembelajaran
Sebelum
dilakukan pembelajaran dengann menggunakan model bandongan, seorang kyai atau
ustadz biasanya mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. Jumlah jama’ah pengajian adalah para
santri yang telah menguasai dengan
baik pembelajaran dengan menggunakan
model sorogan. Oleh karena itu, model bandongan biasanya diselenggarakan untuk
para santri yang bukan lagi pemula, melainkan untuk tingkat lanjutan dan
tinggi.
b. Penentuan jenis dan tingkatan kitab
yang dipelajari biasanya memperhatikan tingkatan kemampuan para santri.
c. Walaupun yang lebih aktif dalam
pembelajaran ini adalah kyai atau ustadz, tetapi para santri dilibatkan
keaktifannya dengan berbagai macam cara, misalnya diadakan Tanya jawab, santri
diminta untuk membaca teks tertentu.
d. Untuk membantu pemahaman para
santri, seorang kyai atau ustadz terkadang mempergunakan pula alat bantu atau
media pengajaran seperti papan tulis, kapur tulis, peta dan alat peraga
lainnya.
Model bandungan (bandongan atau
wetonan) dibangun di atas filosofis, bahwa 1) pendidikan yang dilakukan secara
berjamaah akan mendapatkan pahala dan berkah lebih banyak dibandingkan secara
individual, 2) pendidikan pesantren merupakan upaya menyerap ilmu dan barokah
sebanyak-banyaknya, sedangkan budaya "pasif" (diam dan mendengar)
adalah sistem yang efektif dan kondusif untuk memperolah pengetahuan tersebut.
3) pertanyaan, penambahan, dan kritik dari sang murid pada kyai merupakan hal
yang tidak biasa atau tabu, agar tidak dianggap sebagai tindakan su'
al-adab (berakhlak yang tidak baik).[23]
4.
Tahap Persiapan
Sebelum dilakukan kegiatan
pembelajaran, biasanya terlebih dahulu seorang kyai atau ustadz mempersiapkan
apa-apa yang diperlukan sesuai dengan pemilihan model pembelajaran ini, yaitu:
a. Memilki gambaran mengenai tingkat
kemampuan para santri guna menyesuaikan dengan bahasa dan penjelasan yang akan
disampaikan.
b. Merumuskan tujuan yang akan dicapai
dari pemilihan kitab tersebut dan tujuan pada setiap kali pertemuan.
c. Menetapkan waktu yang diperlukan
untuk pembacaan dan penjelasan, waktu yang diperlukan untuk memberi kesempatan
kepada para santri untuk bertanya, dan waktu yang diperlukan untuk evaluasi
pada setiap kali pertemuan.
d. Mempersiapkan alat atau alat peraga
yang diperlukan pada pertemuan tersebut.
e. Mempersiapkan catatan khusus tentang
batas-batas materi yang akan disajikannya dan tentang penilaian kepada para
santri.
f. Mempersiapkan bahan yang dapat digunakan
untuk perluasan pembahasan atau penambahan wawasan.
g. Melakukan persiapan fisik yang
memadai.
5.
Tahap Pelaksanaan
Untuk melaksanakan kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Bandongan biasanya dilakukan
langkah-langkah:
a. Seorang kyai menciptakan komunikasi
yang baik dengan para santri.
b. Memperhatikan situasi dan kondisi
serta sikap para santri.
c. Seorang kyai atau ustadz dapat
memulai kegiatan pembelajaran dengan membaca teks Arab Gundul disertai dengan
terjemahannya.
d. Pada pembelajaran tingkat tinggi,
seorang kyai terkadang tidak langsung membaca dan menerjemahkan, ia terkadang
menunjuk secara bergiliran.
6. Evaluasi
Untuk mengevaluasi kegiatan
pembelajaran di atas, seorang kyai atau ustadz biasanya melakukannya melalui
dua macam tes, pertama, pada setiap tatap muka atau pada tatap muka tertenu.
Kedua, pada saat telah dikhatamkannya pengkajian terhadapa suatu kitab
tertentu.
7.
Dampak Model Pembelajaran Bandongan
Sebagaimana halnya
pada model pembelajaran sorogan yang mem-
punyai kelebihan dan kelemahan, maka model pembelajaran bandonganpun
pasti ada juga kelebihan dan
kekurangannya sebagai berikut:
a. Kelebihan
1. Lebih cepat dan praktis untuk mengajar
santri yang jumlanya banyak.
2. Lebih efektif bagi murid yang telah
mengikuti sistem sorogan secara intensif.
3. Materi yang diajarkan sering
diulang-ulang sehingga memudahkan anak untuk memahaminya.
4. Sangat efesien dalam mengajarkan
ketelitian memahami kalimat yang sulit dipelajari.
b. Kekurangan
1. Model ini dianggap lamban dan
tradisional, karena dalam menyampaikan materi sering diulang-ulang.
2. Guru lebih aktif daripada siswa
karena proses belajarnya berlangsung satu jalur.
3. Dialog antara guru dan murid tidak
banyak terjadi sehingga murid cepat bosan.
4. Model bandongan ini kurang efektif
bagi murid yang pintar karena materi yang disampaikan sering diulang-ulang
sehingga terhalang kemajuannya.[24]
Adapun dampak model pembelajaran bandongan ini bagi
santri ada dua, sebagai berikut:
a. Dampak secara langsung bagi santri,
diantaranya adalah seorang santri dapa mengekspresikan daya kritisnya dan
membantu menelaah atau mempelajari lebih lanjut isi sebuah kitab. Seorang
santri juga mempunyai kedekatan relasi antara santri dengan santri dan kyai.
b. Dampak penggiring (tidak langsung),
diantaranya adalah melatih ketelitian, kejelian, kecermatan, konsentrasi
(perhatian), dan daya kritisnya guna mencermati suatu pendapat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dapat dibuat beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
A. Pesantren merupakan
lembaga pendidikan dan pengajaran Islam dimana di dalamnya terjadi interaksi
antara kyai atau ustazd sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil
tempat di masjid atau dihalaman-halaman asrama pondok untuk mengaji dan
membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu.
B. Ketulusan untuk belajar merupakan salah satu bentuk dari
cinta yang ditunjukkan santri pada kyainya. Cinta antara santri dan kyai
merupakan ikatan batin yang hanya bisa dirasakan. Relasi antara santri dan
kyai adalah salah satu bentuk dari cinta. Tak mungkin ada orang betah belajar
bertahun-tahun di lingkungan pesantren, menghadapi rutinitas yang sama,
orang-orang yang relative sama, guru yang sama kalau tak didasari spirit cinta.
Dalam
tradisi Pesantren, perasaan hormat dan kepatuhan murid kepada gurunya adalah
mutlak dan tak boleh putus, artinya berlaku seumur hidup sang murid. Di samping
itu rasa hormatnya yang mutlak itu harus ditunjukkan dalam seluruh aspek
kehidupannya, baik dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan maupun pribadi.
Melupakan ikatan dengan guru dianggap sebagai suatu aib yang besar, disamping
akan menghilangkan barakah guru. Akibat selanjutnya dari kehilangan barakah
guru ialah pengetahuan si murid tidak akan bermanfaat. Bagi seorang santri
adalah “tabu” mengatakan bahwa ia “bekas” murid dari seorang kyai tertentu,
sebab sekali ia menjadi murid kyai tersebut, seumur hidupnya akan menjadi
muridnya. Bahkan, bilamana guru tersebut telah meninggal, si murid harus masih
menunjukkan hormatnya dengan tidak melupakan kontak dengan Pesantren sang guru.
C. Model Pembelajaran ialah
suatu kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran
tertentu. Dengan kata lain bahwa model pembelajaran merupakan sebuah acuan atau
pedoman atau pola bagi para perancang pembelajaran dalam merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran.
D. Model Pembelajaran dalam
Pendidikan Islam ( di Pesantren ). Pada umumnya pembelajaran di Pesantren
mengikuti pola tradisional, yaitu dengan menggunakan model pembelajaran sebagai
berikut:
1.
Model Pembelajaran Sorogan. Model sorogan ini
merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang menitikberatkan pada
pengembangan kemampuan secara perorangan
(individu), dibawah bimbingan seorang kyai atau ustadz. Model sorogan merupakan
sebuah sistem belajar dimana para santri maju satu persatu untuk membaca dan
menerjemahkan kata demi kata kedalam bahasa tertentu serta menguraikan isi kitab di hadapan kyai atau
ustadz.
2.
Model Pembelajaran Bandongan yang disebut juga
dengan model Pembelajaran Wetonan yaitu merupakan kegiatan pembelajaran yang
lebih bersifat pengajaran klasikal. Model ini dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap
sekelompok peserta didik, atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak apa yang
dibacanya dari sebuah kitab. Setelah kyai selesai membahas isi kitab, santri
diperkenankan mengajukan pertanyaan atau pendapatnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren,
Kencana, Jakarta, 2008.
Amin Haedari, dkk., Masa Depan Pesantren dalam tantangan Modernitas dan
Tuntutan Kompleksitas Global, IRD Press, Jakarta,
2004.
Armei Arief, Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta,
2002
Dadanrusmana.blogspot.com/2012/05/sorogan-dan-bandungan-sistem-klasik.html.
Eprints.iainsalatiga.ac/690/2/BABII.pdf
Hasan Basri, Ilmu Pendidikan Islam ( Jilid II
), Pustaka Setia, Bandung, 2010.
Hidayat Komaruddin & Putut Widjanarko, Reinventing Indonesia:
Menemukan
Kembali Masa Depan Bangsa, PT Mizan Publika, 2008.
Khoerulafandi.blogspot.com/2012/11/pola-pembelajaran-di-pesantren-1.html
Mataair.or.id/di-bawah-kibaran – sarung - kyai - relasi
-guru-dan-murid-dalam-
pendidikan-pesantren/
Miftahul Huda,
Model-model Pengajaran
dan Pembelajaran, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2014
Muhaimin & Abdul Mujib, Pemikiran
Pendidikan Agama Islam (Kajian Filosofis
dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), Bandung, Trigenda
karya,
1993.
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009.
Rusman, Model-model Pembelajaran, RajaGrafindo,
Jakarta, 2014
Suyoto, “Pesantren dalam Alam Pendidikan
Nasional”, dalam M. Dawam Rahardjo,
Pesantren dan Pembaharuan,
LP3ES, Jakarta, 1988.
Syaiful Sagala,
Konsep dan Makna Pembelajaran untuk Membantu Memecahkan
Problematika Belajar dan Mengajar, Alfabeta, Bandung,
2010.
Syekh Al-Zurnuji, Ta’lim al-Muta’alim Thariiq al-Ta’alum, Terj: Ma’ruf Asrori,
Etika
Belajar Bagi Penuntut Ilmu, Pelita Dunia, Surabaya, 1996.
Tatang S., Ilmu Pendidikan, Pustaka
Setia, Bandung, 2012
Yeyen Maryani dkk,
Kamus Bahasa Indonesia, Badan
Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Jakarta Timur, 2011
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
LP3ES, Jakarta, 1982
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup, LP3ES,
Jakarta, 1985
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar