HUBUNGAN
ILMU DAN ISLAM MENURUT AMIN ABDULLAH
MT
KULIAH: FILSAFAT ILMU DOSEN PENGASUH:
Dr.
FATRAWATI KUMARI, M. Hum
OLEH : RAUDAH, S. Ag
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejak
awal kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar
kepada ilmu . Sebagaimana
sudah diketahui, bahwa Nabi Muhammad Saw. ketika diutus oleh Allah sebagai Rasul,
hidup dalam masyarakat yang terbelakang, dimana paganisme tumbuh menjadi sebuah
identitas yang melekat pada masyarakat Arab masa itu. Kemudian Islam datang
menawarkan cahaya penerang, yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi
masyarakat yang berilmu dan beradab.
Kalau dilacak akar sejarahnya,
pandangan Islam tentang pentingnya ilmu, tumbuh bersamaan bersamaan dengan
munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasulullah SAW. menerima, wahyu pertama,
yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca” sesuai dengan firman
Allah dalam Al-Qur’an surah Al-‘Alaq ayat 1, yang berbunyi :
اِقْرَأْ بِا سْمِ رَبّكَ الَّذِيْ خَلَقَ
Artinya
:
Perintah ini tidak hanya sekali
diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai Nabi dapat menerima wahyu
tersebut. Dari kata iqra inilah kemudian lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan
membaca teks baik yang tertulis maupun tidak.
Manusia, dalam agama Islam mempunyai
konsepsinya yang jelas, yaitu sebagai “hamba Allah” (‘abd Allah) dan sebagai “wakil Allah di muka bumi” (khalîfah Allâh fî al-ardh). Dua tugas
yang diemban oleh manusia ini mempunyai konsekuensinya masing-masing. Konsep
yang pertama, yaitu manusia sebagai hamba menjadikan manusia mempunyai
kewajiban menghamba kepada Allah, yang dalam istilah keagamaan biasa disebut
dengan “beribadah” kepada-Nya. Sedangkan manusia sebagai “wakil Allah di muka
bumi” menjadikan manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara, melestarikan,
serta membudayakan semua yang telah diciptakan Allah SWT. Oleh karena itu, Islam sebagai agama,
memandang hidup manusia secara utuh dan
integral, tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ritual semata,
melainkan juga urusan masyarakat, negara, bahkan hubungan antarbangsa. Islam
memandang hubungan manusia sebagai sesuatu yang sentral. Bahkan hubungan ritual
seseorang dengan Allah harus berdampak pada hubungan antarmanusia. Sementara itu, ilmu dan
pengetahuan ini, di samping menjadikan manusia lebih mulia di antara makhluk-makhluk lainnya, juga dapat mempengaruhi kemajuan suatu
kaum. Sejarah mencatat, bahwa
masa keemasan Islam terjadi pada masa Abbasiyah, yaitu sekitar abad 8 M. Salah
satu kejayaan yang dicapainya ialah berkembangnya ilmu pengetahuan. Ilmu ini
bukan hanya ilmu agama, melainkan ilmu-ilmu umum yang datang dari luar Islam.
Semua ilmu yang ada saat itu dikembangkan secara seimbang. Tidak ada istilah
pendikotomian ilmu ke dalam apa yang disebut dengan ilmu agama dengan ilmu
umum, di samping tidak ada pula sikap yang memprioritaskan satu ilmu dengan
ilmu lainnya. Semua
ilmu pada saat itu dikembangkan dan saling melengkapi. Selanjutnya, dalam
makalah ini, penulis akan membahas Hubungan Ilmu dan Islam Menurut Amin
Abdullah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaiamana Biografi Amin Abdullah?
2.
Bagaimanakah tentang Islam antara “Normativitas
dan Historisitas”?
3.
Bagaimana Integrasi Keilmuan
Integratif-Interkonektif?
4.
Bagaimana Kontekstualisasi Permasalahan ?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
1.
Untuk mengetahui Biografi Amin Abdullah.
2.
Untuk mengetahui tentang Islam antara
“Norvativitas dan Historisitas”.
3.
Untuk mengetahui Integrasi Keilmuan
Integratif-Interkonektif.
4.
Untuk mengetahui Kontekstualisasi Permasalahan.
BAB II
HUBUNGAN ILMU DAN ISLAM MENURUT AMIN ABDULLAH
A.
Biografi Amin Abdullah
Prof. DR. H. M.
Amin Abdullah, Ph.D. lahir pada
tanggal 28 Juli 1953 di desaMargomulyo, Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Lelaki ini sejak kecil memang memiliki bakat kecerdasan dan daya fikir yang
luar biasa. Itulah sebabnya,
selepas dari SDN Margomulyo pada tahun 1966, dirinya dikirim keluarganya untuk
menempuh studi di Kulliyat Al-Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern
Gontor Ponorogo.
Setelah menamatkan pendidikannya
pada tahun 1972, pada tempat yang sama dia melanjutkan studinya ke Institut
Pendidikan Darussalam (IPD) untuk mengikuti program Sarjana Muda dengan meraih
gelar Bachelors of art di tahun 1977. Lantas dia hengkang ke Yogyakarta dan
masuk ke IAIN Sunan Kalijaga pada Fakultas Ushuluddin jurusan Perbandingan
Agama.
Pada tahun 1982, dia meraih gelar S1 dari IAIN Sunan
Kalijaga. Setahun kemudian suami Hj. Nurhayati ini diangkat menjadi Dosen Tetap di Fakultas
Ushuluddin di Universitas yang sama. Kemudian pada tahun 1985, atas sponsor
Departemen Agama RI dan Pemerintah Republik Turki, dirinya mengambil Program
Ph.D bidang Studi Filsafat di Department of Philosohpy, Faculty of Art and
Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki.
Di sini dia sempat menjadi
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) pada tahun 1986 hingga 1987. Selama libur musim panas, Amin
bekerja part time di Sekretariat Kantor Urusan Haji (BUH) di Jeddah (1985 dan 1990), di Makkah (1988) dan di Madinah
(1989). Sementara gelar Ph.D pada institusi tersebut, diraihnya pada tahun 1990 dengan disertasinya berjudul “The Idea of University of
Ethical Norms in Ghazali and Kant”, yang kemudian diterbitkan di Turki (Antara;
Turkiye Diyanet Vakfi) pada tahun 1992. Karya terjemahannya diterbitkan tahun
1995, oleh penerbit Rajawali (Jakarta) yang diberi judul: Agama dan Akal
Pemikiran; Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi.
Tahun 1993 dia diangkat menjadi Dosen Tetap di Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga serta diserahi materi Filsafat Islam dan
Filsafat Agama. Di tahun ini pula dirinya diberi tugas sebagai Asisten Direktur
Pascasarjana pada Institut yang sama. Hal itu dipangkunya hingga tahun 1996. Disamping itu juga
menajabat sebagai Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI),
Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.
Dua tahun kemudian, bapak tiga
anak ini juga mengajar di beberapa kampus ternama di Indonesia. Disamping
mengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Muhammadiyah Malang dan IAIN
Walisongo Semarang, juga megajar pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta, serta di Universitas Islam Bandung (UNISBA).
Namun kesibukan tersebut sejenak
ditinggalkannya, karena harus pergi ke Canada untuk mengambil Program
Postdoctor di
McGill University, Montreal yang selesai pada tahun 1998. Di tahun inilah dirinya diberi mandat sebagai Wakil Rektor UIN Sunan
Kalijaga dan
sekaligus dipercaya sebagai Kepala Departemen Agama dan Filsafat di Program
Pascasarjana hingga tahun 2002. Selanjutnya pada tahun yang sama dirinya diangkat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga hingga dua
periode masa jabatan (2002-2010).
Betapapun kesibukan
akademiknya banyak menyita waktu, namun masih tetap menyempatkan diri untuk
kegiatan sosial. Amin
Abdullah tercatat pernah menjadi Ketua Asosiasi Mahasiswa Indonesia di Turki
(1987 s/d 1988), serta sebagai Ketua Divisi Umat dan sumberdaya manusia
ICMI-DIY (1991 s/d 1995). Pada periode tersebut, dia juga menjadi Anggota
Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Kemudian
juga menjadi Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah (1995 s/d 2000), sebagai Anggota Dewan
Konsultatif, Indonesia Conference on Religion and Peace / ICRP (2000 s/d
2002), menjadi Wakil Ketua Dewan Nasional Muhammadiyah (2000 s/d 2005),
serta sebagai Anggota Badan Akreditasi Jurnal (2003 s/d 2004).
Itulah sebabnya, nama Pak Amin –
demikian panggilan karibnya – tak asing lagi di kalangan akademisi Muslim
Indonesia. Apalagi kreativitas dan ide-idenya seolah tak pernah mengering, lebih-lebih yang diperuntukkan bagi
dunia pendidikan. Untuk dapat mengembangkan dunia pendidikan seoptiomal
mungkin, ujarnya, hendaknya pendidik tidak terpaku pada kurikulum. “Kurikulum
hanyalah sebagai patokan, yang harus dikembangkan dengan kreativitas yang
tinggi oleh setiap pendidik,” tandasnya.[2]
Amin Abdullah adalah sosok pemikir yang produktif. Disertasinya yang berjudul The Idea of
University of Ethical Norms in Ghazali and Kant diterbitkan di Turki (Ankara:
Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya ilmiah lainnya yang diterbitkan,
antara lain Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman
Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000), Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika
Islam, (Bandung: Mizan, 2002), serta Pendidikan Agama Era Multikultural
Multireligius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya terjemahan
yang diterbitkan adalah Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan
Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985), Pengantar Filsafat Islam: Abad
Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).[3]
Disamping menerjemahkan buku karya penulis berkaliber dunia,
Amin Abdullah juga sangat aktif menjadi narasumber baik pada seminar nasional
maupun internasional.
Di antaranya adalah seminar yang diselenggarakan di Kairo, Mesir (1992),
Ankara, Turki (1993), Malaysia (1994), Leiden, Belanda (1996), Tokyo,
Jepang (1999), Libya (2000), Korea Selatan (2003), Kanada (2003), London
(2003), Kuala Lumpur, Malaysia (2003), Belanda (2003), Thailand Selatan (2005),
Universitat Marburg, Jermany (2005), Kremlin, Moskow (2005). Bahkan empat tahun
terakhir ini, dirinya juga masih kerap diundang menjadi narasumber di berbagai Negara.
B. Islam Antara
“Normativitas dan Historisitas”
Pangkal tolak keracunan berpikir
seringkali muncul, menurut Dr. M. Amin Abdullah, hanyalah berakar pada
kesulitan seseorang agamawan yang baik, tulus dan committed untuk dapat
membedakan scara “clear and distinct” (jernih) antara dimensi ‘normativitas dan
historisitas’ keberagamaan manusia, terlebih-lebih lagi keberagamaan Islam.
Prof. M. Arkoun, guru besar Islamic Thought
di Sorbone, Perancis, berulang kali menjelaskan bahwa telah terjadi proses
pelapisan geologi pemikiran Islam yang sejak abad ke-12 hingga sekarang,
sehingga menepikan aspek ‘historisitas’ kemanusiaan yang selalu dalam “on going
process” serta “On going formation”. Secara Ontologis, keberagamaan Islam,
sebenarnya, mirip-mirip sebuah koin atau sekeping mata uang logam yang
mempunyai dua permukaan.
Tidak ada dan tidak akan ada,
sebuah koin yang hanya memiliki satu permukaan. Demikian pula kebergamaan
Islam, dan keberagaman manusia umumnya. Pada Islam keberagamaan Islam
terdapat dua permukaan yang menyatu pada satu kesatuan yang utuh,
yakni dimensi normativitas dan dimensi historisitas. Keduanya, menyatu
dalam satu keutuhan keberadaan koin; keduanya tidak dapat dipisahkan,
tetapi dapat dibedakan secara tegas.
Ambilah salah satu contoh, yakni
ketika kita membaca surat ‘Abasa (Ia bermuka masam) ayat 1 sampai dengan 11.
Jelas tampak disitu dimensi ‘historisitas’ kenabian Muhammad SAW ketika
berhadapan dengan seorang buta yang bernama
Abdullah bin Ummi Maktum. Peristiwa khusus historis manusia ini, tidaka
perlu dianggap sacral. Di situ hanyalah bentuk hubungan antar manusia biasa.
Kekuatan intelek-rasio manusialah yang dapat menemukan dan menembus dimensi
“normativitas” Al-Qur’an yang bersifat necessary, (fardlu ‘ain), universal,
imperative, categorical, yang salihun likulli zaman wa makan. Kejadian
‘historis’ tersebut, bentuknya dapat berganti menjadi seribu macam, sehingga
khusus Nabi Muhammad SAW dengan Abdullah bin Ummi Maktum, dapat pula berganti
bentuk sesuai dengan situasi historis dan perkembangan Ilmu Pengetahuan. Tetapi
dimensi ‘normativitas’ dan ‘etika’ Al-Qur’an yang bersifat fardlu ‘ain,
imperative, categorical, tetaplah sama seperti dulu sampai kapan pun yakni
memperlakukan orang lain (baik orang Islam maupun non-muslim) dalam berbagai
stratifikasi kelas social yang ada secara santun, demokratis, egaliter dan
adil.
Aspek universalitas-intelektualitas
dari norma ajaran Islam terletak pada dimensi normativitas-etika yang
bersifat categorical (mengikat semua pihak). Sedang aspek particularitas-culturalnya
adalah terletak pada kejadian perilaku Nabi Muhammad dan nabi-nabi
lainnya.
Keberagamaan Islam, seperti Amin
Abdullah kemukakan dalam berbagai kesempatan, mengandung dua dimensi atau
aspek sekaligus, yakni aspek normativitas, wahyu dan aspek
historisitas-kekhalifahan. Menurut bahasa fuqaha, aspek
normatovitas adalah aspek ibadah mahdah yang lebih terasa ditekankan aspek
legalitas formalitas-eksternal, sehingga kurang appresiatif terhadap
dimensi esoteric – yang padat nilai spiritual-intelektual – yang juga melekat
pada religious imperatif yang bersifat mahdhah tersebut. Sedang aspek
‘historisitas’ (baik yang berkaitan dengan persoalan social, politik, budaya,
ekonomi pendidikan, lingkungan hidup, kemiskinan) dan sebagainya dianggap
cuma masuk wilayah ibadah ghairu madhlah, sehingga tersudut pada
kategori fardhu kifayah. Sedang konsekuensi dan Implikasi pemikiran dan
pembuatan kategori fardlu’ain dan fardlu kifayah sedemikian besar
dalam tata dan pola pemikiran Umat Islam. Persoalan-persoalan dan
permasalahan-permasalahan yang masuk dalam kategori fardlu kifayah kurang
begitu diminati lantaran sudah ‘terselesaikan’ secara perwakilan oleh beberapa
kalangan saja. Sedang ‘perwakilan’ itu sendiri tidak jelas. Jadi, jika dalam
kelompok ibadah mahdah, campur tangan akal pikiran manusia sama sekali
tidak dibolehkan , maka pada kelompok fardlu kifayah inilah yang sebenarnya menumbuhkan
diskursus intelektual yang kritis objektif. Sayang, dalam kelompok ini pun
kurang diminati oleh para tokoh agamawan yang menggunakan format pemahaman
keagamaan yang lama. Menurut Amin Abdullah,
dalam wilayah fardlu kifayah inilah dibutuhkan jenis pendekatan
‘empiris’ yang lugas, objektif-rasional.[4]
C. Integrasi Keilmuan
Integratif-Interkonektif
Amin Abdullah
merasa bahwa kegiatan aktivitas pendidikan dan keilmuan di Perguruan Tinggi
Umum dan Perguruan Tinggi Agama di tanah air dewasa ini mirip-mirip seperti
pola kerja keilmuan abad renaissance hinggan era revolusi informasi.
Yangmana hati nurani terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah mengauasai
perilaku cerdik pandai. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela.
Lingkungan alam rusak berat. Tindakan kekerasan dan mutual distrust pun
mewabah dimana-mana.[5]
Ini menandakan adanya jarak yang cukup jauh antara dua aspek keagaam yang
sering dipahami sebagai normative dan historis. Dari aspek normatifnya, agama
mewajibkan pemeluknya untuk melaksanakan perintah agama dan menjauhi
larangannya. Akan tetapi, jika pada kenyataannya perilaku pemeluknya berbeda
dari yang perintahkan oleh agama. Maka itu mengindisikasikan adanya
keterputusan atau ketimpangan dalam beragama. Jika sudah demikkian,
pertanyaannnya adalah di mana peran pendidikan, utamanya pendidikan agama?
Di era global ini, para agamawan terkesan tidak
dapat menjadi pelaku perubahan, melainkan hanya penonton dalam kemajuan
teknologi dan sebagainya. Begitu pun sebaliknya, para ilmuwan-ilmuwan, termasuk
para cerdik pandai semakin jauh dari moral dan etik. Akhirnya, timbul tipologi
antara agamawan saja dan ilmuwan saja. Padahal jauh sebelumnya, dalam
kependidikan Islam telah terpola pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik
yang dipelopori oleh para ilmuwan
seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.[6]
Yang selain mereka adalah agamawan juga ilmuwan-ilmuwan yang sudah barang tentu
selain memahami agama dengan berbagai moral dan etiknya, juga memnguasai
keilmuan-keilmuan lainnya yang notabenenya di luar lingkup agama. Para tokoh
ini berhasil memadukan serta mengkorelasikan keilmuan-keilmuan yang mereka
miliki.
Untuk mengembalikan paradigma pendidikan yang
integrative ini dengan pendekatannya yaitu integratif-interkonektifnya. Ia
menekankan bahwa kebutuhan dan perlunya segera adanya interaksi dan
interkomunikasi dengan teori-teori dan metodologi-metodologi yang telah
digunakan pada disiplin-disiplin ilmu yang lain yang berada di luar lingkarannya
batasnya sendiri. Dengan mencangkokkan teori-teori tersebut,
memungkinkan terjadi perluasan horizon dan wawasan keilmuan seseorang. Ketika
interaksi dan interkomunikasi antar dispilin ilmu ini berlangsung, akan ada
perubahan besar pada cara kita mempertanyakan problem-problem akademik.[7]
Dan bukan tidak mungkin – yang juga menjadi harapan – dengan adanya interaksi
serta interkomunikasi ini bisa mengembalikan kembali peradigma keilmuan yang
integrative yang mampu menjadikan manusia sesuai dengan perannya di muka bumi,
yang selain sebagai sebagai seorang hamba juga sebagai khalifah di bumi.
Selain itu, paradigma interkoneksitas ini memberikan argumen dalam pemahaman
menghadapi kompleksitas perjalanan proses realitas fenomena kehidupan yang
dihadapi dan dijalani manusia, bahwa setiap gugusan-gususan keilmuan apapun
harus melakukan komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan keilmuan yang ada,
baik itu keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak akan
mampu kokoh sendirian. Memiliki rasa dapat memecahkan permasalahannya, tidak
memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, oleh karena itu
perasaan merasa cukup dengan kekuatan sendiri ini akan mengakibatkan pemikiran
sikap yang terkungkung dengan polanya yang sempit atau dapat diistilahkan
dengan egoisme disiplin keilmuan. Sikap saling kerjasama, saling tegur
sapa, merasa saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar
disiplin keilmuan lebih dapat membantu manusia dalam memahami kompleksitas
kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sedangkan
paradigma integrasi keilmuan memberikan gambaran dengan berharap
tidak akan memunculkan kembali ketegangan dan tirai antar keilmuan yang
dimaksud dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya,
baik dengan cara meleburkan sisi normatif ke wilayah historis atau sebaliknya.
Paradigma interkoneksitas akan lebih memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih
unggul yakni modest, humility dan humanis.[8]
Paradigma interkonektif-integratif
ini dapat dipahami sebagai upaya membangun kerjasama yang efektif dan mendalam
sedemikian rupa antar berbagai disiplin keilmuan sehingga terjadi komunikasi
efektif membuka tirai-tirai dari bangunan-bangunan keilmuan, baik
keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman. Sedangkan untuk
mengurai krisis relevansi dalam perkembangan ilmu-ilmu sekuler diberikan konsep
gerakan rapprochement yakni kesediaan untuk saling menerima keberadaan
kubu-kubu keilmuan yang lain dengan lapang dada. Gerakan ini disebut juga
gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan. Lebih lanjut, Amin
Abdullah memberi
catatan, bahwa:
Paradigma keilmuan baru yang
menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia
(ilmu-ilmu holistic-integralistik), itu tidak berakibat mengecilkan peran Tuhan
(sekuralisme) atau mengucilkan manusia teraleniasi dari dirinya sendiri dari
masyarakat sekitar dan lingkungan sekitarnya.[9]
Artinya, terjadinya integrasi
keilmuan yang oleh Amin Abdullah didekatinya dengan pendekatan
integratif-interkonektif ini bukan berarti antar satu keilmuan dengan keilmuan
lainnya saling bersaing untuk saling mendominasi dan mempengaruhi. Bahkan
sebaliknya, yang dikehendaki adalah antara satu keilmuan dengan keilmuan
lainnya saling melengkapi. karena sama halnya dengan manusia yang tidak bisa
hidup sendiri tanpa orang lain, ilmu pun demikian yang tidak bisa berdiri
sendiri tanpa bertegur sapa dengan ilmu lain.
Selain itu,
keilmuan Islam yang ada saat ini, selain dihadapkan pada fenomena pendikotomian dengan ilmu umum, juga dihadapkan
pada tidak adanya upaya perluasan serta pemekaran dalam pengembangan yang
mendorong kemajuan dan pertumbuhan ilmu-ilmu keislaman.[10]
D.
Kontekstualisasi Permasalahan
Amin Abdullah mengutif pendapat
Ian G. Barbour bahwa hubungan agama
dan ilmu dapat diklasifikasikan menjadi empat corak, yaitu,
Konflik (bertenangan), Independensi (masing-masing berdiri sendiri-sendiri),
Dialog (berkomunikasi) atau Integrasi (menyatu dan bersinergi). Sekedar sebagai
ilustrasi, ada empat peristiwa penting di tanah air, pada tahun 2012 dan 2013,
yang sedikit banyak dapat menggambarkan corak hubungan antara agama dan ilmu di
tanah air.
Pertama,
Pada tanggal 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan ketetapan
baru, menyempurnakan pasal 43, ayat 1, Undang undang Perkawinan 1974, dengan
menetapkan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya”. Dengan ketetapan ini, maka hak
keperdataan anak hasil pernikahan sirri antara almarhum Moerdiono,
mantan Mensekneg, (mohon maaf, saya menyebut nama, mengikuti pers
memberitakannya saat peristiwa itu terjadi) dan Machica Mochtar. Mahkamah
Konstitusi menetapkan bahwa almarhum Moerdiono adalah ayah biologis dari M.
Iqbal Ramadlan, sebagai anak hasil perkawinan sirri dengan Machica
Mochtar berdasar atas bukti ilmu pengetahuan (DNA). Peradilan Agama di
wilayah Jakarta, semula memutuskan atas gugatan yang diajukan oleh
Machica Mochtar bahwa anak hasil nikah sirri (yang sah menurut agama)
- karena tidak tercatat dalam catatan Kantor Urusan Agama ataupun Kantor
Catatan Sipil - maka anak yang lahir akibat perkawinan sirri tersebut
hanya dapat dinisbahkan kepada ibunya, dan tidak dapat dinisbahkan kepada ayah
(biologis) nya. Pada era pra modern, sesuai dengan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan
saat itu, memang sulit sekali membuktikan secara biologis siapa laki-laki/ayah
yang sesungguhnya dari anak yang lahir dari seorang wanita/ibu, yang karena
sesuatu dan lain hal, tidak diketahui laki-laki yang membuahinya. Para ahli
agama saat itu menerima begitu saja kesepakatan yang berlaku saat itu.
Namun, kesepakatan dan ketetapan yang semula tidak bermasalah itu, tiba-tiba
saja menjadi masalah ketika dapat ditemukan bukti lain melalui kerja penelitian
ilmu pengetahuan, khususnya ilmu biologi dan kedokteran, yang berkembang
pesat pada era modern. Ilmu biologi dan kedokteran modern dapat membuktikan
secara medis-biologis melalui test DNA siapa laki-laki yang menjadi ayah
biologis dari anak yang lahir dari seorang wanita. Ketika para hakim agama
mengabaikan bukti ilmu pengetahuan, semata mata karena hanya menetapkan amar
keputusannya berlandaskan pada pendapat dan kesepakatan para ahli agama/fikih
yang tertuang dalam naskah kitab fikih abad tengah (pra scientific),
maka akan tampak bahwa paradigm yang digunakan oleh para hakim agama adalah
paradigma Konflik atau Independensi. Para hakim agama dikatakan menggunakan
paradigma Konflik, jika pemahaman, penafsiran dan kesepakatan ilmuan
agama (agama) abad tengah masih digunakan pada era modern dan mereka
tidak bersedia berdialog, enggan memanfaatkan masukan yang dapat diperoleh dari
temuan ilmu pengetahuan biologi modern. Paradigma Independensi, jika masing-masing
institusi, yakni institusi Peradilan Agama (PA) dan institusi Mahkamah Konstitusi
(MK), berdiri sendiri-sendiri diatas fundasi legalitas dan otoritasnya masing-masing,
tanpa melakukan dialog dan tanpa melakukan penyesuaian sedikitpun. Kabarnya,
belum semua para hakim agama di tanah air dapat menerima keputusan Mahkamah
Konstitusi yang berlandaskan pada bukti ilmu pengetahuan.
Kedua, juga masih
terkait dengan perkawinan sirri antara seorang pejabat publik, seorang
bupati yang masih aktif, dengan seorang wanita yang hanya dinikahinya untuk
beberapa hari. Setelah dicerai melalui pesan SMS, maka media massa
meramaikannya di ruang publik dan menjadi isu nasional, sehingga Presiden
setelah mendapat masukan dari Kementrian Dalam Negeri dan DPRD setempat,
akhirnya memberhentikan dari jabatannya sebagai Bupati Kepala Daerah. Pasalnya
sederhana dan mudah ditebak, yakni masih digunakannya paradigma Konflik. Konflik
antara agama, yakni paradigma ilmu fikih dan paradigma ilmu pengetahuan,
dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan sosial dan humanities kontemporer.
Lewat kasus ini dapat terbaca dengan jelas bahwa paradigma Konflik masih sangat
melekat kuat dalam budaya berpikir sosial-keagamaan para aktor di lapangan di
tanah air. Tidak mesti seorang pejabat publik dan lebih-lebih lagi orang
kebanyakan, mampu mendialogkan, mengawinkan atau mengintegrasikan keilmuan
agama dan keilmuan sosial dan humanities kontemporer dalam kehidupan
sehari-hari. Penggunaaan metode qiyas atau analogi dalam berpikir keagamaan
yang berorak fiqhiyyah-agama ternyata
masih tampak kental dalam berpikir dan berargumen yang dikemukakan di ruang publik.
Ketika didesak para wartawan dalam konferensi pers bahwa Bupati tidak
berbuat adil terhadap wanita yang dinikahinya secara sirri, maka
jawaban yang dikemukakan membantah dengan tegas bahwa tindakan atau
perbuatannya tersebut disebut tidak adil, dengan landasan berpikir bahwa dia
telah memberi wanita tersebut sejumlah uang. Ibarat membeli barang dan setelah
barang tersebut dibeli dan kemudian diperiksa ternyata rusak, maka dia berhak mengembalikan
barang tersebut kepada pemiliknya. Mengqiyaskan atau menganalogkan
wanita dengan barang dagangan (pemahaman agama bercorak fiqhiyyah)
inilah yang berseberangan dan bertentangan dengan kesadaran kemanusiaan
baru (falsafiyyah), yang didukung oleh pengetahuan sosial dan humanities
kontemporer, tentang non-derogability (prinsip tidak dapat direndahkannya
harkat kemanusiaan seseorang dengan dalih dan alasan apapun) dan human
dignity/al-karamah al-insaniyyah (menjunjung tinggi harkat dan martabat
kemanusiaan) seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Artinya perlakuan
terhadap manusia (pria atau wanita; dewasa atau anak-anak; berkebutuhan biasa
atau khusus/disable/difable) tidak dapat sama sekali disamakan
dengan perlakukan seseorang terhadap barang, benda, binatang atau tumbuh-tumbuhan.
Ketiga
adalah kasus Sampang Madura. Pembakaran rumah dan penghilangan nyawa dan
hak hidup orang atau kelompok di bumi tanah air Indonesia. Para pimpinan agama
di daerah dan sebagian di pusat, juga para tokoh politik setempat tiba-tiba
terjebak dalam pemahaman ilmu agama (Ulumu al-din) lama yang menyatakan
bahwa kelompok Syiah adalah sesat. Pernyataan ini bertentangan
dengan fatwa ulama al-Azhar yang dikeluarkan tahun 1959 yang menyatakan
bahwa Syiah adalah salah satu mazhab yang sah dalam Islam. Tidak hanya itu,
masih tergambar disitu bahwa para tokoh agama dan para politisi di daerah
ketika mengelola negara modern yang berlandaskan konstitusi masih disamakan
saja dengan mengelola pertikaian antar mazhab dan aliran pemikiran keagamaan seperti yang biasa mereka
jumpai dalam buku-buku atau kitab-kitab agama yang mereka dulu baca di
lembaga-lembaga pendidikan Islam konvensional. Istilah taubatan nasuha (tobat
yang sungguh-sungguh) masih diartikan secara politis dan sepihak, yakni dengan
cara meninggalkan Syiah kembali lagi ke Sunni dan begitu pula sebaliknya.
Bukannya dengan cara menghormati hak-hak hidup orang per orang atau kelompok
yang berbeda dalam negara modern yang menjunjung tinggi konstitusi sebagai
pedoman berbangsa dan bernegara. What went wrong ? Apa yang salah
disini?
Keempat, yang
secara reguler-terus menerus akan terulang setiap tahun adalah penentuan awal
bulan ramadhan dan hari raya idul fitri. Pergumulan - untuk tidak menyebutnya
paradigma Konflik - antara agama dan ilmu pengetahuan selalu dipertontonkan di
ruang publik dan belum ada tanda-tanda untuk berakhir dalam waktu dekat ini. Konflik,
atau perbedaan antara system perhitungan datangnya awal bulan ramadlan
melalui rukyat (melihat awal bulan secara empiris, dengan
menggunakan mata telanjang – yang dibantu dengan teleskop) dan sistem
perhitungan awal bulan melalui hisab (lewat perhitungan rasional) selama ini. Konflik yang terjadi ini tetap saja menimbulkan rasa kurang nyaman
karena terkait dengan kepentingan orang banyak secara nasional, baik menyangkut
urusan intern agama itu sendiri (penentuan waktu takbir menyudahi ibadah puasa
untuk wilayah Indonesia bagian timur, persiapan salat idul fitri), namun juga
soal transportasi, penetapan hari libur dan masuk kantor dan seterusnya. Belum
lagi ada ketidaknyamanan atau ketegangan sosial-psikologis tahunan ketika mengikuti
sidang dewan itsbat (penentuan awal bulan ramadlan dan atau awal syawwal)
oleh pemerintah yang hanya dilakukan sehari sebelum hari H, sehingga secara
managemen tidak dapat diantisipasi implikasi dan konsekuensi dari keputusan
sidang yang tidak dilakukan jauh-jauh hari.
Belum tentu orang atau kelompok yang merasa
menguasai ilmu keagamaan secara baik secara otomatis akan dapat memahami dan
mengenal perkembangan ilmu pengetahuan di luar bidang keahliannya secara baik
pula. Ilmu agama atau ilmu fikih yang tidak dibarengi ilmu sosiologi dapat
mengguncang dan menurunkan kedudukan, martabat dan jabatan seseorang. Ilmu Kalam/Aqidah
yang tidak dibarengi ilmu sosiologi dan antropologi menjadikan keimanan
seseorang penuh dengan rasa tidak nyaman, jika hidup berdampingan dengan orang
lain yang berbeda keyakinan dan agama. Begitupun sebaliknya, keahlian dalam
bidang antropologi, sosiologi, kedokteran yang tidak memahami persoalan fikih
dalam berhubungan sosial dengan wanita juga dapat mendatangkan madarat atau resiko
yang tidak terduga. Kesalehan individual yang tercermin dalam ketaatan beribadah
secara ritual, belum tentu menjamin terbentuknya kesalehan sosial, apalagi
kesalehan publik. Kesalehan publik yang antara lain menghargai orang atau
kelompok lain yang berbeda, kesetaraan di depan hukum, menghormati hak asasi
manusia belum tentu dapat berdialog dan terintegrasi dalam way of thinking,
budaya pikir sosial-keagamaan secara utuh. Dalam konteks inilah maka diskusi
akademik bagaimana hubungan antara agama, sains dan budaya mendapat momentum
untuk terus menerus dibicarakan, diperdalam dan dikembangkan.
Dari gambaran keempat catatan
peristiwa yang terjadi di tanah air tersebut menunjukkan bahwasanya hubungan
antara agama dan ilmu masih menunjukkan hubungan yang belum begitu serasi,
kurang harmonis, untuk tidak menyebutnya Konflik. Tidak semua bidang
kehidupan menunjukkan corak hubungan seperti itu, tapi persoalannya adalah
bagaimana cara memandu menyelesaikan ketegangan yang selalu ada antara
keduanya? Tulisan tidak bermaksud untuk meniadakannya sama sekali, tetapi
klarifikasi filosofis dan keilmuan diperlukan untuk menjawab mengapa hal-hal
tersebut masih saja sering terjadi dan bagaimana jalan dan upaya akademik lewat
jalur pendidikan ke depan yang kiranya dapat membantu mengurangi ketegangan
yang tidak perlu tersebut.[11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dapat dibuat
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
A. Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, Ph.D. lahir pada tanggal 28 Juli
1953 di desa Margomulyo, Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Amin Abdullah
adalah sosok pemikir yang produktif. Disamping menerjemahkan buku-buku karya
penulis berkaliber dunia, Amin Abdullah juga sangat aktif menjadi nara sumber
baik pada seminar nasional maupun internasional. Selain itu, keilmuan Islam yang ada saat ini, selain dihadapkan
padafenomena pendikotomian dengan ilmu umum, juga dihadapkan pada tidak adanya
upaya perluasan serta pemekaran dalam pengembangan yang mendorong kemajuan dan
pertumbuhan ilmu-ilmu keislaman.
B.
Keberagaman
Islam mengandung dua dimensi atau aspek sekaligus, yakni aspek normativitas,
wahyu dan aspek historisitas-kekhalifahan. Menurut bahasa fuqaha, aspek
normativitas adalah aspek ibadah mahdah. Sedangkan aspek historisitas masuk
wilayah ibadah ghairu mahdah.
C.
Pendekatan
integratif-interkonektif yang diusung oleh Amin Abdullah merupakan pendekatan
yang mencoba menjawab fenomena dikotomi ilmu yang terjadi. Pendekatan ini
mencoba untuk menjelaskan bahwa antara satu keilmuan dengan keilmuan lainnya
mempunyai hubungan saling melengkapi, bukan saling mengungguli.
D.
Dari
gambaran keempat catatan peristiwa yang terjadi di tanah air tersebut
menunjukkan bahwa hubungan antara agama dan ilmu masih menunjukkan hubungan yng
belum begitu serasi dan kurang harmonis.
DAFTAR PUSTAKA
Amir
Abdullah, Falsafah Kalam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. Ke-IV, 2009
Amin
Abdullah, Islami Studies di Perguruan
Tinggi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
cet. ke-III, 2012
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pustaka Agung Harapan, Jakarta,
2006
https://aminabd.files.wordpress.com/2013/10/agama-ilmu-dan-budaya-pdf
Suharyanta dan Sutarman, Relevansi Epistemologi Keilmuan
Integratif-Interkonektif
Amin Abdullah Bagi Ilmu Pendidikan Islam, Mukaddimah, Vol. 18 No. 1, 2012
www.hasrof.com/2014/01/epistemologi-Keilmuan-re-integratif-html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar