Kaidah-kaidah umum penafsiran Al-Quran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Di dalam pandangan Islam secara umum, dapat dikatakan bahwa Ilmu Tafsir
merupakan salah satu ilmu yang paling mulia dan paling baik.Hal ini dapat dipahami
dari perintah Allah untuk merenungkan dan memikirkan kandungan makna-makna
Al-Qur’an, serta menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk kesalamatan dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Al-Qur’an merupakan
kitab suci yang dijadikan pedoman paling utama oleh umat Islam, baik segi ibadah,
syari’ah, maupun pedoman umat Islam lainnya.Untuk itulah umat Islam diwajibkan
untuk mempelajarinya agar hidupnya tidak tersesat. Namun tidak cukup mudah
untuk mempelajari dan memahami isi dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, karena
Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk bahasa arab sehingga membutuhkan seseorang
(guru) yang kompeten dibidangnya baik segi qiro’ahnya, nahwu sorobnya,
tafsirnya, maupun yang lainnya.[1]
Seseorang yang bisa
menjadi mufassir harus benar-benar menguasai dalam hal-hal yang berhubungan
dengan penafsiran, seperti harus memiliki keperibadian yang terpuji, benar akidahnya dan komitmen
terhadap sunnah agama, di dalam hatinya tidak ada kesombongan dan cinta dunia
serta gemar melakukan dosa, seperti pendapat Imam Abu Talib al-Tabary– yang dikutip oleh Khālid Abd
al-Rahmān–
mengatakan di bagian awal tafsirnya mengenai adab-adab seorang mufassir, "Ketahuilah
bahwa di antara syarat mufassir yang pertama kali adalah benar akidahnya dan komitmen
terhadap sunnah agama. Sebab, orang yang tertuduh dalam agamanya yang tidak
dapat dipercaya dalam urusan duniawi, maka bagaimana dalam urusan agama?
Kemudian ia tidak dipercaya dalam agama untuk meriwayatkan dari seorang alim,
maka bagaimana ia dapat dipercaya untuk memberitahukan rahasia-rahasia Allah
ta'ala? Sebab ia tidak dipercaya apabila tertuduh sebagai atheis dan ia
cenderung akan mencari-cari kekacauan serta menipu manusia dengan kelicikan dan
tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Batiniyah dan sekte Rafidah ekstrim.
Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut hawa nafsu, ia tetap tidak dapat
dipercaya karena akan menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan hawa nafsunya agar
sesuai dengan bid'ahnya seperti kebiasaan sekte Qadariyah. Salah seorang di antara
mereka menyusun kitab dalam tafsir dengan maksud sebagai penjelasan paham
mereka dan untuk menghalangi umat dari mengikuti salaf dan komitmen terhadap
jalan petunjuk".[2]
Sedangkan Imam al-Zarkazy mengatakan :
“Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna
wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya apabila di dalam
hatinya terdapat bid’ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar
melakukan dosa, atau lemah iaman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir
yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan
penutup dan pengahalang yang sebagaiannya lebih kuat daripada sebagian yang
lainnya”.[3]
Melihat
apa yang disampaikan oleh al-Zarkazy di atas, al-Suyūty mengomentari:
"Saya katakan, inilah makna firman Allah ta'ala,
"سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي
الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ..."
Aku akan memalingkan orang-orang
yang menyombongkan dirinya di muka bumitanpa alasan yang benar dari tanda-tanda
kekuasaan-Ku.
Mengutib
perkataan dari Sufyān bin 'Uyainah yang mengatakan bahwa: Para ulama
mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman
mengenai Al-Qur’an. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.[4]
Sedangkan
Manna' Al-Qattan menyebutkan sebelas etika yang harus dimiliki oleh seorang
mufassir, yaitu:
1. Berniat baik dan bertujuan benar
2.
Berakhlak baik
3.
Taat dan beramal
4.
Berlaku jujur dan teliti dalam
penukilan
5.
Tawadu' dan lemah lembut
6.
Berjiwa mulia
7.
Vokal dalam menyampaikan kebenaran
8. Berpenampilan baik (berwibawa dan
terhormat)
9. Bersikap tenang dan mantap
10.
Mendahulukan orang yang lebih utama
daripada dirinya
Dari
penjelasan di atas etika mufassir tersebut besifat umum seperti, barakhlak
baik, niat yang baik, terbebas dari hawa nafsu, dan lainnya dan ada yang
bersifat khusus seperti, tawadhu' dan lemah lembut, bersikap zuhud
terhadapdunia, dan lainnya.Oleh penulis,
Manna' Al-Qattan, etika yang khusus tersebut disebutkan secara tersendiri
karena dianggap sangat penting dan perlu diperhatikan.
Selain itu
ada beberapa hal yang wajib dihindari
mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an, perkara-perkara tersebut adalah:
1.
Terlalu
berani menjelaskan maksud Allah ta'ala dalam firman-Nya padahal tidak
mengetahui
tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu
yang
baru boleh menafsirkan jika menguasainya.
2.
Terlalu
jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti
perkara-perkaramutashabihat.
Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani
membicarakansesuatu
yang ghaib setelah Allah ta'ala menjadikannya sebagai
salah
satu rahasia-Nya dan hujjah atas hamba-hamba-Nya.
3.
Mengikuti hawa nafsu dan anggapan
baik (istihsan).
4.
Menafsirkan Al-Qur’an untuk
menetapkan madhhab yang rusak dengan menjadikan
madhhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir
mengikutinya. Akibatnya,
seseorang akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna
ayat sesuai dengan
akidahnya dan mengembalikannya pada madhhabnya dengan segala
cara.
5.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan
memastikan bahwa maksud Allah begini dan begitu
tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang secarasyar'i
berdasarkan firman
Allah ta'ala,
"...وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ"
Dan
(janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahu.[6]
Sebenarnya banyak sekali
ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang harus diketahui dan dikuasai oleh seorang
mufassir baik yang bersiafat khusus
maupun yang bersifat umum. Namun pada makalah ini penulis hanya memfokuskan
dalam pembahasan Kaidah-kaidah Umum Penafsiran Al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Kaidah dan Tafsir ?
2.
Bagaimana Kaidah-kaidah Umum Penafsiran Al-Qur’an ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian Kaidah dan Tafsir.
2.
Mengetahui Kaidah-kaidah Umum Penafsiran Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kaidah dan Tafsir.
Kata “kaidah” oleh Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
diartikan dengan “patokan, dasar, aturan yang sudah pasti, rumusan yang menjadi
hukum, asas-asas yang menjadi hukum”.[7]Dalam bahasa Arab, قاعدة /kaidah
diartikan “asas/ fondasi” jika ia dikaitkan dengan bangunan, dan ia
bermakna “tiang” jika dikaitkan dengan“ kemah”.[8]
Dalam
pengertian istilah, kaidah adalah ketentuan umum yang dengannya diketahui
ketentuan-ketentuan menyangkut rincian.[9]Jadi,
“ Kaidah” merupakan patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam
bertindak atau mengambil keputusan.
Secara
etimologis, "tafsir” berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan
menurut istilah, “tafsir” adalah ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan
lafadh-lafadh Al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan
hukum-hukumnya,baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna
yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.[10]Jadi,
“tafsir” merupakan penjelasan tentang ayat-ayat (Al-Qur’an) sehingga maksudnya
menjadi jelas dimengerti.
Dari
beberapa pengertian tersebut di atas, “Kaidah Tafsir” dapat diartikan
sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman
atas petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Oleh karena panafsiran merupakan suatu
aktivitas yang senantiasa berkembang, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat
jika dilihat sebagai prosedur kerja.
B. Kaidah-kaidah Umum Penafsiran Al-Qur’an
1. Tata Cara Menafsirkan Al-Qur’an
Setiap
orang yang ingin mencapai suatu tujuan, tentu akan berhasil dan sukses dalam
mencapai tujuan tersbut apabila ia menempuh jalan melalaui “pintu-pintu” dan
cara-cara yang sesuai dengan tujuannya itu. Al-Qur’an diturunkan Allah sebagai
petunjuk dan pembimbing makhluk-makhluk-Nya di setiap ruang dan waktu.Al-Qur’an
juga mengantarkan dan mengarahkan mereka ke jalan yang paling lurus. Allah
berfirman :
إ ن هذ ا ا لقرءان يهد ى للتى هى أقو
م
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.”[11]
(Al-Isra’: 9)
Agar
fungsi-fungsi Al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan
makna-makna firman Allah saat menafsirkan Al-Qur’an, sebagaimana para sahabat
Rasulullah dahulu telah menemukan makna-maknanya sesuai dengan masa dan tempat
mereka.
Al-Qur’an
memberikan petunjuk terbaik dalam hidup kita, maka untuk mencapai petunjuk
dengan maksimal kita harus mengkaji, menafsirkan dan mendalami Al-Qur’an[12]sebagaimana
para sahabat Nabi mempunyai kebiasaan, berhenti terlebih dahulu setiap kali
mereka telah membaca lebih kurang sepuluh ayat Al-Qur’an. Mereka baru akan
melanjutkan bacaannya setelah memahami dengan tepat makna ayat-ayat yang telah
mereka baca itu, baik yang berkaitan dengan masalah iman, ilmu, maupun amal.
Mereka pun menerapkan makna ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Cara
yang mereka tempuh pertama ialah, meyakini dan mengimani segi-segi
akidah dan informasi yang ada di dalam Al-Qur’an.Kedua, mematuhi
perintah dan larangan serta mempraktikkannya dalam perilaku sehari-hari, baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap orang-orang di sekeliling mereka.[13]
Seseorang yang hendak menafsirkan
Al-Qur’an (calon mufassir), hendaknya terlebih dahulu mengetahui dan meyakini
dengan baik bahwa Al-Qur’an berisi berbagai informasi keilmuan, dan mengayomi
segala bentuk kemaslahatan manusia, dengan cara menguraikan ilmu dan merangsang
orang untuk meraih kemaslahatan tersebut, serta mencegah segala bentuk bahaya
dan kemudaratan yang akan menimpa manusia.
Selanjutnya, hendaknya orang
tersebut menjadikan tata cara dan aturan penafsiran Al-Qur’an sebagai suluh
pandangan dan pemikiran, serta mempergunakannya untuk mengamati berbagai
peristiwa yang telah lalu maupun yang akan datang.
2.Kewajiban
Memperhatikan Konsekuensi Makna Redaksi Al-Qur’an
Memahami
dan memperhatikan redaksi ayat haruslah dengan konsekuensi makna yang relevan,
yang tujuannya adalah merangsang ketajaman berfikir, mencerahkan prespektif normative,
meluaskan khazanah dan juga mengkonsistensikan tujuan kita dalam menafsirkan
redaksi makna dalam al-Qur’an.[14]Sebagai
calon mufassir, dituntut untuk memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian
makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, disamping itu harus tetap
memelihara dan memperhatikan semua konsekuensi (al-lawazim) makna yang
terkandung dalam redaksi ayat, serta makna lain yang mengarah kepadanya, yaitu
makna yang tidak terjangkau oleh penyebutan redaksi ayat, tetapi relevan
dengannya. Makna-makna ayat tersebut dapat dijadikan sebagai landasan penetapan
suatu hukum.
Langkah
pertama yang perlu anda tempuh untuk menerapkan pedoman di atas ialah, memahami
pengertian-pengertian yang ditunjuk oleh redaksi suatu ayat.Setelah itu,
pikirkanlah masalah-masalah yang berkaitan dengan makna tersebut.Pikirkan pula
hal-hal yang menjadi dasar dan prasyarat terwujudnya masalah
tersebut.Selanjutnya, kembangkan kemungkinan masalah-masalah yang timbul dari
makna tersebut dan makna yang didasarkan atasnya.Kemudian, lakukanlah
perenungan terhadap hal-hal tadi secara berulang-ulang dan berkesinambungan,
sampai akhirnya anda memiliki kepekaan dalam menyelami makna-makna yang pelik dan
sukar.[15]
Di bawah ini dikemukakan beberapa
contoh untuk memperjelas pedoman di atas, sebagai berikut :
a. Tentang Penafsiran Al-Asma’
Al-Husna; Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim
Lafal
Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim menunjukkan, Allah menyifati diri-Nya dengan kasih dan
sayang yang maha luas. Setelah kita mengetahui bahwa tidak ada seorang pun dan
apa pun yang memiliki sifat yang menyerupai kedua sifat-Nya itu, karena
rahmat-Nya ditaburkan kepada semua makhluk, dan tak satu makhluk pun yang tidak
menerima rahmat walaupun sekejap mata, maka kita dapat memahami
konsekuensi-konsekuensi makna yang timbul dari keduanya, yaitu sebagai berikut.
Pertama,
kedua sifat tersbut menunjukkan kesempurnaan pada hidup Allah, pada kekuasaan,
pada cakupan ilmu, pada keberlakuan kehendak, dan pada kebijaksanaan-Nya,
karena rahmat-Nya terikat pada sifat-sifat tersbut scara utuh.
Kedua,
bahwa syariat yang diturunkan Allah merupakan nur dan rahmat-Nya.Itulah
sebabnya mengapa Al-Qur’an selalu mengaitkan hokum-hukum syara’ dengan rahmat
dan kebaikan-Nya, karena hokum-hukum syara’ merupakan efek dan penjabaran dari
sifat rahmat tersebut.[16]
b. Tentang Perintah dan Anjuran
Berjihad
Beberapa
ayat Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berjihad. Sementara itu, diperintahkan
pula untuk melakukan berbagai persiapan melaksanakan jihad, sebagaimana firman
Allah dalam surah Al-Anfal ayat 60 :
وَأَ عِدّ وألَهُم مَّا آسْتَطَعْتُم
مّن قُوَّةٍ
Dan siapkanlah kekuatanapa saja yang kamu sanggupi untuk
menghadapi
mereka (musuh).[17]
Konsekuensi
yang lahir dari redaksi ayat tersebut ialah, kewajiban mempersiapkan segala
sesuatu agar perintah tersebut dapat terlaksana dengan baik. Mulai dari
persiapan fisik berupa kemahiran menggunakan berbagai senjata, menggunakan
berbagai jenis kenderaan, menciptakan alat-alat perang dan industrinya,
kelengkapan logistic, sampai ke hal-hal yang nonfisik, berupa disiplin militer,
kemampuan menyusun taktik dan strategi perang, kekuatan politik, diplomasi, dan
lain-lain.[18]
c. Tentang Do’a Untuk Menjadi Pemimpin
Dengan menerapkan pedoman yang disebutkan
tadi, dapat dipahami bahwa di dalam do’a seorang hamba, sebagaimana firman
Allah surah Al-Furqan ayat 74 :
وَاجْعَلْنَا لِلْمُتّقِيْنَ اِمَا
مًا
Dan
jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.[19]
Ayat
di atas mengandung makna, disamping memohon agar dijadikan sebagai pemimpin
orang yang bertakwa, maka konsekuensinya, mereka juga memohon (sekaligus
mengusahakan dan melakukan) segala sesuatu yang dapat menyempurnakan
kepemimpinan mereka dalam agama, mulai dari mengusahakan berbagai ilmu
pengetahuan dan ma’rifah, melakukan amal shaleh, sampai pada mempraktikkan
akhlak utama. Sebab do’a seorang hamba kepada Tuhannya agar diberi sesuatu,
berarti memohon dan mengupayakan, segala hal yang berkaitan dengan yang
dimohonkannya itu sndiri.
3. Tidak Ada Ayat Al-Qur’an yang Saling
Bertentangan
Apabila ditemukan ayat-ayat Al-Qur’an yang antara satu dan
lainnya sepintas tampak saling bertentangan (ta’aarudh), dapat dipastikan bahwa
pertentangan itu terjadi sebagai akibat dari kekurangjelian dalam memahami ayat
secara utuh. Sebab jika masing-masing ayat Al-Qur’an dipahami sesuai konteks
pembicaraannya, anggapan seperti ini tidak akan terjadi.[20]
Ayat-ayat Al-Qur’an secara lahir dapat menimbulkan anggapan saling bertentangan
antara lain, sebagai berikut :
a. Tentang Keadaan Orang Kafir Pada
Hari Kiamat
Di dalam
beberapa ayat Al-Qur’an disebutkan, orang-orang yang menentang Allah tidak akan
berbicara pada hari kiamat seperti terdapat pada surah Yasin ayat 65 :
ا ليو م نختم على أ فوا ههم و تكلمنا
أ يد يهمم و تشهد أ ر جلهم بما كا نو ا يكسبو ن
Padahari ini Kami tutup mulut
mereka, dan berkata kepada kami tangan
mereka, dan memberi kesaksian kaki
mereka terhadap apa yang dahulu
mereka usahakan.[21]
Demikian juga pada surah Al-Mursalat
ayat 34-35
و يل يو مئذ للمكذ بين ( ) هذ
ا يو م لا ينطقو ن ( )
Kecelakaanbesarlah pada hari itu
bagi orang-orang yang mendustakan. Ini
adalahhari
(kiamat), yang mereka tidak dapat berbicara.[22]
Sedangkan padaayatyang lain disebutkan
pula bahwa mereka akan berbicara,
membantah, dan mengemukakan alasan-alasan kekafiran mereka.Misalnya,disebutkan
pada surah Thaahaa ayat 124-125 :
و من أ عر ض عن ذ كر ى فإ ن له معيشة
ضنكا و نحشر ه يو م ا لقيمة أ عمى ( )
قا ل ر ب لم حشر تنيي عمى و قد كنت
بصيرا ( )
Danbarangsiapaberpaling
dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
kehidupan
yang sempit, dan Kami akan
mengumpulkannya pada hari kiamat
dalam keadaan
buta. Ia berkata :
“Ya Tuhanku, mengapa Engkau
mengumpulkankudalam
keadaan buta, padahal aku dahulunya
adalah
seorangyang
melihat?”[23]
يأ يها ا لذ ين كفروأ لا تعتذ روأ اليوو م إ نما تجزو ن ما كنتم
تعملو ن ( )
Hai orang-orang kafir, janganlah
kamu mengemukakan uzur pada hari
ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi
balasansesuai apa yang kamu
kerjakan. [24](
At-Tahrim : 7 )
Koanteks ayat yang menyebutkan
mereka nanti berbiacara, sebenarnya terjadi dalam proses awal pengadilan akhirat. Ketika itu, mereka
melakukan protes dan mengingkari perbuatan mereka di dunia.Akan tetapi setelah
mulutnya ditutup, sedangkan anggota badannya bersaksi atas semua perbuatan, dan
akhirnya mereka berpendapat sia-sia saja berbohong dan mengajukan alasan untuk
melepaskan diri dari siksaan neraka, maka lidah mereka pun menjadi kelu, tak
dapat berbicara.
b. Tentang Perintah Berjihad
Banyak ayat
Al-Qur’an yang memerintahkan kaum muslimin melakukan jihad, misalnya, pada
surah At-Taubah ayat 41 :
اِنْفِرُوْاخِفَافا وَثِقَالاوَجاَهِدُ
وْا بِأمْوَالِكُمْ وَ اَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّه ذ لِكُمْ خَيْر لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُوْنَ
Berangkatlah
kamu, baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat,
danberjihadlah
kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah; Yang demikian itu
adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.[25]
Akan tetapi dalam beberapa ayat lain
diperintahkan pula agar umat Islam selalu mempertahankan sikap fasif dan
menerima kenyataan, sebagaimana diperintahkan pada surah Ali ‘Imran ayat 186 :
لَتُبْلَوُ نَّ فِى أَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُ اآلْكِتبَ مِنْ قَبْلِكُمْ
وَمِنَ آلَّذِيْنَ أَشْرَكُواأَذى كَثِيْرًا وَإِنْ تَصْبِرُواوَتَتّقُوْا فَإِنّ
ذلِكَ مِنْ عَزْمِ آللأ مُورِ
Sungguh
kamu akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan sungguh kamu
akanmendengar
dariorang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari
orang-orang
yang mempersekutukan Allah,banyak gangguan yang menyakitkan
hati,
jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu
termasuk
urusan yang patut diutamakan.[26]
Sesuai
konteksnya masing-masing, ayat yang memerintahkan memperhatahankan sikap pasif
adalah ketika kondisi umat Islam masih belum mampu untuk melakukan jihad dengan
kekuatan fisik. Sedangkan ayat-ayat yang memerintahkan jihad adalah ketika kaum
muslim sudah sanggup untuk melakukannya. Di samping itu, jihad secara fisik itu
dilakukan demi kemaslahatan umat Islam dan membela diri dari serangan musuh.
4. Petunjuk Al-Qur’an Tetap Relevan
Dalam Setiap Ruang dan Waktu
Petunjuk dan ketentuan Al-Qur’an yang berkaitan dengan
adat kebiasaan yang baik (al-‘urf), tetap sejalan dan seirama dengan
dinamika waktu, tempat, dan keadaan.[27]
Allah
memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada keluarga, tetangga, teman-teman,
sesuai dengan fireman-Nya dalam surah Al-Isra’ ayat 26 :
و ءا ت ذا ا لقر بى حقه والمسكين وابن
السبيل ولا تبذ ر تبذ يرا
Dan
berikanlah kepada keluarga-keluargayang dekat akan haknya, kepada
orangmiskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.[28]
Ukuran,
jenis, bentuk, macam, dan model kebaikannya adalah yang dipandang dan dinilai
baik oleh masyarakat pada umumnya (menurut adat dan kebiasaan), sepanjang hal itu
tidak bertentangan dengan hukum syara’.
Demikian
halnya mengenai pergaulan keluarga yang baik; sesuai dengan adat dan kebiasaan
masing-masing.Lingkungan masyarakat tertentu selalu melahirkan penilaian
berbeda tentang bentuk pergaulan keluarga yang dipandang baik.Penilaian yang
berbeda-beda dan selalu berubah-ubah menurut waktu dan tempat, tentu tidak
mungkin diperinci satu per satu. Karena itu, secara umum Allah memerintahkan
para suami berlaku baik terhadap para istrinya, Allah menyerahkan aturan
pergaulan, hak dan kewajiban suami istri yang baik kepada pertimbangan dan
penilaian ‘urf yang berlaku pada waktu dan di lingkungan masyarakat
tempat suami-istri itu berada. Ketentuan umum untuk berbuat baik pada keluarga
tersebut diketahui dari perintah Al-Qur’an, surah An-Nisaa’ ayat 19 :
وعا شروهن بالمعروف فإ ن كر هتمو هن
فعسى أن تكر هوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
Dan
bergaullah dengan mereka (para istri) dengan carayang ma’ruuf.
Kemudian
bilakamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkinkamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya
kebaikan
yang banyak.[29]
Demikian
juga pada surah Al-Baqarah ayat 228 :
و لهن مثل ا لذ ى عليهن بالمعر وف
Dan para istri mempuyai
hak yang seimbang dengan kewajiban mereka, dengan
cara
yang ma’ruf.[30]
Melalui
kedua ayat yang singkat di atas, Allah memerintahkan kita untuk mengadakan
suasana dan mengikuti peraturan pergaulan keluarga yang dipandang baik oleh
adat kebiasaan, sesuai dengan tempat dan waktu yang kita diami.
5. Pengertian yang Samar Dirujukkan
Kepada yang Jelas
Untuk memperjelas
masalah-masalah yang samara atau meragukan, Al-Qur’an mengajarkan agar
merujukkannya kepada permasalahan yang sudah jelas statusnya. Ketentuan ini
biasanya dirumuskan dalam ungkapan-ungkapan, antara lain :
ا لمو هو م لا يد فع ا لمعلو م
Sesuatu yang meragukan tidak dapat
mengenyampingkan sesuatu
yang meyakinkan.
ا لمجهو ل لايعا ر ض ا لمحقق
Sesuatu yang tidak diketahui tidak
dapat mengimbangi sesuatu yang telah
jelas.[31]
Kandungan
makna yang terdapat di dalam kaidah di atas antara lain dirumuskan dari
ayat-ayat Al-Qur’an surah Ali ‘Imraan ayat 7 :
هو الذ ى أنزل عليك الكتب منه ءايت
محكمت هن أم الكتب وأخر متشبهت فأ ما الذ
ين فى قلو بهم زيغ فيتبعو ن ما تشبه منه ابتغا ء الفتنة وابتغا ء تأويله وما يعلم تأ ويله إلا الله
والر سخو ن فى العلم يقو لون ءامنابه
كل من عند ربنا وما يذ كر إلا
أولوأ الأ لبب ( )
Dia
(Allah) yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isi)-
nya,ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an.
sedangkanyanglain
ialah (ayat-ayat) yang mutasyaabihaat. Adapun orang-
orang
yang qalbunya condong pada kesesatan, maka mereka mencari-cari takwil
ayat-ayatmutasyaabihaat
itu untuk menimbulkan fitnah, padahal yang
mengetahui
takwilnya hanyalah Allah.Dan (sedangkan) orang-orang yang
mendalamilmunya,
mereka berkata : “Kami mempercayai ayat-ayat
mutasyaabihaat
itu; semuanya dari sisi Tuhan kami”. Danyang dapat mengambil
pelajaran
darinya hanyalah orang-orang yang berakal.[32]
Dari
kutipan ayat panjang di atas, khususnya dari penegasan ar-raasikhuun fii
al-‘ilm(orang-orang yang ilmunya sangat mendalam), dapatlah dipahami bahwa
karena ayat-ayat muhkamaat adalah jelas, maka semua pengertian ayat-ayat
mutasyaabihaat dirujukkan kepada ayat muhkamaat.
Ayat Al-Qur’an lain yang
memerintahkan hal tersebut ialah, teguran Allah kepada para sahabat Nabi SAW.
berkaitan dengan sikap tidak tegas dan rasa bingung mereka ketika menerima
berita bohong yang disebarkan kaum munafik terhadap saudara seiman mereka,
yaitu peristiwa hadits al-ifk (berita bohong). Ayat tersebut terdapat
dalam surah An-Nuur ayat 12 :
لولا إذ سمعتمو ه ظن المؤمنون والمؤ
منت بأنفسهم خيرا وقالوأ هذا إفك مبين
Mengapa
ketika kamu mendengar berita bohong itu, orang-orang mukminin
dan
mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan
(mengapamereka tidak) berkata : “Ini adalah
berita bohong yang nyata.”[33]
Dalam
menghadapi berita samar dan bohong, ayat ini memerintahkan agar seharusnya umat
Islam berpegang kepada pengetahuan mereka yang jelas dan tegas tentang keimanan
saudara mereka sesama mukminin. Bukankah keimanan akan menghindarkan mereka
dari perbuatan-perbuatan tercela? Bukankah dengan berpegang kepada pengetahuan
yang jelas dan tegas itu lebih menyelamatkan daripada terombang-ambing oleh
berita bohong yang disiarkan orang-orang mnafik?
6. Semua Ayat yang Menimbulkan Keraguan
Ada Penjelasannya
Setiap
kali kita memerlukan jawaban atas suatu persoalan, atau dibenak kita timbul
keragu-raguan dan kesamaran tentang maksud suatu ayat Al-Qur’an, maka kita akan
menemukan penjelasan dari ayat lainnya. Sebabnya, tak satu pun hukum atau
informasi Allah di dalam Al-Qur’an yang dapat menimbulkan keraguan, yang tidak
disertai penjelasan.Kenyataan ini merupakan bukti betapa besar dan dalamnya
karunia dan hikmah Allah SWT.[34]
Kaidah di atas akan dijelaskan dengan di antara contoh berikut.
Di dalam surah An-Naml ayat 91
Allah berfirman :
إنما أ مر ت أن أعبد رب هذهالبلدة
الذى حر مها
Aku
hanya disuruh untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekkah), (yaitu)
Tuhanyang
menjadikannya suci.[35]
Di dalam ayat ini, yang disebut
hanya Mekkah, sehingga mungkin timbul keragu-raguan di dalam benak orang;
apakah sifat rububiyah Allah khusus
untuk kota Mekkah? Keragu-raguan itu segera dihilangkan oleh penegasan
yang terdapat pada lanjutan ayat tersebut surah An-Naml ayat 91 :
وَلَهُ كُل شَىءٍ
Dan kepunyaan-Nya segala sesuatu.[36]
Pada Surah Huud ayat 109 Allah
berfirman :
فَلاَ تَكُ فِى مِرْ يَةٍ مّمَّا
يَعْبُدُ هَؤُ لاَءِ
Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang yang
mereka
sembah(berhala).[37]
Dari
ayat ini dapat timbul keragu-raguan, apakah di dalam menganut kemusyrikan itu,
orang-orang kafir memiliki alasan atau argumen yang dapat diterima? Keraguan
ini ditegaskan oleh Al-Qur’an pada lanjutan surah Hud ayat 109 :
مَا يَعْبُدُونَ إِلاَّ كَمَا
يَعْبُدُ ءَابَاؤُهُم مّن قَبْلُ
Mereka tidak menyembah melainkan sebagaimana
nenekmoyang mereka
menyembahsebelumnya.[38]
Lanjutan ayat ini menegaskan,
kesesatan itu disebabkan sikap taklid buta terhadap nenek moyang dan kebodohan
yang mencengkeram pemikiran mereka.
Kemudian, jika muncul pertanyaan
apakah orang-orang musyrik memiliki keyakinan teguh dan merasa tenteram dengan
pernyataan-pernyataannya? Pertanyaan itu terhapus seketika karena adanya
penegasan pada lanjutan ayat berikutnya pada surah Huud ayat 110 :
وَإِ نَّهُمْ لَفِى شَكّ مّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan sesungguhnya mereka (orang-orang
kafir Mekah itu) benar-benar berada
dalamkeraguan tentang hal itu.[39]
Ayat di atas menjelaskan, sebenarnya
mereka tidak mempunyai kemantapan iman terhadap agama yang mereka anut. Mereka
juga tidak merasa tenteram dengan balasan yang akan mereka terima kelak di
akhirat.
7.
Merujukkan
Ayat Mutasyabih kepada Ayat yang Muhkam
Beberapa ayat Al-Qur’an menyebutkan
Allah Mahakuasa terhadap segala sesuatu.Dialah yang memberi petunjuk atau
menyesatkan manusia. Ayat-ayat yang menyebutkan hal ini antara lain, terdapat
pada surah Al-Baqarah ayat 20:
إِنَّ الله عَلَى كُلّ شَىْ ءٍ
قَدِيْر
Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.[40]
Kemudian firman Allah surah
Al-Fathir ayat 8, berbunyi :
فَإِنّ اللَّه يُضِلُّ مَنْ يَشَآءُ
وَيَهْدِ ى مَنْ يَشَآءُ
Maka sesungguhnya Allah menyesatkan
siapa pun yang dikehendaki-Nya dan
menunjuki yang dikehendaki-Nya.[41]
Apabila hanya membaca kelompok ayat
di atas, dapat timbul dugaan bahwa pernyataan yang terdapat di dalamnya
bertentangan dengan hikmah Allah.Seolah-olah Allah memberi petunjuk atau
menyesatkan hamba-Nya secara acak dan tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi,
dugaan tersebut dihapuskan oleh ayat-ayat lain yang menjelaskan: Petunjuk
diberikan Allah melalui sebab-sebab yang dilakukan oleh orang yang mendapat petunjuk
itu. Ayat yang menjelaskan hal ini antara lain : surah Al-Maidah ayat 16 :
يَهْدِى بِهِ آللَّه مَنِ آتّبَعَ
رِضْو نَهُ سُبُلَ آلسّلمِ وَيُخْرِجُهُم
مّنَ آلظلُمتِ إِلَى آلنّورِبِإِذ نِهِ وَيَهْدِيهِمْ
إِلى صِرطٍ مُّسْتّقِيمٍ
Dengan Kitab itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya
kejalan-jalankeselamatan, dan
mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada
cahaya yang terang benderang dengan
seizing-Nya, dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus.[42]
Adapun orang-orang “yang disesatkan”
Allah, karena mereka sendiri telah menjadikan setan sebagai pelindung mereka.
Firman Allah padaSurah Al-A’raaf ayat 30 :
فَرِيْقا هَدى وَفَرِيْقا حَقَّ عَلَيْهِمُ
آلضَّللة إِنّهُم آتّخَذ وأ آلشّيطِينَ
أوْلِيَآءَ مِنْ دُ ون آللّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُ و نَ
Sebagian diberi-Nya petunjuk dan
sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi
mereka;sesungguhnya mereka
menjadikan setan-setan sebagai pelindung selain
Allah, danmereka mengira bahwa
mereka mendapat petunjuk.[43]
Kita menjadi mengerti, bahwa
ayat-ayat yang bersifat umum di satu bagian Al-Qur’an, diterangkan oleh
ayat-ayat Al-Qur’an lainnya.Yang belum jelas di satu ayat, ditegaskan oleh ayat
lainnya.Ayat-ayat mutasyaabih disatu bagian Al-Qur’an, menjadi muhkam
karena dijelaskan oleh ayat-ayat lannya.[44]
Adapun ayat-ayat perintah atau
larangan yang sudah dikenal dan dimengerti oleh masyarakat, seperti shalat dan
zakat, atau larangan berzina dan berlaku zalim, tidak lagi dipandang sebagai mutasyaabih,
walaupun perintah atau larangan tersebut dinyatakan secara umum saja.Fungsi
ayat-ayat tersebut lebih bersifat mengarahkan, menyadarkan, dan meluruskan
pandangan, serta menegaskan sesuatu yang sebelumnya diragukan pengertian atau
kedudukan hukumnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian
tersebut di atas dapat dibuat beberapa kesimpula sebagaiberikut :
A.
Kaidah Tafsir adalah sebagai pedoman dasar yang
digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an. Oleh karena itu penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa
berkembang. Kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai
prosedur kerja.
B. Kaidah-kaidah
umum penafsiran Al-Qur’an, sebagai berikut :
1.
Tata cara menafsirkan Al-Qur’an
2.
Kewajiban memperhatikan konsekuensi makna redaksi
Al-Qur’an
3.
Tidak ada ayat Al-Qur’an yang saling bertentangan
4.
Petunjuk Al-Qur’an tetap relevan dalam setiap ruang
dan waktu
5.
Pengertian yang samar dirujukkan kepada yang jelas
6.
Semua ayat yang menimbulkan keraguan ada penjelasannya
7.
Merujukkan ayat Mutasyabih kepada ayat yang Muhkam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah
Tafsir, Amzah, Jakarta, 2010
bloguin-malang.ac.id/jafar/2011/05/28/halo-dunia/
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Pustaka Agung Harapan, Jakarta,
2006
ibnuumarbgr.wordpress.com/artikel/musthalahul-hadits
Jalal al-Din al-Suyyuti, al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II, Dar
al-Fikr, Bairut , 1996
Khalid Abd Rahman, Usul al-Tafsir
Wa Qawaidah, Dar al-Nafais, Bairut, 1986
kumpulanmakalah123.blogspot.com/2014/03/makalah-kaidah-kaidah-penafsiran-al-html
Manna’
Khalil al-Qattan, Mabahith fi‘Ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo,
2000
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,
Lentera Hati, Tangerang, 2013
Muhammad Ibn Abd Allah al-Zarkazy, al-Burhani
fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Turath,
Kairo
Muhammad Husain al-Dhahaby, ‘Ilm
al-Tafsir, Darul Hadist, Kairo, 2005
Usthasbullahahmadma,blogspot.com/2013/04/blog-post-html
Windy Novia, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, Kashiko, Surabaya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
KAIDAH TAFSIR 1
Prof.
Dr. M. Quraish Shihab, MA
Mempelajari
al-Qur’an bagi setiap muslim merupakan salah satu aktivitas terpenting,
bahkan Rasul saw. menilai bahwa: Sebaik-baik kamu adalah siapa yang
memelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.Hanya saja sementara orang
mengeluhkan sulit dan lamanya mempelajari kitab suci itu yang terdiri dari enam
ribu ayat lebih. Pengalaman membuktikan bahwa pengajaran tafsir di Perguruan-perguruan
Tinggi Islam dengan cara yang ditempuh selama ini tidak lebih dari empat puluh
ayat setiap semesternya. Ini berarti hanya sekitar 10% dari ayat-ayat Al-Qur’an
yang dapat dijelaskan di hadapan kelas.Itu pun belum tentu sebagian besar
kandungannya telah dicerna oleh mahasiswa.
Sejak
sekian tahun yang lalu[1] penulis mengajak peminat studi Al-Qur’an di
lembaga-lembaga Pendidikan agar meninjau kembali penekanan dalam mengajarkan
Al-Qur’an. Yakni agar menekankan pada kaidah-kaidah Tafsir karena dengan
penguasaan kaidah-kaidah itu, seorang peminat studi Al-Qur’an akan memeroleh
bimbingan – melalui kaidah-kaidah itu saat menemukannya pada ayat-ayat
serupa –walau tidak dipelajarinya dalam kelas.
Disadari
bahwa banyak pihak yang belum memahami apa yang dimaksud dengan “Kaidah-kaidah
Tafsir”, lebih-lebih aneka kaidahnya. Hal itu disebabkan antara lain karena
buku-buku tentang hal tersebut cukup langka apalagi dalam bahasa Indonesia.
Karena itu, Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), Jakarta, berusaha menutupi kelangkaan
itu dengan mengajak sekian Guru Besar dalam bidang Tafsir untuk menulis dan
menghidangkannya kepada para peminat studi Al-Qur’an dalam sebuah buku yang
akan dilengkapi dengan modul-modul untuk memudahkan pemahamannya.
Apa yang dimaksud dengan Kaidah Tafsir?
Kata
“kaidah” oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “Rumusan
asas-asas yang menjadi hukum; aturan tertentu; patokan; dalil (dalam
matematika)”.
Dalam
bahasa Arab, قاعدة /kaidah diartikan “asas/ fondasi” jika ia
dikaitkan dengan bangunan, dan ia bermakna “tiang” jika dikaitkan dengan
kemah.Dalam pengertian istilah, ditemukan beberapa penjelasan. Syarif
al-Jurjâny (1339- 1413) dalam bukunya “at Ta’rifât“ menulis bahwa:
Kaidah adalah قضية كلية منطبقة على جميع جزئيتها Rumusanyang bersifat
kully (umum) mencakup semua bagian-bagiannya.”
Khâlid
bin Usman as-Sabt, salah seorang ulama kontemporer, dalam bukunya “Qawâ’id
at-Tafsîr Jam’(an) Wa Dirâsat(an), mendifiniskan kaidah sebagai حكم كلي يتعرف بها على احكام جزئية yakni “Ketentuan umumyang dengannya diketahui
ketentuan menyangkut rincian”.
Kedua
difinisi di atas menggarisbawahi bahwa kaidah mencakup semua
bagian-bagiannya.Namun dalam kenyataan tidak jarang ditemukan bagian yang
menyimpang dari kaidah umum itu. Menanggapi kenyataan di atas, ada ulama yang
menegaskan bahwa memang demikian sifat kaidah –lebih-lebih dalam hal-hal yang
bersifat teoritis. Yakni kalaupun rumusan pengertian istilah kaidah
mengandung makna bahwa ia mencakup segala rinciannya, namun secara substansial
sejak semula para perumus tidak memaksudkkan dari kata kully /umum sebagai
mencakup segala sesuatu tanpa kecuali. Apa yang tidak tercakup itu
dinamaiSyâdz oleh pakar-pakar bahasa, yakni menyimpang dalam arti
tidak dicakup oleh kaidah. Dalam hal yang semacam ini kita tidak dapat berkata
bahwa yang menyimpang /tidak tercakup itu salah.Ia hanya tidak dicakup
oleh kaidah karena kelemahan perumus dalam merumuskan, atau karena jarangnya
kasus itu dan bisa juga karena adanya pertimbangan-pertimbangan makna yang
mendorong dipilihnya sesuatu yang dinilai menyimpang itu. Sebagai contoh dari
kaidah kebahasaan dalam kaitannya dengan Al-Qur’an adalah firman-
Allah إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ
الْمُحْسِنِينََ
(Q.S. al-A’râf [7]:56. Kalau mengikuti kaidah kebahasaan maka
kata قَرِيبٌ (Qarîb) seharusnya قريبة (Qarîbatun) karena ia menyifati
kata رحمة (rahmat), sebab menurut kaidah “Sifat/adjektive
mengikuti keadaan yang disifatinya”. Bila yang disifati tunggal,
dual, jamak, feminin atau maskulin, maka adjektive-nya pun
demikian. Banyak jawaban yang diberikan menyangkut ayat di atas yang tidak
sejalan dengan kaidah. Namun berpagi-pagi harus digarisbawahi bahwa kaidah
bahasa Arab dirumuskan jauh setelah turunnya Al-Qur’an, sehingga setiap
ditemukan ayat yang berbeda dengan kaidah bahasa Arab, Al-Qur’an tidak dapat
dipersalahkan. Jangankan Al-Qur’an, konon al-Farazdaq (641-733 M), salah
seorang penyair terbesar masa Umawiyah, pernah berucap yang dinilai oleh
seseorang sebagai keliru dari segi kaidah bahasa. Sang penyair mengecam
pengeritiknya dengan berkata, “Saya yang berbicara dan Anda yang harus
membuatkan kaidah untuk ucapan saya.” Yakni kalaupun ada yang
dipersalahkan, maka itu adalah perumus kaidah yang tidak mampu merumuskan
kaidahnya sehingga tidak mencakup segala bagian-bagiannya.
Dari
sini para pakar memeras keringat untuk mencari jawaban atas “penyimpangan”.
Salah satu jawaban yang terbaik dalam kasus ayat di atas adalah pertimbangan
makna, yakni jika ayat di atas menggunakan kata qarîbatun maka yang
dekat kepada al-Muhsinîn (orang-orang yang mantap kebaikannya)
hanyalah rahmat Allah, padahal ayat ini agaknya bermaksud menjelaskan
bahwa Allah dengan segala anugerah-Nya dekat kepada al-Muhsinĭn, bukan
hanya rahmat-Nya.
Hal
semacam ini banyak ditemukan, baik dalam al-Qur’an maupun
syair-syair dan ungkapan-ungkapan bahasa Arab.
Melihat
dan menyadari kenyataan tentang adanya rincian yang tidak dicakup oleh
kaidah dengan rumusan tentang “Kaidah “ sebagaimana dicontohkan di atas, maka
sementara ulama mendifiniskan kaidah sebagai حكم اغلبي ينطبق على معظم أجزائه yakni Ketetapan yang bersifat umum yang dapat diterapkan
pada kebanyakan bagian-bagiannya”.
Dengan
rumusan ini dapat dihindari kesalahfahaman tentang pengertian kaidah. Di sisi
lain, kesadaran tentang hakikat kaidah seperti dikemukakan di atas –baik dengan
rumusan pertama maupun kedua– kesadaran tentang hal tersebut mengundang
setiap pengamat untuk mencermati kalimat bahkan kata[2], yang ditemukannya
dalam sebuah teks sebelum menerapkan kaidah atau mengecualikan apalagi
mempersalahkan. Ini berlaku pada segala disiplin ilmu seperti Ilmu
Bahasa, Fiqh atau Ushul Fiqh , Tafsir dan lain-lain. Dengan demikian,
tidak setiap menemukan kasus yang terlihat menyimpang, serta merta
dinyatakan bahwa ia syădz/ menyimpang.
Dalam
konteks kaidah kebahasaan yang diadopsi oleh Tafsir, ditemukan misalnya kaidah
yang menyatakan bahwa: Pengulangan kata yang sama dalam satu redaksi, bila
ia berbentuk definite (ma’rafah) maka kata yang pertama sama
kandungan maknanya dengan kata yang kedua; sedangkan bila ia berbentuk indefinite
(nakirah) maka kandungan makna kata yang kedua berbeda dengan yang
pertama. Mereka, misalnya, menunjuk firman Allah dalam surah Alam Nasyrah
[94]: 5-6 فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْراً إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
,Karena sesungguhnya bersama al-‘Usr (kesulitan) ada Yusră (kemudahan) (5);
Sesungguhnya sesudah kesulitanitu ada kemudahan (6). Di sini
kata al-‘Usr (kesulitan) berbentuk definite ditemukan dua kali
masing-masing pada ayat 5 dan 6. Ini berarti keduanya mengandung makna
yang sama, sehingga berarti yusra yang pertama berbeda dengan yusra yang
kedua. Dari sini difahami bahwa setiap ada satu kesulitan dapat ditemukan dua
kemudahan.
Kendati banyak contoh yang dapat membuktikan kebenaran
kaidah ini, namun tidak semuanya demikian.Bacalah firman Allah QS.az-Zukhruf
[43]: 84 yang menyatakan: َ ٍوَهُوَ
الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ
الْعَلِيمُ. Kata إِلَهٌ
Ilah pada ayat ini diulangi dua kali dan keduanya bersifat indefinite
(nakirah ) sehingga sepintas terkesan ayat ini bermakna bahwa ada Tuhan
di langit dan ada lagi Tuhan yang berbeda di bumi. Ini tentu saja bukan makna
yang lurus dan benar.Dari sini ulama-ulama tafsir –tanpa mempersalahkan kaidah–
menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kata Ilăh pada ayat itu bukan
dalam arti zat Allah, tetapi Ketuhanan-Nya. Dengan demikian, ayat di atas
bermaksud menyatakan (wa Allah A’lam) bahwa Ketuhanan Allah berlaku
bukan saja di langit tetapi juga di bumi. Ketuhanan-Nya yang di langit itu
diakui oleh semua penghuninya, sedang Ketuhanan-Nya di bumi tidak demikian.
Bukankah amat banyak manusia yang durhaka bahkan enggan mengakui wujud dan atau
keesaan-Nya ?
Kaidah Tafsir
Salah
satu difinisi Tafsir yang singkat tapi cukup mencakup adalah: Penjelasan
tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Tafsir/penjelasan itu lahir dari upaya sang penafsir untuk beristinbath/
menarik –sesuai kemampuan dan kecenderungannya– makna-makna yang ditemukannya
pada teks ayat-ayat Al-Qur’an.
Dari
sini dan setelah jelas pengertian kaidah yang diuraikan sebelum ini, agaknya
dapat dikemukakan pengertian “Kaidah Tafsir” yaitu: Ketetapan yang bersifat
kully yang membantu seorang penafsir untuk menarik makna/pesan-pesan
Al-Qur’an.” [3]
Ketetapan-ketetapan
itu merupakan “patokan” bagi mufassir untuk memahami kandungan dan pesan
Al-Quran yang dalam penerapannya memerlukan kejelian dan kehati-hatian apalagi
sebagian dari kaidah atau patokan itu dapat memiliki pesan/kesan atau makna
yang bertolak belakang. Sebagai contoh kaidah yang menyatakan: Tanwîn
pada satu kata dapat mengandung makna banyak atau agung dan dapat
juga sebaliknya berarti sedikit. Firman Allah yang berbunyi لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ difahami sebagai pengampunan yang banyak dan agung sedang
pada firman-Nya dalam QS. at-Taubah [9]:72 وَرِضْوَانٌ
مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ
difahami dalam arti sedikit yakni walau sedikit dari
ridha Allah, itu lebih besar dibandingkan dengan surga dengan istana-istananya.
Hal
serupa pada kata هَذَا Hâdzâ. Ia
sekali digunakan untuk menunjukkan kedekatan dan keagungan antara lain yang
menunjuk Al-Qur’an tetapi digunakan juga sebagai penghinaan. Antara lain
sebagaimana ucapan kaum musyrik yang bermaksud melecehkan Nabi Muhammad saw.
dengan ucapan mereka: وَإِذَا رَأَوْكَ إِنْ
يَتَّخِذُونَكَ إِلَّا هُزُوًا أَهَذَا الَّذِي بَعَثَ اللَّهُ رَسُولًا :Dan apabila mereka (kaum musyrik)
melihatmu (wahai Nabi Muhammad), mereka hanyalah menjadikanmu sebagai bahan
ejekan (dengan mengatakan): “Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul?”
(QS. al-Furqân [25]: 41).
Betapapun demikian, atau disebabkan oleh karena itu,
kaidah-kaidah amat dibutuhkan karena ia dapat menjadi tolok ukur bagi mufassir
dalam penafsiran yang dia temukan atau kemukakan serta patokan yang dapat
menghindarkannya dari kesalahan sebagaimana fungsi kaidah-kaidah yang lain.
Kaidah yang disepakati dan tidak disepakati
Tidak
mudah menetapkan atau membatasi jumlah kaidah-kaidah Tafsir, apalagi dari saat
ke saat bisa saja lahir dari pengamatan seorang mufassir sesuatu yang
dinilainya dapat menjadi kaidah/patokan guna memahami Al-Qur’an.Hal ini dapat
dibuktikan melalui penafsiran para mufassir kontemporer. Sebagai contoh
pandangan Almarhum Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi (1911-1998 M) yang mengamati bahwa:
“Bila al-Qur’an menyebut nama tokoh dalam konteks kisahnya, maka itu
menunjukkan bahwa peristiwa serupa tidak akan terulang, tetapi bila tidak
menyebut nama tokohnya, maka peristiwa serupa dapat terulang.” Aisyah
Abdurrahman (Bint asy-Syâthi, lahir 1926 M), yang memberi perhatian besar pada
pengertian kosa kata, menyimpulkan dalam bukunya “at-Tafsir al-Bayâny”
bahwa kata نعيم (Na’îm) digunakan Al-Qur’an dalam arti kenikmatan
ukhrawy, dan dengan demikian, setiap menemukan kata na’ĭm maka yang
dimaksud adalah kenikmatan ukhrawi.
Dari
sini bisa saja ada kaidah yang tidak disepakati. Hal ini lumrah dan
berlaku juga dalam berbagai kaidah displin ilmu, seperti Ilmu Bahasa atau Ushul
Fiqh. Sangat populer di kalangan peminat ilmu bahasa Arab aneka perbedaan
antara mazhab ulama-ulama bahasa yang bermukim di Kufah dan ulama yang bermukim
di Basrah (keduanya di Irak), dan sangat popular juga sekian perbedaan ulama
Ushul Fiqh yang bermazhab Syafi’i dengan ulama-ulama mazhab lainnya dalam kaidah-kaidah
yang mereka anut.
Perbedaan
pendapat menyangkut kaidah Tafsir, misalnya, adalah yang menyangkut sebab
Nuzŭl. Apakah العبرة بعموم
اللفظ لا بخصوص السبب
(patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum bukan pelaku
peristiwanya, atau sebaliknya العبرة بخصوص السبب
لا بعموم اللفظ .
Memang
dalam konteks ini ada yang menduga bahwa hasil perbedaan itu pada akhirnya
sama, namun hal tersebut tidak sesederhana apa yang diduga sementara orang.[4]
Di
sisi lain bisa saja para ulama sepakat tentang satu kaidah, tetapi ketika
menerapkannya mereka berbeda sehingga kesimpulan mereka menyangkut ayat berbeda
pula. Sebagai contoh kaidah yang menyatakan bahwa: Jika ada dua ayat yang
berbicara tentang satu persoalan yang sama, tetapi salah satunya bersifat Muhkam
(jelas maknanya) dan yang kedua bersifat Mutasyăbih (samar maknanya),
maka yang Mutasyăbih harus difahami berdasar makna yang dikandung oleh
yang Muhkam. Ketika menerapkan kaidah ini pada firman Allah dalam QS. Al-Qiyamah
[75]: 22-23 وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى
رَبِّهَا نَاظِرَةٌ Wajah-wajah
(orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat, menerapkannya dengan menyandingkannya dengan firman yang
menyatakanلاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ
الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الخَبِيرُDia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah
Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS. al-An’ăm [6]: 103), maka
yang menjadikan ayat surah al-Qiyamah sebagai ayat Muhkam, menegaskan bahwa
Allah dapat dilihat dengan pandangan mata di akhirat nanti, walau hakikat
dzat-Nya tidak dapat terjangkau. Tetapi bagi yang menjadikan ayat al-An’ăm
sebagai ayat Muhkam, dan ayat al-Qiyămah sebagai Mutasyăbih, maka mereka
menegaskan bahwa Allah sekali-kali dalam keadaan apa pun tidak dapat dijangkau
/dilihat dengan pandangan mata.
Sekelumit sejarah Kaidah-Kaidah Tafsir
Para
pakar Al-Qur’an sejak dahulu memberi perhatian menyangkut apa yang kemudian
dinamai Kaidah-kaidah Tafsir, bahkan lahirnya aneka disiplin ilmu
agama pada hakikatnya dipicu oleh dorongan memahami yat-ayat
Al-Qur’an.
Dalam
penulisan kitab-kitab Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, sementara ulama masa
lampau menguraikan kaidah-kaidah tafsir. Antara lain Badruddîn Muhammad bin
Abdillah Az-Zarkasyi (w. 794 H/1392 M) dalam kitabnya “Al-Burhân
Fî ‘Ulûm al-Qur’an”, Jalâluddin Abdurrahman as-Sayuthy (w. 911 H /11505 M)
dalam al-Itqân.
Namun
demikian, penulisan kaidah-kaidah itu secara berdiri sendiri baru dikenal jauh
setelah generasi umat yang pertama. Ahmad bin Abdul Halim yang lebih dikenal
dengan nama Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M) dapat dicatat sebagai salah seorang
perintis penulisan kaidah tafsir secara berdiri sendiri. Tokoh ini menulis buku
yang bernama “Muqaddimah Ushûl al-Tafsîr”. Di sana Ibnu Taimiyah
mengemukakan sekian persoalan yang dapat dinilai sebagai kaidah seperti: Sifat
perbedaan pendapat ulama masa lampau, cara penafsiran yang terbaik,
persoalan Sebab Nuzûl, Israiliyât dan sebagainya. Setelah Ibnu Taimiyah
menyusul Muhammad Bin Sulaiman al-Kâfîjiy (w. 879 H) yang menulis “al-Taisîr
Fi Qawa’id ‘Ilm al-Tafsir”.
Penulisan
kaidah-kaidah Tafsir secara berdiri sendiri, seakan-akan sejak itu mandek dan
baru mulai segar kembali akhir-akhir ini. Buku-buku yang relatif baru dalam
bidang ini antara lain “Ushŭl al-Tafsîr wa Qawâ’iduhu” karya Syekh
Khalid Abdurrahman al-‘Ak, “Qawâ’id al-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn” karya
Husain bin Ali bin al-Husain al-Harby, “Qawâ’id al-Tafsir jam’(an) wa
Dirâsat(an)” karya Khalid bin Usman as-Sabt. Buku “al-Qawâ’id
al-Hisân Li Tafsîr Al-Qur’an karya Syekh Abdurrahman al-Sa’dy merupakan
juga salah satu kitab yang cukup baik dalam bidang ini. Kitab ini memaparkan
tujuh puluh masalah yang dinamainya kaidah.
Keragaman Kaidah-kaidah Tafsir
Kaidah-kaidah Tafsir, pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga bagian
pokok.
Pertama
bersumber dari displin ilmu tertentu
seperti Ilmu Bahasa dan Ushul Fiqh. Keragamam sumber itu menjadikan kaidah
dimaksud dapat diterapkan juga dalam bidang ilmu yang berkaitan, misalnya
yang dari segi bahasa tentang fungsi-fungsi huruf wauw dan perbedaannya
dengan tsumma dan fa’. Demikian juga makna-makna yang
dikandung oleh setiap kata, atau bentuk kata itu seperti kala kini/mendatang
(mudhâri’) kala lalu (Mâdhi) atau perbedaan kandungan makna antara kalimat
yang berbentuk verbalsentence dengan nominal sentence.Seorang
penafsir mestinya dapat menghayati –misalnya— mengapa Nabi Ibrahim as.menjawab
para malaikat yang berkunjung ke rumah beliau sambil berucap “salamă”
lalu beliau menjawabanya dengan “salămun” (QS. Hud [11]: 69)
dengan menghayati perbedaan yang dikemukakan pakar-pakar bahasa antara bentuk
kata salama, dan salămun yakni yang pertama mereka namai Jumlah
Fi’liyah. Ucapan malaikat salam(an) beerbentuk Jumlah Fi’liyah
sehingga ia dipahami sebagai bermakna Kami mengucapkan salam (Kata
salam(an) di sini berkedudukan sebagai objek ucapan), sedang
ucapan Nabi Ibrahim as. berbentukJumlah Ismiyah sehingga maknanya
adalah keselamatan mantap dan terus menerus menyertai kalian. Demikian
beliau menjawab sambutan damai dengan yang lebih baik.
Kalimat
ambigu/ bertimbal misalnya ditetapkan oleh kaidah Tafsir bahwa kedua
maknanya dapat digunakan bila memungkinkan untuk ditampung. Kata يُضَارَّ dalam
firman Allah وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا
شَهِيدٌ ( QS. al-Baqarah
[2]: 282 , asalnya dapat merupakan Yudhârir/memberi mudharrat,
sehingga kata-kata Kâtib dan Syahid berkedudukan sebagai pelaku
dan dengan demikian ayat ini berpesan kepada penulis utang piutang dan saksi
agar tidak memberi mudharat kepada salah seorang yang bertransaksi. Di sisi
lain, kalau kata yudhârra asalnya adalah yudhârar, maka ia
berbentuk passif voice(mabny li al-majhûl) dan dengan demikian,
penggalan ayat ini berpesan kepada siapa pun yang bertransaksi agar tidak
merugikan/ mengakibatkan mudharrat bagi penulis/notaris maupun saksi. Kedua
makna di atas dapat digabung sehingga berdasar kaidah tersebut ayat di atas
dapat difahami dengan kedua pemahaman itu.
Kaidah-kaidah
Usuh Fiqh banyak sekali diadopsi oleh Tafsir.Misalnya “Perintah pada dasarnya
mengandung makna wajib, kecuali jika ada yang mengalihkannya”. Di sini sangat
diperlukan keluasan ilmu, agar dapat menemukan dalil-dalil yang
mengalihkannya itu. Demikian juga kaidah yang berbunyi “Teks keagamaan yang
memerintahkan sedang sebelumnya ada larangan, maka perintah itu sekadar
mengandung makna boleh dilakukan”.
Kedua: Kaidah yang khusus dibutuhkan oleh penafsir sebelum
melangkah masuk ke dalam penafsiran dan ini antara lain bersumber dari
pengamatan terhadap kesalahan-kesalahan sementara penafsir atau dari kesadaran
tentang perlunya mengikat diri agar tidak terjerumus dalam kesalahan. Misalnya
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan penerapan metode Tahlily, Maudhu’iy,
atau Muqaran. Demikian juga menyangkut sistematika penyusunan urutan
uraian – misalnya kapan uraian Asbab an-Nuzûl didahulukan atas uraian
tentang Hubungan ayat dan kapan sebaliknya. Bagaimana sikap terhadap
sinonim yang terdapat dalam al-Qur’an apakah maknanya sama atau berbeda.
Demikian juga apakah dalam al-Qur’an ada kata atau huruf yang tidak bermakna (zâidah)
dan lain-lain.
Ketiga:
Kaidah yang ditarik dari dan bersumber langsung dari pengamatan terhadap
al-Qur’an dan yang bisa jadi ia tidak sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin
ilmu lain.
Kaidah
kelompok ketiga ini cukup banyak.Ambillah sebagai contoh penggunaan bentuk kata
Mudhări’ (Kala kini) untuk suatu peristiwa yang lalu. Ini bila
digunakan al-Qur’an, maka ia mengisyaratkan keindahan atau keburukan peristiwa
itu. Firman Allah yang menyinggung pembunuhan orang-orang Yahudi terhadap
nabi-nabi dilukiskan al-Qur’an dengan kata يقتلون
الأنبياء Yaqtulunaal-Anbiya’
yakni dalam bentuk kata kerja masa kini dan datang, padahal pembunuhan itu
telah berlalu sekian lama. Sebaliknya firman Allah melukiskan pembaiatan
sahabat-sahabat dilukiskan oleh QS.al-Fath [48]: 10 dalam bentuk kata kerja
masa kini, padahal ayat tersebut turun setelah pembaiatan itu. Ini guna
mengisyaratkan betapa indah pemabaiatan itu.
Sebaliknya
bila bentuk Mădhy (Kala lampau) digunakan untuk peristiwa
yang belum terjadi, maka itu antara lain untuk menunjukkan kepastian terjadinya
peristiwa itu. Firman Allah dalam QS.an-Nahl [16]: 1 yang melukiskan kepastian
datangnya hari Kiamat menggunakan bentuk kata masa lampau أتى امر الله فلا تستعجلوه /Telah datang ketetapan Allah (Kiamat) maka janganlah
meminta disegerakan kedatangannya . Maksudnya Kiamat pasti datang.
Demikian
juga kata Kami yang menunjuk Allah Tuhan Yang Maha Esa.Penggunaan kata
tersebut di samping bertujuan menunjukkan keagungan-Nya juga dapat berarti
adanya keterlibatan makhluk dalam aktivitas yang ditunjuknya. Firman Allah إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ Sesungguhnya
Kami yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar adalah
Pemelihara(nya).(QS. al-Hijr [15]: 9). Ini karena yang membawa “turun”
al-Qur’an adalah malaikat Jibril as.atas perintah Allah dan yang
mememeliharanya bersama Allah antara lain adalah umat Islam. Sedangkan kalau
Allah menunjuk diri-Nya dengan kata Aku, makaitu antara lain
mengisyaratkan bahwa tidak ada selain-Nya yang boleh /dapat terlibat di
dalamnya, seperti firman-Nya dalam QS. Yâsîn [36]: 61وَأَنِ
اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.
Bisa
juga kata Aku menunjukkan bahwa keterlibatan selainnya sedemikian
sedikit/kecil tidak berarti sehingga dinilai “tidak ada” seperti dalam
firman-Nya ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا Biarkanlah Aku (bertindak)
terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian (QS. al-Muddaststir
[74]: 11).
Demikian
sekelumit pengantar.Sekali lagi ditegaskan bahwa kaidah-kaidah Tafsir adalah
patokan umum bagi para pengkaji al-Qur’an untuk memahami pesan-pesan Kitab Suci
itu dan yang dapat membantunya memahami al-Qur’an dalam waktu yang tidak
terlalu lama.
[1]
Hal ini antara lain penulis kemukakan dalam buku “ Membumikan Al-Qur’an” yang
diterbitkan pertama kali pada tahun 1992 oleh Penerbit Mizan
Bandung.
[2]
Sementara orang mempertanyakan mengapa Al-Qur’an memilih kata
akala, dalam firman-Nya yang melukiskan ucapan putra –putra Nabi Ya’kub
yang berbohong bahwa saudara mereka Yusuf, telah dimakan serigala, Mereka
berkata Akalahu az-Zi’bu ( dia dimakan serigala “
(Q.S. Yusuf [12]:14) bukan Iftarasahu ( diterkam) yang
menurut penggunaan bahasa lebih tepat. Tetapi pandangan ini tidak
memertimbangkan makna lain yang hendak ditekankan oleh ayat, yaitu bahwa
serigala itu telah menghabiskan segala sesuatu pada diri Yusuf, sehingga mereka
tidak dapat membawa tulang belulang yang tersisa sekalipun karena
serigala telah “memakan semuanya” tanpa sisa.
[3]
Harus diingat bahwa yang dimaksud dengan ketetapan kully disini adalah sebagian
besar saja bukan keseluruhan bagian-bagiannya.
[4]
Baca persoalan ini dalam buku penulis Membumikan Al-Quran.
404
[1] bloguin-malang.ac.id/jafar/2011/05/28/halo-dunia/
[2]
Khalid Abd al-Rahman , Usul al-Tafsir wa Qawa’iduh, (Bairut: Dar
al-Nafais, 1986), 189
[3]
Muhammad Ibn Abd Allah al-Zarkazy, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo:
Dar al-
Turath), 180-181
[4]Jalal
al-Din al-Suyyuty, al-Itqan fi’Ulum al-Qur’an. Juz II, (Bairut: Dar
al-Fikr, 1996), 479
[5]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an(Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000), 323-324
[6]
Muhammad Husain al-Dhahaby, ‘Ilm al-Tafsir, (Kairo : Darul Hadist,
2005), 58
[7] Windy Novia, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, (Surabaya: Kashiko), h. 247
[8] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,
(Tangerang : Lentera Hati, 2013), cet. ke-2, h. 6
[9] ibnuumarbgr.wordpress.com/artikel/musthalahul-hadits.
[10]kumpulanmakalah123.blogspot.com/2014/03/makalah-kaidah-kaidah-penafsiran-al-html
[12]
Usthasbullahahmadma.blogspot.com/2013/04/blog-post-html
[13]Abd.
Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 4
[14]
Usthasbullahahmadma, loc. cit
[15]Abd.
Rahman Dahlan,op cit., h. 5
[16]Ibid.,
h. 6
[17]
Departemen Agama RI, op. cit., h. 249
[18]Abd.
Rahman Dahlan, op. cit., h. 8
[19]
Departemen Agama RI, op. cit., h. 512
[20]Abd.
Rahman Dahlan, op. cit., h. 12
[21]
Departemen Agama RI, op. cit., h. 631
[22]Ibid.,
h. 862
[23]Ibid.,
h. 445
[24]Ibid.,
h. 820
[25]Ibid.,
h. 261
[26]Ibid.,
h. 95
[27]
Abd Rahman Dahlan, op. cit., h. 26
[28]Departemen
Agama RI, op. cit., h. 388
[29]Ibid.,
h. 105
[30]Ibid.,
h. 45
[31]Abd.
Rahman Dahlan, op cit., h. 31
[32]
Departemen Agama RI, op cit., h. 62-63
[33]Ibid.,
h. 490
[34]Abd.
Rahman Dahlan, op cit., h. 35
[35]
Departemen Agama RI, op cit., h. 542
[36]Ibid.
[37]Ibid.,
h. 314
[38]Ibid.
[39]Ibid.
[40]Ibid.,
h. 4
[41]Ibid.,
h. 617
[42]Ibid.,
h. 146
[43]Ibid.,
h. 206-207
[44]Abd.
Rahman Dahlan, op cit., h. 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar